Banda Aceh – Asset-Liability Committee (ALCO)
Regional Aceh kembali melaksanakan pertemuan rutinnya yakni konferensi pers
sebagai bentuk dukungan dan penguatan unit vertikal di daerah sebagai Regional
Chief Economist. Forum yang diadakan pada Rabu (25/1) ini dilaksanakan dalam
rangka mengupdate kinerja perekonomian dan APBN pada Desember 2022. Pemaparan
kinerja APBN dan perekonomian regional dilaksanakan Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Perbendaharaan (Kanwil DJPB) Aceh disampaikan oleh Kepala Seksi Pembinaan
Pelaksanaan Anggaran II-B Frenky Dedy Kristinus Situmorang.
Frenky menyampaikan pertumbuhan perekonomian di Aceh masih
terjaga pada angka 2,13 persen. Untuk Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
didominasi oleh lapangan usaha pada sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan
sebesar 30 persen dari PDRB. Sedangkan dari segi inflasi per Desember 2022
mencapai 5,89 persen. “Untuk Kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara regional
Aceh sampai dengan 31 Desember 2022 dari sisi penerimaan diraih sebesar Rp 6,76
triliun atau 123,90 persen. Dari sisi realisasi belanja terlaksana sebesar Rp
47,49 triliun atau 99,68 persen,” ungkapnya.
Lebih dalam mengenai realisasi APBN Regional, per 31
Desember 2022, lanjutnya, pendapatan dan hibah tumbuh 20,68 persen disbanding
tahun sebelumnya, dan didorong oleh pertumbuhan penerimaan perpajakan dan penerimaan
negara bukan pajak (PNBP). Dari sisi perpajakan optimalnya pengawasan atas
pembayaran masa dan pengawasan kepatuhan material dari wajib pajak sektor
penggalian dan pertambangan khususnya untuk sektor batubara.
Di sisi lain, PPh migas, pajak lainnya dan pendapatan BLU
mengalami kontraksi masing-masing sebesar 71,85 persen, 2,02 persen dan 3,08
persen. Dari segi belanja, per 31 Desember 2022 mengalami kontraksi 1,13 persen
secara yoy. Penurunan tersebut karena penurunan belanja modal dan TKDD, sebagai
catatan, realisasi TKDD mengalami penurunan karena adanya penurunan pagu TKDD.
Untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Provinsi Aceh, realisasi pendapatan APBD Provinsi Aceh s.d. 31 Desember 2022
sebesar Rp39,71 triliun. Kontributor
terbesar pendapatan APBD yaitu pendapatan dari dana transfer senilai Rp34,06
triliun atau sebesar 86,02 persen. Perbedaan antara TKDD APBD dan TKDD APBN
yaitu belum adanya revisi pagu oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
(DJPK) serta adanya transfer dari provinsi ke kabupaten/kota.
Pada forum kali ini juga disampaikan mengenai respon
terhadap kebijakan pemerintah di regional Aceh. Yang pertama dalam rangka
pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN) Bendungan Keureuto yang akan
diresmikan pada tahun 2023 ini. Yang kedua adalah penurunan Dana Otonomi Khusus
(Otsus). Kementerian Keuangan melalui regional Aceh mencoba merespon dengan
mengidentifikasi kemungkinan sumber-sumber pendanaan baru bagi program-program
Bidang Pendidikan dan Kesehatan yang selama ini dibiayai oleh Dana Otsus dan
sinergi dengan pemerintah Aceh untuk memastikan program-program yang dibiayai
oleh Dana Otsus ini langsung dapat dirasakan oleh masyarakat Aceh. Bank
Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui kantor perwakilannya juga
menyatakan hal yang sama. Bank Indonesia pun menyampaikan bahwa perlu adanya dorongan
untuk pelaku agro industri. OJK menyampaikan terkait Kredit Usaha Rakyat (KUR)
juga perlu dilakukan peningkatan plafond serta kualitas penyalurannya perlu
mendapat perhatian.
Pertemuan kali ini juga turut mengundang Kantor Perwakilan
Bank Indonesia Provinsi Aceh dan Kantor Perwakilan Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Provinsi Aceh. Hal ini guna semakin memperkuat sinergi pada bidang perekonomian
terutama adanya perubahan kebijakan mengenai Data Otsus, kenaikan inflasi,
serta kebutuhan penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR).