Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Berita DJKN
Ketika Karut-marut Mengurus Aset Negara
N/a
Senin, 01 Desember 2008 pukul 11:55:32   |   3643 kali

Hari-hari mencemaskan keluarga Peter Patta Sumbung, mantan Wakil Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional atau BKKBN Pusat, belum berlalu. Rumah milik negara yang ditempatinya di Jalan Gedung Hijau, Pondok Indah, Jakarta Selatan, selama 27 tahun, setiap saat bisa diambil alih negara.

Sesuai surat teguran dari pengadilan, akhir Februari lalu, Peter diperintahkan melaksanakan Keputusan Mahkamah Agung (MA) tanggal 18 Juli 2006, agar mengosongkan rumah seluas sekitar 300 meter persegi itu. Ia sebelumnya menggugat pembatalan putusan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) yang menaikkan golongan rumah dinas yang ditempatinya. Namun, gugatannya kandas di tingkat banding maupun kasasi.

Rumah dinas itu ditinggali Peter sejak terbitnya Surat Keputusan (SK) Kepala BKKBN Suwardjono Suryaningrat tahun 1981. Sebelumnya, Peter mengantongi surat izin mendirikan bangunan dan izin penggunaan bangunan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk merenovasinya. Ia juga menyatakan tak lupa membayar sewa setiap bulan.

Namun, keputusan Mensesneg tahun 1999 memupus keinginannya memiliki rumah dinas itu. Rumah dinas itu ditingkatkan menjadi golongan I dari sebelumnya golongan II. Padahal, setahun sebelumnya Peter mengajukan permohonan untuk membeli rumah dinas, seperti pejabat BKKBN lainnya.

Meski ia mendapatkan Bintang Mahaputra kelas I atas jasanya sebagai perintis keluarga berencana di Indonesia, tampaknya itu tak dihiraukan. Peter dan keluarganya harus hengkang. Titi Sumbung, istri Peter, mempersoalkan ketidakadilan yang dirasakannya itu.

”Jangan diskriminatif, membedakan suami saya dengan pejabat BKKBN lain. Kenapa suami saya tak bisa membeli rumah dinas yang ditempati, sementara pejabat BKKBN lainnya bisa membeli?” tanya Titi, pekan lalu.

Dari data yang dimiliki Kompas, rumah dinas yang kini beralih menjadi hak milik pribadi mantan pejabat BKKBN tercatat ada 28 rumah di kawasan elite Kebayoran Baru, Pondok Indah, Mampang Prapatan, Pengadegan, Kramat Jati, Cipinang Raya, dan lainnya.

Sebelum beralih kepemilikan, rumah itu terlebih dahulu diturunkan menjadi golongan III sehingga memenuhi syarat untuk dijual dan dimiliki pribadi. Sebut saja rumah yang ditempati Kepala BKKBN Pusat Haryono Suyono di Jalan Perdatam Raya, Jakarta Selatan.

Setelah 10 tahun ditempati, status golongan I rumah itu diubah Direktorat Jenderal Cipta Karya menjadi golongan II. Lalu status rumah itu diubah lagi menjadi golongan III sehingga bisa dimiliki Haryono. Anehnya, golongan rumah dinas yang ditempati Peter malah dinaikkan. Titi mengaku tak tahu kriteria peningkatan atau penurunan golongan rumah pejabat BKKBN.

Titi akhirnya bersedia pindah asalkan keluarganya diberi ganti rugi. Namun, ia juga minta jangka waktu sebelum ia beserta keluarganya keluar dari rumah dinas BKKBN. Kepala BKKBN Pusat Sugiri Syarief, Selasa (15/4), membenarkan adanya masalah rumah dinas di instansinya. Namun, ia berjanji, persoalan rumah dinas itu bisa diselesaikan dengan dikembalikan ke negara.

Soal rumah dinas yang kini dikuasai Haryono dan mantan pejabat BKKBN lainnya, Sugiri mengatakan, mereka berhak memilikinya karena status golongan rumah itu sudah diturunkan menjadi golongan III. ”Dahulu, sebelum krisis ekonomi 1997-1998, boleh dibeli. Tetapi, sekarang, saat pemerintah tak lagi membangun rumah dinas, tidak mungkin rumah dinas yang ada dibeli penghuninya. Rumah itu diperuntukkan bagi pejabat yang masih berdinas,” ujar Sugiri. Ia menjamin tak ada penyimpangan peralihan rumah dinas pejabat BKKBN.

Hanya salah satu kasus

Persoalan rumah dinas BKKBN hanya satu kasus yang menunjukkan karut-marutnya pengurusan rumah dinas yang dikategorikan barang milik negara (BMN). Kekacauan itu terlihat dari perlakuan yang berbeda antara pejabat yang satu dan pejabat lainnya, juga tidak jelasnya waktu penghuni bisa mendiami rumah dinas negara serta raibnya aset negara itu.

Contoh karut-marutnya pengelolaan BMN kian terlihat dalam kasus rumah dinas mantan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah (sekarang Menteri Pekerjaan Umum/PU) Soenarno yang baru-baru ini dibuka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Soenarno diduga mengalihkan rumah dinas di Jalan Senopati 26, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, menjadi rumah milik pribadi (Kompas, 9/4).

Kasus Soenarno agak mirip dengan rumah dinas BKKBN. Menurut Wakil Ketua KPK Haryono Umar, rumah itu awalnya milik PU, tetapi dialihkan menjadi milik pribadi. Kasus ini dikembangkan KPK dan terungkap adanya dua rumah dinas lain yang juga dialihkan sehingga dimiliki pribadi pejabat PU.

Rumah yang pernah ditempati Soenarno, lanjut Haryono, semula rumah golongan I, yaitu rumah negara yang tidak boleh dialihkan status kepemilikannya. Namun, dengan SK yang dikeluarkannya, status golongan I dibatalkan. Status rumah itu diubah menjadi golongan II. Beberapa waktu kemudian, Dirjen Perumahan dan Permukiman mengeluarkan surat pengalihan statusnya menjadi rumah golongan III. Saat itulah terjadi peralihan kepemilikan.

Haryono mengaku, KPK terus mengembangkan lagi kasus itu. Ia yakin pengalihan rumah dinas seperti ini tak hanya terjadi di PU, tetapi juga di departemen dan lembaga lainnya. Misalnya, Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, dua tahun lalu, membongkar pengalihan sembilan rumah milik Dinas Koperasi dan Pelayanan Usaha Kecil dan Menengah Jateng. Status rumah dinas yang semula golongan I itu juga dialihkan menjadi golongan II sehingga bisa dijual.

Laporan hasil pemeriksaan semester II tahun 2007, yang baru-baru ini diserahkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), juga menyoroti pemakaian rumah dinas Sekretariat Negara di Jalan Kemanggisan Ilir, Jakarta Barat, oleh mantan pejabat MA. Padahal, mereka tak berhak lagi menempati rumah dinas itu.

BPK juga menyoroti BMN berupa 35 bangunan senilai Rp 77,60 miliar di Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat, yang seharusnya digunakan negara, tetapi dipakai pihak lain. Laporan terbaru BPK lainnya, yang diterima Kompas, Senin (14/4), juga mengungkapkan makin karut-marutnya BMN. Namun, penyimpangan bukan hanya pada pengelolaan rumah, gedung atau bangunan milik negara, melainkan juga aset lain, seperti tanah, mesin, dan kendaraan.

Contohnya, BPK mengungkapkan adanya 782 bangunan dan gedung serta 514 mesin dan peralatan, juga 328 bidang tanah seluas 11.269 hektar dengan total nilai Rp 685 miliar di 17 departemen dan lembaga. Aset negara itu digunakan untuk kepentingan pribadi, lahan perkebunan dan pertanian oleh yayasan, swasta, dan pensiunan.

Tanah eks Mabes TNI AU

Terungkap pula pemanfaatan BMN oleh pihak ketiga di 19 departemen dan lembaga tanpa seizin Menteri Keuangan, apalagi kontribusinya untuk negara. BMN itu berupa tanah seluas 10.078,85 hektar dengan taksiran harga minimal Rp 3,79 triliun. Gedung dan bangunan sebanyak 117 unit dengan nilai minimal Rp 273,8 miliar dan peralatan serta mesin sebanyak 11.744 unit dengan nilai Rp 61,77 miliar.

Bahkan, BPK menilai pemanfaatan gedung eks Markas Besar TNI Angkatan Udara di Jakarta Selatan seluas 2,94 hektar, yang dimanfaatkan swasta untuk kepentingan komersial dengan tarif sewa rendah, merugikan negara Rp 99,48 miliar. Hasil sewa yang memanfaatkan BMN di lima departemen dan lembaga, berupa tanah, gedung, dan bangunan, juga belum disetorkan ke Kantor Kas Negara senilai Rp 176,3 miliar.

BPK juga membeberkan, tanah milik negara pada 20 departemen dan lembaga seluas 344.092,4 hektar dengan nilai Rp 5,2 triliun belum bersertifikat. Sementara 387 bidang tanah seluas 51.595,8 hektar di 12 departemen dan lembaga senilai Rp 1,13 triliun berada dalam status sengketa hukum. Ada juga yang tidak jelas kepemilikannya.

Anggota BPK Baharuddin Aritonang, yang dikonfirmasi soal data terbaru karut-marutnya pengelolaan aset negara itu, membenarkan. Ia menyarankan, untuk mencegah terjadinya karut- marut BMN, departemen dan lembaga mendayagunakan satuan pengawas internal, seperti inspektorat jenderal dan deputi pengawasan masing-masing instansi.

Dirjen Kekayaan Negara Departemen Keuangan Hadiyanto membantah kalau pengelolaan BMN karut-marut. Menurut dia, penatausahaan BMN, terutama rumah dinas golongan I dan II, berada pada departemen dan lembaga, bukan semuanya di Depkeu. Golongan III ada pada Ditjen Cipta Karya Departemen PU.

Kepala Biro Hubungan Masyarakat Depkeu Samsuar Said dalam siaran persnya menyatakan, untuk mewujudkan pengelolaan BMN yang tertib dan optimal, Depkeu membentuk Tim Penertiban Barang Milik Negara berdasarkan Keputusan Presiden Tahun 2007. Tim ini menindaklanjuti temuan BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat tahun 2006.

Hasilnya, memang belum 100 persen, tetapi bertahap. Periode pertama baru inventarisasi dan penilaian di sebagian kementerian dan lembaga. Periode kedua, inventarisasi dan penilaian pada lebih banyak lagi kementerian dan lembaga. Periode ketiga, tindak lanjut atas hasil penertiban berupa perbaruan data, koreksi nilai neraca, sertifikasi, sampai pengenaan ganti rugi atas aset hilang.

Hingga minggu pertama April 2008, Ditjen Kekayaan Negara Depkeu telah bekerja sama dengan 20 departemen dan lembaga menginventarisasi dan penilaian semua BMN yang dikuasai. Bagaimana hasilnya? Depkeu mengaku sudah mengoreksi angkanya hampir tiga kali lipat dari nilai sebelumnya.

Harapan Depkeu, akhir tahun 2008, pihaknya mampu mengidentifikasikan semua aset negara dengan sejumlah masalah. Depkeu juga berjanji akan mengambil tindakan tegas untuk mengamankan aset-aset itu agar tak terjadi lagi kerugian negara. Bisakah terbukti? Kita tunggu.

Kompas, Kamis, 17 April 2008
 

Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini