Jakarta - Tentu sebagian dari kita pernah ikut lelang atau pelelangan. Tetapi pernahkan terpikir istilah mana yang lebih tepat? Lelang atau Pelelangan? Keduanya dirasa sama-sama tepat, bahkan saling bertukar tempat. Penyusunan Rencana Undang-Undang (RUU) yang akan mengatur tentang lelang sebagai pengganti Vendu Reglement dimulai dari pilihan kata ini. Pilihan kata atau istilah yang tepat akan menentukan makna, filosofi, kerangka berpikir sekaligus kualitas dari suatu peraturan perundang-undangan. Bahasa mencerminkan kualitas pemahaman sekaligus kepribadian. Rupanya itu juga yang dipikirkan oleh Direktorat Lelang, tidak mau meleset untuk hal yang remeh. Hal ini terungkap saat Fokus Grup Discussion (FGD) dalam rangka penyusunan Naskah Akademis RUU Pelelangan pada Kamis, (29/11), di Lantai 12 Kantor Pusat DJKN, Jakarta.
FGD yang yang mengambil tajuk “Membedah Pengertian
Lelang Secara Leksikal dan Gramatikal.” Dimana salah satu tujuannya untuk tujuan
presisi istilah lelang ini menghadirkan narasumber
dari Kepala Bidang Pemasyarakatan, Pusat Pembinaan, Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Ovi
Soviaty Rivay. “Bahasa
peraturan perundang-undangan adalah bahasa formal, untuk itu harus mengacu pada
kaidah berbahasa tulis yang baku,”
ungkapnya.
Narasumber yang akrab dipanggil
“Teh Ovi” inimenjelaskan bahwa bahasa
peraturan perundang-undangan pada dasarnya tunduk pada kaidah tata Bahasa
Indonesia, baik pembentukan kata, penyusunan kalimat, teknik penulisan, maupun
pengejaannya. Namun, bahasa
peraturan perundang-undangan mempunyai corak tersendiri yang bercirikan
kejernihan atau kejelasan pengertian, kelugasan, kebakuan, keserasian, dan ketaatan
asas sesuai dengan kebutuhan hukum baik dalam perumusan maupun cara penulisan.
Dalam acara yang dihadiri oleh perwakilan
Direktorat Lelang, Hukum dan Humas, Sekretariat DJKN, Kanwil DJKN Jakarta serta
KPKNL Jakarta I-V ini Kepala
Subdirektorat Bina Lelang III N. Eko Laksito selaku moderator
menjelaskan realitas di masyarakat bahwa pengertian lelang tidak seragam, namun
acuan secara umum biasanya Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI).
“Ada kebutuhan untuk
menciptakan definisi baru tentang lelang, tetapi agak berbeda dengan KBBI,
bagaimana solusinya?” tanya moderator.
Menanggapi
hal tersebut, Ovi
berkomentar taktis KBBI
adalah kamus besar yang mengumpulkan kata yang berkembang di masyarakat. Atau dengan kata lain KBBI
hanya potret besar dari daftar kata/istilah yang berkembang. Banyak istilah
baru yang ditambahkan pada KBBI edisi V, yang mungkin saja tidak dijumpai dalam
KBBI awal yang dianggit WJS Poerwodarminto.
“Demikian
pula istilah lelang, pengertian pada KBBI bisa saja berkembang atau berubah
sesuai kondisi di masyarakat. Apalagi jika ada Undang-Undang yang memberikan
definisi tertentu tentang lelang. Definisi pada KBBI tidak statis, tapi sangat
dinamis,” ungkapnya.
Dalam
kesempatan tersebut narasumber mengajak peserta FGD untuk bertamasya
menjelajahi asyiknya, sekaligus “berkembangnya” Bahasa
Indonesia. Tetapi, dirinya segera
menerangkan agar mengutamakan
Bahasa Indonesia, melestarikan bahasa daerah dan menguasai bahasa asing.
“Bahasa Indonesia cukup deras
menerima pengaruh asing. Bahkan Komisi Istilah cukup sibuk mencari padanan kata
yang tepat, misalnya MRT menjadi moda raya terpadu, ATM (anjungan tunai
mandiri) atau family gathering
menjadi riung keluarga,” katanya
mencontohkan.
Saat
ditanya, bagaimana jika dalam penyusunan peraturan perundang-undangan menggunakan
istilah asing, iamenjawab untuk menghindari
sebisa mungkin, menghubungi
Komite Istilah untuk merumuskan padanan kata yang tepat. “Namun, jika memang terpaksa tuangkan saja dalam
penjelasan pasal,” ungkapnya tegas.
Narasumber juga mengingatkan bahwa dalam setiap penyusunan Undang-undang harus
didampingi oleh ahli bahasa.
Saat
sesi tanya jawab dibuka oleh moderator, dengan pertanyaan pokok kapan
menggunakan istilah lelang dan kapan pelelangan,
Dirinya menjawab lelang itu adalah nomina atau kata benda, yang
mengandung maksud transaksi lelang itu sendiri, setelah memperoleh imbuhan
menjadi pelelangan maka maknanya sudah bergeser menjadi segala sesuatu yang
terkait dengan lelang. Tanya
jawab tentang istilah lelang ini menimbulkan menimbulkan dinamika yang menarik,
yang bermuara pada kesimpulan bahwa lebih tepat menggunakan frasa
“Undang-Undang tentang Pelelangan” bukan “Undang-Undang tentang Lelang.” Pertanyaan dan diskusi berlanjut dengan
membongkar kesalahan-kesalahan kecil dalam pembuatan surat dinas.
Acara
ditutup oleh Lukman Effendi selaku Direktur Lelang dengan sambutan singkat dan ucapan
terima kasih. (Narasi Margono Dwi Susilo/Foto Dit Lelang).