Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Berita DJKN
Knowledge Sharing dan Curhat
N/a
Jum'at, 24 Oktober 2014 pukul 13:47:07   |   974 kali

Ambon - “Keharusan penilaian barang agunan dengan nilai Rp.300.000.000,00 keatas dengan menggunanakan penilai independen pada lelang hak tanggungan terasa memberatkan!” ujar penanya dari bank rakyat Indonesia cabang Tual dalam acara sosialisai lelang hak tanggungan (parate eksekusi atau titel eksekutorial) yang diadakan Kanwil DJKN Papua dan Maluku, 16 Oktober 2014 di aula GKN Ambon. Acara sosialisasi yang dibuka oleh Kepala KPKNL Ambon ini dapat menjadi momentum tambahan pengetahuan dan sarana penggalian potensi lelang di daerah khususnya di provinsi Maluku.

Menurut penanya sebagai kepala Kantor BRI Cabang Taul ongkos yang harus dibayarkan relatif mahal karena harus mendatangkan penilai independen dari Makasar belum lagi bila objek hak tanggungan tidak berada dalam satu pulau untuk itu perlu kiranya dibuat aturan tersendiri. Mendapat curahan hati tersebut, Kepala Bidang Lelang, Widodo Sunarko, selaku narasumber menyambut baik usulan tersebut dan akan meneruskan ke KP DJKN. "Kondisi di kawasan Timur Indonesia memang khas dan unik dibanding dengan kawasan barat sehingga memerlukan perlakuan yang khas pula", imbuh Widodo. Hal ini juga sempat dipertanyakan oleh perbankan di wilayah KPKNL Biak, Jayapura, dan Sorong.

Petanyaan yang tidak kalah menariknya adalah perihal perbedaan antara pelaksanaan hak tanggungan menurut pasal 6 UUHT dan pelaksanaan lelang hak tanggungan yang dimintakan viat pengadilan. “Jadi siapa yang berhak mengajukan lelang, bila putusan dari pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum” : ujar perwakilan dari BCA cabang Ambon. Pertanyaan tersebut menjadi menarik karena pihak perbankan masih ada yang belum “ngeh” dengan kewenangan dalam mengajukan lelang. “Ketika pihak pengadilan telah menetapkan, maka yang bertindak sebagai pemohon lelang adalah pengadilan demikian juga dalam penetapan nilai limitnya sedangkan bila kreditur mendasarkan pasal 6 UUHT maka sebagai pemohon lelang adalah kreditur sendiri demikian juga dalam hal penetapan nilai limitnya. Dengan kata lain, lelang hak tanggungan yang didasarkan pasal 6 UUHT tidak memerlukan viat Pengadilan” kata Widodo, pria asal Sidoarjo.

Pada sosialisasi ini juga memunculkan pertanyaan terkait kedudukan pemegang hak tanggungan bila debitur mengalami pailit. “Bila debitur dipailitkan oleh pengadilan niaga, bagaimana kedudukan kreditur pemegang hak tanggunan”, ujar penanya dari Bank BTN Cabang Ambon. Terhadap pertanyaan ini, Pak Wid, demikian biasa dipanggil memberikan penjelasan bahwa pemegang hak tanggungan pertama tetap mempunyai hak preferen/didahulukan atas kreditur pemegang hak tanggungan kedua, ketiga dan seterusnya dan juga kreditur kongkuren/biasa. "Di samping itu, agunan yang diikat telah diikat hak tanggungan bukan merupakan bagian boedel pailit” tambah Widodo. Sehingga bila debitur jatuh pailit, pemegang hak tanggungan masih berhak mengambil pelunasan hutangnya terlebih dahulu melalui lelang umum atas agunan tersebut.

“Pada dasarnya dalam UUHT dijelaskan ada tiga cara penyelesaian hutang debitur yaitu (1) melalui parete eksekusi berdasarkan pasal 6 UUHT; (2) berdasarkan titel  eksekutorial dengan terlebih dahulu meminta fiat pengadilan; (3) melaksankan penjualan sendiri di bawah tangan dengan persetujuan debitor”: demikian simpulan pelaksaan sosialisasi hak tanggungan (parate eksekusi atau titel eksekutorial) ini. Setelah diskusi, Widodo menutup acara sosialisasi.
(naskah Abdul Khalim, kepala seksi informasi Kanwil DJKN Papua dan Maluku dengan editing bidang lelang)

Foto Terkait Berita
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini