Jakarta - Direktur Jenderal Kekayaan Negara (Dirjen
KN) Isa Rachmatarwata menegaskan bahwa penjualan aset negara tidak menjadi opsi
utama dalam membiayai pemindahan ibu kota negara. Hal ini disampaikan pada Dialog
Nasional IV Pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) pada Senin, (16/09) di Gedung
Saleh Afiff Kementerian PPN/Bappenas.
“Kita nggak mau jual (aset negara-red).
Kita lihat value aset masih punya banyak opportunity,” ujar Isa.
Lebih lanjut, Isa menyampaikan bahwa
pemerintah akan terlebih dahulu mengoptimalkan penggunaan aset negara dengan cara
penggunaan gedung bersama lintas kementerian. Menurutnya, cara ini akan
menghasilkan “surplus” aset yang dapat dimanfaatkan lebih lanjut. Selanjutnya,
aset yang tidak digunakan untuk operasional pemerintah akan dikerjasamakan baik
dalam bentuk sewa, kerja sama pemanfaatan, BGS/BSG, ataupun kerja sama
penyediaan infrastruktur. Hasil dari kerja sama itulah yang akan digunakan sebagai
salah satu sumber pembiayaan dalam pemindahan ibu kota negara.
“Apabila kita masih mengandalkan
penerimaan pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) maka kita akan
berebut sumber pembiayaan. Kuncinya adalah bagaimana kita mendapat sumber
pembiayaan baru. Harus kreatif, supaya nggak berebut sumber (sumber pembiayaan-red),”
jelasnya.
Sumber pembiayaan lainnya yakni skema
Kerja sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) juga disinggung oleh Menteri Perencanaan
Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro. Skema pengelolaan aset ini akan
diberlakukan pada aset negara di ibu kota negara yang baru. Dengan adanya skema
ini, diharapkan negara akan memperoleh beberapa manfaat antara lain penghematan
pengeluaran negara, infrastruktur berkualitas, dan risk sharing antara
pemerintah dan swasta.
“Yang pertama masuk (di IKN baru-red)
sektor pemerintahan. Tapi nggak mungkin sendirian. Pasti butuh dukungan BUMN
dan swasta,” terang Bambang.
Terkait konsep pembangunan ibu kota baru,
Isa juga berpendapat bahwa aset-aset di ibu kota negara baru harus bisa
menghasilkan pendapatan. “Kita harus mendesainnya dengan bagus, secara efisien,
dan optimal. Untuk itu, perlu diterapkan prinsip highest and best use,” tambahnya.
(Tasya/Surur)