Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Berita DJKN
Pemerintah Hadirkan Dua Saksi Ahli dalam Sidang Uji Materiil UU No. 49 Prp Th 1960 tentang PUPN terhadap UUD 1945 di Mahkamah Konstitusi
N/a
Kamis, 02 Februari 2012 pukul 14:52:05   |   1317 kali

Jakarta – Pemerintah Republik Indonesia, dalam hal ini Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan yang diwakili oleh Direktur Lelang Purnama T. Sianturi bersama Biro Bantuan Hukum Sekretariat Jenderal Kemenkeu dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM) menghadirkan dua saksi ahli  dalam sidang uji materiil Undang-Undang (UU) Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) terhadap UUD RI Tahun 1945 pada Rabu (1/2) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta.

Dalam persidangan uji materiil di MK dengan perkara Nomor 77/PUU-IX/2011 ini, saksi ahli yang dihadirkan yaitu Ahli Hukum Keuangan dan Restrukturisasi Utang Universitas Diponegoro Semarang Dr. Darminto Hartono dan Ahli Hukum Bisnis dan Hukum Perdagangan Internasional Universitas Yarsi Jakarta Prof. Mariam Darus Badrulzaman yang memberikan legal opini terhadap permohonan pengujian (constitutional review) atas pasal 4, 8, 10, dan pasal 12 ayat 1 UU No. 49 Prp Tahun 1960 tentang PUPN terhadap pasal 28 D ayat 1 dan pasal 33 ayat 4  UUD Republik Indonesia tahun 1945 yang dimohonkan oleh PT Sarana Aspalindo, dkk.

    

Dalam keterangannya, Prof. Mariam Darus mengatakan bahwa para pemohon mendalilkan bahwa keberadaan pasal tersebut merugikan hak konstitusional para pemohon yang mengakibatkan pemohon tidak dapat menikmati fasilitas hair cut, restrukturisasi utang dari PT BNI 46  selaku kreditur sebagaimana fasilitas yang mungkin dapat diberikan bank umum. Menurut Mariam, para pemohon tidak memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan uji materiil terhadap beberapa ketentuan dalam UU PUPN karena tidak dipenuhinya kriteria sebagaimana diatur dalam pasal 51 UU MK jo. Putusan MK No 006/PUU-III/2005.

“Para pemohon, menurut hemat saya tidak mempunyai legal standing untuk mengajukan permohonan uji materiil ini,” tegasnya di hadapan pleno Hakim yang diketuai oleh ketua MK Moh. Mahfud MD dan beranggotakan Achmad Sodiki, Akil Mochtar, Maria Farida Indrati, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, Hamdan Zoelva, dan Anwar Usman.

Mengenai kewenangan konstitusional pemohon yang dianggap dilanggar, Mariam menegaskan bahwa hak konstitusional pemohon tidak ada yang dirugikan oleh UU PUPN ini. Para pemohon, lanjutnya, tidak dapat membuktikan kerugian pada hak konstitusionalnya yang diatur dalam pasal 28 D ayat 1 dan Pasal 33 ayat 4 UUD 1945. Andaikata terdapat kerugian yang diderita oleh para pemohon di dalam bisnisnya, hal itu tidak diakibatkan oleh UU PUPN, akan tetapi adalah kerugian yang disebabkan oleh kegiatan bisnisnya yang mengandung resiko yang sejak semula sudah diketahui pemohon selaku pelaku bisnis. “Kerugian-kerugian yang dideritanya itu, tidak dapat dibuktikan kebenarannya dan tidak mempunyai causal verband (hubungan sebab akibat-red) dengan UU PUPN,” ujarnya menjelaskan. 

    

Ia juga berpendapat bahwa permohonan para pemohon yang diwakili kuasa hukumnya Syaiful tersebut Obscuur Libel karena dalil-dalil gugatan yang digunakan kabur atau tidak jelas. Sebelum menyimpulkan, ahli Hukum Bisnis dan Hukum Perdagangan Internasional ini juga berpendapat bahwa permohonan para pemohon tidak mempunyai dasar hukum, dan UU PUPN tidak melanggar hak konstitusional para pemohon yang diatur dalam pasal 28 D ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Berdasarkan keterangan di atas, Prof Mariam menyimpulkan bahwa Pasal 4, Pasal 8, Pasal 10 dan Pasal 12 ayat 1 UU PUPN tidak bertentangan dengan pasal 28 D ayat 1 dan Pasal 33 ayat 4 UUD 1945 dan keberadaan dari UU PUPN sesuai dengan struktur negara RI dan sesuai dengan sistem hukum nasional.

Selanjutnya, Ahli Hukum Keuangan dan Restrukturisasi Utang Universitas Diponegoro Dr. Darminto Hartono memberikan legal opini dengan mengatakan perbedaan antara utang/piutang negara dan utang/piutang swasta dapat ditinjau dari dua hal, yaitu pertama berdasarkan pada teori badan hukum dan kedua berdasarkan dasar hukum. Teori badan hukum menjelaskan ada perbedaan badan hukum perseroan terbatas dan badan hukum non perseroan terbatas. Lebih lanjut, ia menjelaskan teori badan hukum yang dimaksud adalah modal yang semula berupa kekayaan negara yang dimiliki oleh badan hukum publik (negara) kemudian oleh negara dilakukan pemisahan menjadi modal pendirian perseroan terbatas BUMN dalam bentuk saham. “ Dengan dilakukannya pemisahaan tersebut, maka kekayaan yang semula dimiliki oleh negara menjadi kekayaan yang dimiliki oleh badan hukum perseroan terbatas BUMN tersebut,” jelasnya.

Terkait PUPN, Darminto mengatakan bahwa lembaga PUPN masih diperlukan keberadaannya sebab masih adanya piutang negara yang berasal dari badan hukum non perseroan dan Badan Layanan Umum (BLU) serta apabila pengelolaan piutang negara dilakukan melalui pengadilan sebagaimana piutang swasta lainnya, maka pengelolaan tersebut menjadi tidak efisien yang berakibat tujuan badan hukum non perseroan terbatas menjadi tidak tercapai.

Darminto berpendapat, PT Aspalindo dkk selaku pemohon sebagai debitur PT BNI Tbk adalah merupakan piutang privat dimana mekanismenya dilaksanakan melalui mekanisme UU perseroran terbatas, sehingga piutang BUMN tersebut diperlakukan sama (the level of plying field)  dengan piutang swasta lainnya. Adapun yang dimaksud dengan perlakuan sama adalah perlakuan restrukturisasi dapat dilakukan melalui pola hair cut, rescheduling maupun debt to equity rasio. “Dengan kata lain, piutang negara yang berasal dari badan-badan instansi pemerintah adalah piutang negara yang pengelolaannya wajib diserahkan kepada PUPN,” pungkasnya.

Di akhir sidang, Ketua MK Mahfud MD mengingatkan bahwa para pihak harus sudah menyampaikan kesimpulan dan jawaban tertulis untuk pertanyaan yang belum sempat dijawab, disertakan dalam kesimpulan yang diserahkan pada sidang berikutnya tanggal 8 Februari 2012. (Bend-Humas)

Foto Terkait Berita
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini