Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Berita DJKN
SKLN di MK: Pembelian Tujuh Persen Saham Newmont Merupakan Kebijakan yang Sudah Tepat!
N/a
Rabu, 11 April 2012 pukul 16:05:44   |   624 kali

Jakarta – Pembelian tujuh persen saham divestasi Newmont merupakan langkah dan kebijakan yang sudah tepat dan harus dilanjutkan. Pembelian ini bukan hanya sah, namun juga merupakan amanat dalam kontrak karya, bahkan merupakan kebijakan yang patut didukung sebagai wujud nyata tanggung jawab pemerintah dalam mengelola aset negara. Demikian ditegaskan saksi ahli dari pemerintah Dr. Mulia Nasution dalam Sidang Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) tentang Pembelian Divestasi Saham PT Newmont Nusa Tenggara pada 10 April 2012 di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta.

Sidang ini dihadiri oleh pihak pemerintah selaku pemohon antara lain dari Kementerian Keuangan, Dirjen kekayaan Negara, Sekretaris Jenderal, Inspektur Jenderal, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi, Kepala Biro Bantuan Hukum serta pejabat dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hadir juga beberapa anggota DPR selaku termohon satu antara lain Aziz Syamsudin, Hary Azhar Aziz, dan Nusron Wakhid dari Fraksi Golkar, Maruarar Sirait dari Fraksi PDI Perjuangan serta dari Fraksi Parta Amanat Nasional dan Partai Persatuan Pembangunan. Dari pihak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selaku termohon II dihadiri oleh Ketua BPK Hadi Purnomo dan Wakil Ketua BPK Hasan Bisri. Agenda sidang kali ini adalah mendengarkan keterangan saksi ahli baik dari pihak pemohon, termohon I maupun termohon II.

    

Menurut Mulia Nasution selaku saksi ahli yang diberikan kesempatan pertama, pembelian saham ini tidak ada ketentuan yang melarang. Menkeu sebagai bendahara negara dapat membeli saham ini karena merupakan investasi jangka panjang yang bersifat non permanen dan ini berbeda dengan Penyertaan Modal Negara (PMN) yang merupakan investasi jangka panjang yang bersifat permanen. “Jadi, pembelian saham ini bukan PMN,” tegasnya di hadapan peserta sidang. Lebih lanjut, Mulia menyatakan bahwa Pusat Investasi Pemerintah (PIP) merupakan kepanjangan tangan Menteri Keuangan dan merupakan Badan Layanan Umum (BLU) yang asal dananya dari APBN dan keuntungan yang diperoleh terdahulu.

Ia menjelaskan bahwa sumber dana PIP untuk pembelian saham Newmont sebesar Rp1 triliun dari Anggaran Pendapat dan Belanja Negara (APBN) 2011 yang sudah diizinkan oleh DPR, sedangkan sisanya dari keuntungan tahun sebelumnya yang tidak perlu persetujuan DPR lagi. "Investasi yang bersifat nonpermanen bukan keputusan politik yang perlu persetujuan DPR," imbuhnya.  Jadi, Mulia menyimpulkan bahwa pemerintah pusat tidak perlu meminta persetujuan DPR karena pembelian saham berdasarkan kontrak karya tersebut adalah investasi, bukan penyertaan modal negara.

Pada kesempatan yang sama, mantan Hakim MK Maruarar Siahaan mengatakan, ketika terjadi reformasi, maka ada perubahan paradigma sehingga apa yang disebut boaventura de sousa santos, maka krisis itu akan sering terjadi karena pembuat kebijakan tidak memahami terjadinya perubahan paradigma sehingga melakukan regulasi dan solusi berdasar paradigma lama, yang tidak sesuai dengan perubahan mendasar yang membentuk paradigma baru. Menurutnya, BPK dan DPR menggunakan acuan dari seluruh konsepsi yanga ada dalam Undang-Undang (UU) yang dibuat berdasarkan teori dan konsep yang lama. “BPK dan DPR dalam hal ini menggunakan paradigma supremasi parlemen,” tukasnya.

Hal ini, lanjutnya, dilandaskan pada fakta sesudah perubahan UUD 1945 yang ketiga, supremasi parlemen berubah menjadi supremasi konstitusi, dan kedaulatan rakyat dilaksanakan menurut UUD 45, sehingga sistem pemerintahan dijalankan dengan sistem presidensial. Presiden dipilih langsung oleh rakyat, sehingga dia mempunyai legitimasi dan legalitas yang sama tingginya dengan DPR. Oleh karena itu, presiden mempunyai diskresi yang luas dalam menjalankan pemerintahan, tanpa mengesampingkan kewenangan DPR dalam bidang legislasi, anggaran dan pengawasan.

Berdasarkan hal tersebut, ia berpendapat presiden berhak mengambil keputusan termasuk finance policy function. “Jadi, presiden harus dibebankan dari kekakuan karena setiap saat harus meminta izin DPR,” tegasnya.

Selain mendengarkan saksi ahli dari pihak termohon, sidang kali ini juga mendengarkan saksi ahli dari termohon I dan II yaitu, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) Prof. Dr. Mudrajat Kuncoro dan Ahli Hukum Tata Negara OC Kaligis. Prof. Mudrajat Wibowo dalam pandangannya, menganalisis kasus ini dari perspektif ekonomika bisnis dan ekonomika politik. Ia berpendapat bahwa proses divestasi saham tujuh persen ini harus dilanjutkan dan jangan sampai tertunda implementasinya dikarenakan proses uji materiil di MK. Di penghujung pandangannya, ia berharap agar pemerintah diharapkan dalam membeli saham Newmont tidak hanya tujuh persen saja, namun apabila memungkinkan dapat membeli saham sebesar 51 persen.(Bend/Didik-Humas DJKN)

 




Foto Terkait Berita
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini