Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Berita DJKN
Semiloka RUU Penilai untuk Menjawab Tantangan Masa Depan Profesi Penilai
N/a
Senin, 19 Maret 2012 pukul 17:52:22   |   605 kali

Yogyakarta - Sebagai wujud ekspresi cinta kepada profesi penilai, maka pada hari Jum’at, tanggal 16 Maret 2012,di ruang serba guna kampus Megister Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (MEP FEB UGM) Yogyakarta diselenggarakan Semiloka Pengembangan Profesi Penilai untuk membahas isu-isu strategik RUU Penilai.

Acara tersebut dihadiri oleh para akademisi yang mewakili universitas-universitas ternama seperti MEP FEB UGM sebagai penyelenggara, Universitas Indonesia, Universitas Padjajaran, Universitas Brawijaya, Universitas Sriwijaya, dan Universitas Sumatra Utara, serta turut hadir perwakilan Kementerian Keuangan seperti dari Pusat Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai (PPAJP) Sekretariat Jenderal, Direktorat Ekstensifikasi dan Penilaian Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Penilaian Direktorat Jenderal Kekayaan Negara  (DJKN). Selain itu, turut hadir pula perwakilan dari profesi Penilai yakni dari Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI).

    

Dalam sambutannya, Poppy Ismalina sebagai perwakilan dari MEP FEB UGM menyatakan bahwa rasa cinta yang sangat besar terhadap profesi penilailah yang membuat seluruh civitas akademisi datang dan berkumpul pada hari ini untuk dapat memberikan masukkan dan sumbang saran terhadap RUU Penilai sebagai wujud dari integritas dan tanggung jawab mereka untuk kepentingan Republik Indonesia. Poppy menyebutkan bahwa dengan disusunnya RUU Penilai, maka menjadi suatu momentum untuk semua pihak yang berhubungan dengan profesi tersebut untuk dapat memberikan sumbangsih dalam menyusun RUU tersebut, sehingga RUU yang dibentuk dapat merangkul semua pihak dan bukan hanya satu pihak yang berkepentingan.

Sementara itu, Langgeng Subur, Direktur PPAJP menyebutkan dalam presentasinya “Profesi Penilai Menghadapi Globalisasi Ekonomi Dunia Tahun 2020” bahwa profesi Penilai membutuhkan payung hukum yang lebih kuat daripada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 125/PMK.01/2008 tentang Jasa Penilai Publik, mengingat bahwa profesi penilai semakin dibutuhkan dan memiliki tantangan yang besar ke depannya.

Dalam kesempatan lain pada semiloka tersebut, Aditya Jayaantara, Direktur Penilaian  DJKN selaku penggagas disusunnya RUU Penilai, memperkenalkan sebagian besar tim inti penyusun RUU tentang Penilai yang turut hadir dalam kegiatan tersebut serta perwakilan dari Kanwil Jogyakarta dan KPKNL Jogyakarta. Aditya menyebutkan bahwa dalam menyusun RUU tentang Penilai, masih dibutuhkan masukan dari berbagai pihak untuk memperkaya RUU Penilai dan Semiloka ini merupakan kesempatan  yang sangat berharga untuk tujuan tersebut. Di samping itu, Aditya juga menyampaikan bahwa RUU Penilai saat ini memang belum masuk ke dalam pembahasan prolegnas tahun 2012, namun mendapatkan prioritas pertama, apabila dalam setiap tiga bulan kegiatan prolegnas, ternyata terdapat RUU yang yang dinyatakan belum siap oleh DPR, maka prioritas pertama akan masuk dalam pembahasan prolegnas tersebut. Oleh karena itu, RUU Penilai masih mempunyai kesempatan yang sangat besar untuk dibahas dalam prolegnas 2012 dan kegiatan ini adalah sarana untuk menjaring masukan yang berharga.

Para civitas akademisi dalam memberikan masukannya, sepakat bahwa dalam RUU Penilai harus terdapat standar kompetensi yang jelas sebagai wujud dari profesionalitas dari profesi tersebut, seperti halnya profesi dokter yang harus memiliki akar pendidikan kedokteran dan Akuntan dengan pendidikan Akuntasi, sehingga profesi Penilaipun harus memiliki akar ilmu yang jelas. Selain itu, ruang lingkup dari profesi Penilai mesti jelas dan penulisan RUU Penilai mesti sistematis dengan struktur yang baik sehingga mempermudah dalam membaca dan memahaminya. Terhadap sanksi-sanksi yang terdapat dalam RUU tersebut, baik sanksi administrasi maupun pidana, mesti jelas siapa yang menjatuhkannya terutama untuk sanksi pidana, siapakah yang menyatakan seorang penilai bersalah, apakah Kementerian Keuangan sebagai regulator, Polisi, Jaksa atau Hakim. Selain itu, azas yang dianut oleh RUU Penilai harus disebutkan secara tegas dalam pendahuluan dan dengan adanya 2 (dua) profesi penilai yakni Penilai Pemerintah dan Penilai Publik, dalam rezim hukum dan politik, selalu dibedakan antara pemerintah dan swasta, sehingga dengan digabungkannya dua profesi tersebut dalam satu Undang-undang, dikhawatirkan akan melanggar rezim yang berlaku di Pemerintahan Republik Indonesia dan akan terjadi evolusi dalam hukum kita terutama dalam independensi dan dalam Naskah Akademis, tidak disebutkan suatu hal yang signifikan yang membuat kedua profesi tersebut harus disatukan dalam  satu undang-undang. Sangat banyak masukan yang diberikan dalam semiloka tersebut dan semua bermuara pada satu hal untuk memperbaiki dan menyempurnakan RUU Penilai yang disusun oleh Pemerintah sehingga tujuan dari RUU tersebut dapat terpenuhi.

MAPPI yang diwakili oleh Ketua Umum, Hamid Yusuf juga menyatakan hal yang sama, bahwa selain harus memiliki dasar kompetensi yang jelas, profesi penilai tidak boleh mewakili suatu kelompok ataupun kepentingan yang parsial dan dalam RUU Penilai yang disusun, tidak menyebutkan definisi independensi yang jelas. Untuk itu, agar independensi dapat terwujud, Penilai Pemerintah harus ditarik menjadi Penilai Negara dengan fungsionalitasnya, sehingga keprofesionalan dan independennya dapat terjaga. Selain itu, fee dari profesi Penilai harus jelas kepastian hukumnya sebagai bentuk penghargaan terhadap profesionalitas seorang Penilai.

    

Dalam tanggapannya terhadap masukan-masukan yang diberikan, baik oleh akademisi maupun MAPPI, DJKN yang diwakili oleh Aditya menggarisbawahi bahwa forum semiloka yang diadakan, dirancang untuk memberi penjelasan dan menerima masukan dari para stakeholder dan untuk Naskah Akademis, telah disusun sejak awal dan secara substansi dan sistematika penulisan telah mengalami beberapa kali perubahan dan RUU Penilai merupan bentuk pengejewantahan dari Naskah Akademis tersebut.

Hartoyo sebagai Direktur Ekstensifikasi dan Penilaian DJP dalam tanggapannya menyatakan bahwa diperlukan 1500 penilai untuk menilai Pajak Bumi dan Bangunan dan jumlah tesebut dirasakan masih kurang mengingat objek pajak yang harus dinilai sangat banyak. Begitu juga untuk objek-objek lainnya, sehingga profesi Penilai ini akan sangat besar ke depannya, untuk itu dalam RUU Penilai, masalah pendidikan yang wajib dimiliki oleh seorang penilai harus jelas destinasinya, baik untuk D3 maupin S1 dan perlu diseminasi lebih lanjut terhadap RUU Penilai dan dibuatkan file yang baik agar arah dari RUU Penilai ini jelas adanya. (Debbi-Humas DJKN)

Foto Terkait Berita
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini