Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Berita DJKN
Penyelesaian kredit macet bank BUMN dan BPD diusulkan dibawa ke MK
N/a
Senin, 31 Agustus 2009 pukul 15:20:14   |   3435 kali

Jakarta (Bisnis Indonesia, 31/08/2009) - Seperti penulis perkirakan beberapa tahun lalu, akhirnya ‘meledak’ juga kegelisahan para bankir bank BUMN terkait ketidakpastian penyelesaian kredit macet yang dimiliki bank.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 33/2006 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara yang merupakan revisi dari PP No. 14/2005 memang tak cukup kuat bagi bankir BUMN untuk berani, misalnya, melakukan hair cut atas kredit macet yang dimilikinya.

Apa yang dialami bank BUMN, juga berlaku di Bank Pembangunan Daerah (BPD) mengingat, menurut Undang-Undang (UU) No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, kedudukan bank BUMN dan BPD adalah sama, yaitu merupakan bagian keuangan negara.

Dengan kata lain, perlakuan yang dialami bank BUMN, berlaku pula di BPD. Artinya, jika keleluasaan melakukan hair cut tidak dimiliki bank BUMN, hal yang sama juga dialami BPD.

Kredit macet = Korupsi ?

Setidaknya, ada dua hal munculnya kemelut soal hair cut kredit macet. Pertama, pandangan yang keliru soal kredit macet di bank BUMN dan BPD, termasuk langkah hair cut atas kredit macet yang akan diambil.

Sebagian pihak masih melihat bahwa kredit macet adalah ‘dosa besar’, sehingga pelakunya harus dihukum.

Betul bahwa kredit macet adalah sebuah kesalahan dan betul pula bahwa pelakunya harus mendapat hukuman. Namun, perlakuannya tidak selalu dapat dimasukkan dalam ranah hukum pidana dan korupsi.

Untuk memutuskan apakah kredit macet masuk ranah hukum pidana dan korupsi atau tidak, perlu dilihat bagaimana prosesnya. Sepanjang keputusan kredit (yang akhirnya macet) diambil berdasarkan business judgement, diputus tanpa adanya conflict of interest, dan telah accountable, semestinya hal itu tidak dapat dinyatakan salah secara pidana.

Sayangnya, banyak dari kita (terutama politisi dan aparat hukum) sering melihat persoalan ini secara tidak proporsional. Masih banyak dari mereka melihat persoalan ini hanya berdasarkan hasil akhirnya (yaitu kredit macet), bukan pada prosesnya.

Akibatnya, mereka melihat kredit macet sebagai bentuk kejahatan pidana dan tak jarang dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.

Kedua, kemelut tentang hair cut kredit macet bank BUMN dan BPD juga bersumber dari problem hukum yang hingga kini belum tuntas.

Problem hukum tersebut adalah kontradiksi antar-UU, terutama antara UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU No. 49 Prp tahun 1960 tentang Penyelesaian Urusan Piutang Negara (PUPN).

Kontradiksi tersebut terletak pada pengertian piutang negara. UU No.1/2004 menyatakan piutang BUMN dan BUMD bukan merupakan piutang negara. Lantas, mengapa selama ini piutang BUMN/BUMD (termasuk kredit bank BUMN dan BPD) diperlakukan sebagai piutang negara? Jawabnya, karena hingga kini masih berlaku UU No. 49 Prp/1960 tentang PUPN yang memasukkan piutang BUMN/ BUMD sebagai piutang negara.

Sesungguhnya, masalah ini telah dibawa ke Mahkamah Agung (MA) untuk mendapatkan fatwa yang benar tentang pengertian piutang negara.

Hasilnya, MA menyatakan piutang BUMN bukan merupakan piutang negara. Fatwa MA inilah yang kemudian berbuah dengan direvisinya PP No. 14/ 2005 dengan PP No. 33/2006.

Keluarnya PP No. 33/2006 disambut dengan euforia oleh bank BUMN. Beberapa bank BUMN, bahkan langsung memasukkan hair cut kredit macet yang dimilikinya menjadi agenda rapat umum pemegang saham (RUPS).

Namun, seperti yang penulis prediksikan, euforia ini akhirnya tidak berlangsung lama. Bankir bank BUMN akhirnya harus kembali kepada mekanisme lama terkait dengan penyelesaian kredit macetnya.

Penyebabnya, aparat hukum di lapangan melihat landasan hukum yang digunakan sebagai acuan hair cut kredit macet melalui mekanisme RUPS lemah karena didasarkan pada PP No. 33/2006. Sementara itu, UU No. 49 Prp/1960, yang kedudukannya lebih tinggi dibanding PP, masih tetap berlaku.

Implikasinya, sesuai mekanisme yang berlaku dalam UU No. 49 Prp/1960, jika penyelesaian kredit macet tidak dapat dilakukan oleh bank BUMN dan BPD terkait, kredit macet tersebut diserahkan kepada Departemen Keuangan (dan diperlakukan sebagai ’piutang negara’) untuk proses penyelesaian lebih lanjut.

Hasil penagihan piutang BUMN/BUMD oleh Departemen Keuangan dikembalikan kepada BUMN/BUMD bersangkutan. Proses penyelesaian melalui Departemen Keuangan inilah yang sesungguhnya tidak diinginkan oleh bank BUMN dan BPD, karena pasti akan membutuhkan waktu panjang dan kompleks.

Proses hapus tagih kredit hanya dapat dilakukan setelah diproses melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN, dulu DJPLN) dengan persetujuan Menteri Keuangan.

Sementara itu, proses hapus tagih di bank swasta lebih sederhana karena hanya perlu persetujuan RUPS.

Mekanisme penyelesaian kredit macet di DJKN akan sulit menerapkan harga diskon, seperti lazimnya yang berlaku di swasta, karena akan dikaitkan dengan isu penyelamatan uang negara.

Padahal, bila kredit macet bisa dijual diskon, hal ini akan dapat membantu bisnis bank BUMN dan BPD, terutama penguatan modal dan ekspansi.

Di samping itu, akumulasi kredit macet juga menimbulkan excess baggage bagi bank BUMN dan BPD sehingga tidak hanya membatasi pertumbuhan kredit, tetapi juga berdampak negatif terhadap profitabilitas dan modal (equity).

Solusi terobosan

Dari analisis di atas, terlihat muara kemelut hair cut kredit macet bank BUMN dan BPD adalah bersumber dari kontradiksi antara UU No. 1/2004 dan UU No. 49 Prp/1960.

Penyelesaian kredit macet ini, jelas tidak akan pernah tuntas bila kontradiksi ini tidak diselesaikan. Mengingat hal ini menyangkut UU, maka penyelesaiannya pun adalah harus melalui mekanisme revisi UU ataupun dengan mengganti UU No. 49 Prp/1960 dengan UU Piutang Negara yang lebih baru.

Namun, proses ini membutuhkan waktu lama, karena pasti harus melibatkan proses politik di DPR. Meskipun penulis tahu bahwa rencana menyusun UU Piutang Negara yang baru sesungguhnya telah dimulai sejak 10 tahun lalu.

Sebagai solusi cepat yang bisa dilakukan untuk mendapatkan sebuah hasil yang lebih tuntas, penulis mengusulkan agar bank BUMN dan BPD bersama-sama membawa masalah ini ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mendapatkan keputusan hukum terkait dengan kontradiksi antara UU No. 49 Prp/1960 versus UU No. 1/2004.

Penulis yakin bahwa dengan mengacu pada bukti-bukti hukum yang dimiliki bank BUMN dan BPD, MK akan menganulir klausul mengenai piutang negara yang terdapat pada UU No. 49 Prp/1960. Terlebih lagi, sesungguhnya sejak tahun 2005, dukungan pemerintah terhadap masalah ini juga sangat besar.

Oleh Sunarsip
Ekonom The Indonesia Economic Intelligence (IEI), Jakarta

Sumber: http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL30&vnw_lang_id=2&ptopik=A57&cdate=31-AUG-2009&inw_id=692994

Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini