Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Berita DJKN
Sidang Mahkamah Konstitusi Mengenai Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara Atas Pembelian Saham PT. Newmont Nusa Tenggara
N/a
Rabu, 28 Maret 2012 pukul 12:50:28   |   6415 kali

Jakarta – Perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara terkait pembelian 7 % saham PT. Newmont Nusa Tenggara (NNT) yang tercatat dalam perkara nomor 2/SKLN-X/2012, telah memasuki agenda mendengarkan keterangan ahli / saksi dari Pemohon, Termohon I, dan Termohon II yang digelar pada Selasa, 27 Maret 2012 bertempat di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta.

Adapun lembaga negara yang terlibat sengketa kewenangan dalam perkara tersebut adalah antara Presiden Republik Indonesia selaku Pemohon dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selaku Termohon I dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selaku Termohon II.

Hadir dalam persidangan mewakili pihak Pemohon yaitu Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan, Direktur Jenderal Kekayaan Negara, Ketua Pusat Investasi Pemerintah juga perwakilan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Sidang dipimpin oleh Ketua Mahkamah Konstitusi, Moh. Mahfud M.D. Saksi ahli yang dihadirkan oleh Pemerintah pada kesempatan tersebut adalah Prof. DR. Yusril Ihza Mahendra, Prof. DR. Saldi Isra, S.H., MPA, dan Prof. Robert A. Simanjuntak, Ph.D.

 

Ahli Tata Negara Yusril Ihza Mahendra berpendapat bahwa dalam hal pembelian 7 % saham divestasi PT. NNT, terjadi perbedaan titik tolak pemahaman mengenai persoalan tersebut. DPR menggunakan dasar hukum merujuk pada Pasal 24 ayat (7) UU No 17 Tahun 2003 yang mengatakan bahwa “Dalam keadaan tertentu, untuk penyelamatan perekonomian nasional, Pemerintah Pusat dapat memberikan pinjaman dan/atau melakukan penyertaan modal kepada perusahaan swasta setelah mendapat persetujuan DPR”. Norma tersebut berada pada Bab VI yang berjudul “Hubungan Keuangan Antara Pemerintah dan Perusahaan Negara, Perusahaan Daerah, Perusahaan Swasta serta Badan Pengelola Dana Masyarakat”. Menurut Yusril, penggunaan pasal tersebut tidak tepat karena pembelian saham divestasi PT. NNT tidak dilakukan dalam keadaan negara menghadapi krisis melainkan dalam kondisi normal.

    

Sehingga lebih tepat bila dipahami dalam konteks Pasal 41 ayat (1) dan (2) UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yakni sebagai investasi Pemerintah dalam keadaan normal, bukan sebagai “penyertaan modal Pemerintah” yang berakibat dipisahkannya kekayaan Pemerintah dengan kekayaan perusahaan tempat Pemerintah menyertakan modal itu. Yusril menambahkan, sejauh untuk memutuskan membeli saham dan melaksanakannya, sepenuhnya menjadi kewenangan Presiden dalam menjalankan kebijakan Pemerintah.

      

Dana pembelian saham PT. NNT yang dilakukan oleh Pusat Investasi Pemerintah (PIP) bersumber dari Pemerintah karena seluruh dana PIP adalah dana Pemerintah yang berasal dari APBN dan keuntungan PIP seluruhnya adalah keuntungan Pemerintah. Sehingga jika Menteri Keuangan selaku Bendahara Negara menyetujui rencana PIP untuk membeli saham divestasi perusahaan manapun dengan menggunakan alokasi dana investasi yang telah tertuang dalam APBN, merupakan hal yang dibenarkan dan / atau dibolehkan berdasarkan norma Pasal 41 ayat (1) dan (2) UU No. 1 Tahun 2004 dan tidak lagi memerlukan persetujuan DPR kecuali bila dana belum tersedia atau tidak mencukupi maka perlu dibahas dulu dengan DPR untuk disepakati bersama dan dituangkan dalam APBN atau APBN Perubahan.

Senada dengan Yusril, Saldi Isra berpendapat bahwa pasal 24 ayat (7) UU No. 17 Tahun 2003 mengungkapkan dalam keadaan tertentu anggaran negara digunakan untuk menyelamatkan perekonomian nasional dengan persetujuan DPR. Frasa “keadaan tertentu” harus dipenuhi dahulu sebelum frasa “persetujuan DPR” diperlukan. Keadaan tertentu tersebut yaitu ketika negara dalam keadaan krisis. Pembelian saham divestasi PT. NNT tidak untuk menyelamatkan perekonomian negara karena terjadi dalam keadaan normal dan telah dialokasikan dalam APBN sehingga tidak memerlukan persetujuan DPR sebab pelaksanaan APBN berada dalam wilayah eksekutif dan Presiden sebagai eksekutor APBN. Pembelian saham tersebut hanya berupa investasi yang dilakukan Pemerintah dalam bidang pengelolaan keuangan negara dan bukan penyertaan modal negara.

Lebih lanjut Saldi Isra menyatakan, untuk membuktikan bahwa “keadaan tertentu” tersebut tidak terjadi, maka frasa akan mendapat “persetujuan DPR” menjadi semakin kehilangan relevansi dengan menggunakan cara berpikir argumentum a contrario. Dengan argumentum a contrario, ketentuan pasal 24 ayat (7) UU No. 17 Tahun 2003 dapat dibaca menjadi “Bila tidak terdapat keadaan tertentu untuk menyelamatkan perekonomian nasional pemerintah pusat dapat memberikan pinjaman dan/atau melakukan penyertaan modal kepada perusahaan swasta tanpa memerlukan persetujuan DPR”.

      

Selanjutnya, dari sudut pandang perspektif ekonomi publik, Robert A. Simanjuntak berpendapat bahwa berdasar data-data yang dikumpulkannya, dari aspek optimalisasi penerimaan negara, pembelian 7 % saham PT. NNT oleh Pemerintah akan meningkatkan kepemilikan negara menjadi 13 %. Namun jika hal pembelian saham 7 % tersebut juga diberikan ke konsorsium Perusahaan Daerah dan swasta, maka kepemilikan negara (Pemda) justru menjadi lebih sedikit. Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Barat tidak akan bisa melakukan pembelian 7 % saham PT. NNT yang bernilai Rp 2,2 triliun tersebut karena keterbatasan anggaran sehingga pembelian oleh Pemerintah akan lebih optimal.

Rencananya, sidang akan kembali digelar pada tanggal 4 April 2012, masih dengan agenda mendengarkan keterangan ahli/saksi dari Pemohon, Termohon I, dan Termohon II. (Intan-Bend Humas DJKN)


Foto Terkait Berita
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini