Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Berita DJKN
Optimalisasi Tuntaskan Pemantapan Status Hukum ABMA/T
N/a
Jum'at, 11 September 2015 pukul 16:03:43   |   977 kali

Jakarta –  “Pemantapan status hukum Aset Bekas Milik Asing/Tionghoa (ABMA/T) yang telah dilakukan secara tertib dan akuntabel semata-mata demi kesejahteraan rakyat,” ungkap Direktur Piutang Negara dan Kekayaan Negara Lain-Lain, Purnama T. Sianturi (10/09). Hal ini dinyatakan Purnama dalam sosialiasi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.06/2015 Tentang Penyelesaian Aset Bekas Milik Asing/Tionghoa sebagai bagian rangkaian kegiatan Rakertas Direktorat PNKNL di Jakarta yang dipimpin oleh moderator Kepala Sub Direktorat Piutang Negara I, S. Mangiring Pangihutan.

Purnama juga menyampaikan pokok-pokok perubahan subtansi penyelesaian ABMA/T yang diharapkan dapat lebih mewujudkan kepastian hukum dalam status kepemilikan. Perubahan istilah Cina menjadi Tionghoa merupakan salah satu akselerasi penyelesaian (ABMA/T). “Kurang lebih 13 poin perubahan substansi yang diharapkan lebih menjangkau pemantapan status hukum ABMA/T” ungkap Purnama. Beberapa perubahan subtansi di antaranya penambahan kewenangan Dirjen Kekayaan Negara dalam melakukan pencoretan dan pemutakhiran data ABMA/T.

Purnama juga menambahkan titik kritis yang perlu diperhatikan baik oleh Tim Penyelesaian Pusat maupun tim Asistensi Daerah yaitu pada saat keputusan penetapan status ABMA/T terbit, penetapan jangka waktu dan besaran kompensasi serta pemantapan status menjadi Barang Milik Negara. Bahkan masyarakat diberikan kesempatan untuk mengajukan permohonan pelepasan penguasaan dari negara kepada pihak ketiga dengan cara pembayaran kompensasi melalui jalan musyawarah, tanpa harus melalui upaya hukum di lembaga peradilan.

Pada bagian akhir, Purnama berharap penyelesaian dapat optimal, tertib, terarah, akuntabel, tuntas dan menyeluruh serta untuk lebih mewujudkan kepastian hukum dalam status kepemilikan aset dan/atau sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.

Selanjutnya, sosialisasi dilanjutkan dengan diskusi yang membahas kendala-kendala implementasi penyelesaian ABMA/T pada waktu yang akan datang. Diskusi hangat membahas terkait pemblokiran yang dilakukan oleh Tim Pusat/Daerah yang dimungkinkan menimbulkan kesulitan akibat perbedaan kebijakan pada kantor pertanahan dan ketidaklengkapan dokumen pendukung ABMA/T. Selain itu, penetapan organisasi/ perkumpulan/yayasan terlarang/eksklusif rasial perlu diatur lebih lanjut dalam ketentuan lebih lanjut. Salah satu usulan yang menarik adalah adanya pengawasan dan pengendalian terhadap tindak lanjut penyelesaian ABMA/T. 

Pada sore hari, setelah penandatanganan pakta integritas, kegiatan dilanjutkan dengan pemaparan yang membahas mengenai Aset dan Debitor Tracing serta terkait Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Sesi yang dimoderatori oleh Kepala Subdirektorat Piutang Negara II Tredi Hadiansyah ini menghadirkan pembicara dari perwakilan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) dan perwakilan dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

AKBP Ponadi yang berasal dari Badan Reserse Kriminal  POLRI menyampaikan mengenai asset tracing yang berkaitan dengan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Dasar Hukum dari penindakan TPPU adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan TPPU. Pengungkapan Tindak Pidana TPPU dapat diawali dengan laporan transaksi keuangan dari penyelenggara jasa keuangan atau penyedia barang dan jasa kepada Pusat Pelaporan Analisa Transaksi Keuangan  (PPATK) untuk selanjutnya oleh PPATK disusun Laporan Hasil Analisa (LHA) transaksi keuangan (LHA) dilanjutkan ke Bareskrim. “Selain itu pengungkapan TPPU juga dapat diawali dengan informasi yang diperoleh dari intelejen POLRI itu sendiri”, ujar Ponadi.   Lebih lanjut Ponadi menambahkan karakeristik TPPU pada umumnya meliputi transaksi tidak memiliki tujuan ekonomis dan bisnis yang jelas, menggunakan uang tunai, keaktifan transaksi diluar kebiasaan, dan prilaku nasabah ketika diminta identitas akan resisten.

Ahmad Mudasir, Narasumber yang berasal dari Direktorat Intelejen Perpajakan DJP menyampaikan langkah-langkah penagihan pajak yang diawali dengan Surat teguran, penagihan seketika dan skaligus, penyampaian surat paksa, pencegahan, penyitaan, paksa badan(gizeling), dan penjualan barang yang telah disita. Ahmad menekankan pentingnya pelaksanaan pemeriksaan lapangan untuk memperoleh informasi lebih lengkap mengenai aset dan debitor tracing.(Penulis/foto:Humas DJKN)

Foto Terkait Berita
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini