Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 500-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Bontang > Artikel
Argumentasi Hak atas Kekayaan bagi Urgensi (Rancangan) Undang-Undang Perlelangan
Hadyan Iman Prasetya
Selasa, 18 Juli 2023   |   567 kali

Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) beserta kantor vertikal di bawahnya, yaitu Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) merupakan regulator dan pelaksana kegiatan lelang di Indonesia. Sebagai pihak yang amat berkepentingan, Pemerintah melalui DJKN dalam beberapa waktu belakangan semakin intens menyiapkan dan menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perlelangan. Berbagai kegiatan telah dilakukan guna mematangkan RUU dimaksud, seperti melakukan kajian kebahasaan,[1] sosialisasi secara internal,[2] hingga melibatkan para ahli perguruan tinggi di Indonesia.[3] Saat ini, RUU Perlelangan telah masuk dalam Daftar Prolegnas Jangka menengah Tahun 2020-2024 dan tengah berada dalam tahap Panitia Antar Kementerian (PAK).[4]

Patut diketahui, bahwa hingga saat ini payung hukum pelaksanaan lelang yang setingkat undang-undang masih disandarkan pada Vendu Reglement yang diberlakukan oleh Belanda pada tahun 1908.[5] Berdasarkan fakta ini, sebagaimana produk undang-undang lainnya yang diberlakukan oleh Belanda,[6] pembaruan terhadap aturan lelang merupakan salah satu agenda yang penting. Salah satu argumentasi yang menjadi dasar urgensi pembaruan terhadap aturan lelang ini tentunya adalah dikarenakan aturan yang ada telah usang dan tidak mampu mengakomodir perkembangan teknologi.[7] Selain itu, urgensi pembaruan lelang juga dilakukan guna mendukung perekonomian negara.[8]

Tanpa mengurangi pentingnya sebab-sebab yang mendasari urgensi pembaruan aturan lelang sebagaimana disebutkan sebelumnya, Tulisan singkat ini mengajukan satu argumen lain yang juga menguatkan urgensi penyusunan aturan lelang atau RUU Perlelangan. Argumentasi yang diketengahkan dalam Tulisan ini yaitu, kehadiran aturan lelang memiliki urgensi karena institusi lelang sangat berkait erat dengan hak atas kekayaan (right to property)[9] yang merupakan salah satu hak dasar bagi setiap warga negara yang perlu dihormati, dilindungi, dan dipenuhi oleh negara. Dalam mengetengahkan argumentasi tersebut, Tulisan ini akan menjabarkan 3 (tiga) hal secara berturut-turut, yaitu hak atas kekayaan sebagai hak konstitusional, realitas konstitusional terhadap relasi antara hak atas kekayaan dan lelang, dan implikasi argumentasi hak atas kekayaan terhadap proses legislasi RUU Perlelangan.

Hak atas Kekayaan sebagai Hak Konstitusional

Hak atas Kekayaan atau right to property telah diakui secara global merupakan salah satu hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia. Universal Declaration of Human Rights (UDHR) telah mengakui bahwa hak atas kekayaan adalah hak asasi manusia dan dalam praktiknya hak ini telah diakui pula oleh lembaga peradilan internasional.[10] Secara normatif, Alvarez menjelaskan bahwa argumen yang dapat menjustifikasi eksistensi dan pengakuan terhadap hak atas kekayaan yaitu argumentasi utilitarian yang berkaitan erat dengan perlindungan terhadap martabat manusia.[11] Sementara itu, Epstein menjelaskan bahwa hak atas properti memiliki karakteristik yang fundamental karena mengandung aspek universalitas (universality) sekaligus kebermanfaatan (utility).[12] Selanjutnya Epstein juga menjelaskan bahwa hak atas kekayaan mengandung adanya 3 (tiga) unsur, yaitu rules of acquisition, rules of protection, dan rules of transfer.[13]

Dalam konteks Indonesia, Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebagai Konstitusi Indonesia juga telah mengakui hak atas kekayaan sebagai hak asasi manusia. Setidaknya terdapat beberapa pasal yang mengindikasikan hal tersebut. Pasal 28G ayat (1) Konstitusi Indonesia mengatur:

Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

Selanjutnya Pasal 28H ayat (4) mengatur,”Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.” Kedua bunyi pasal tersebut setidaknya memberi pemahaman bahwa hak atas kekayaan, khususnya dalam aspek perlindungan dan memperoleh properti, telah secara eksplisit diakui dalam Konstitusi.

Namun demikian, pembahasan terkait hak atas kekayaan atau property right apabila dikaitkan dengan konsep hak asasi manusia atau hak konstitusional lebih diarahkan pada proteksi hak tersebut dari kegiatan negara atau pemerintah. Artinya, setiap kegiatan pemerintah yang berdampak pada hak warga negara atas properti yang mereka miliki haruslah dilakukan tanpa menimbulkan kerugian atau pengurangan terhadap hak warga negara atas properti tersebut.[14] Berbeda dengan konstruksi yang demikian, Tulisan ini mengetengahkan bahwa kedudukan hak atas properti sebagai hak asasi manusia atau hak konstitusional justru dapat menjadi dasar urgensi hadirnya sebuah undang-undang tentang perlelangan.

Sebagai sebuah mekanisme yang memungkinkan terjadinya perpindahan kepemilikan terhadap sebuah properti, lelang tentu tidak dapat dipisahkan dengan hak atas kekayaan atau right to property. Dengan demikian, urgensi hadirnya sebuah undang-undang yang mengatur mengenai perlelangan memiliki urgensi konstitusional, sebagai amanat Konstitusi dalam menjabarkan hak-hak asasi manusia. Hal ini juga memiliki landasan konstitusional, yaitu Pasal 28H ayat (5) yang berbunyi,” Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.” Atau secara teknis, pengaturan mengenai perlelangan, yang berkelindan dengan hak dasar warga negara terhadap properti, dalam tingkatan undang-undang juga sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur bahwa materi muatan yang berisi pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 harus diatur dalam bentuk undang-undang.

Realitas Konstitusional Relasi Hak atas Properti dan Lelang

Urgensi konstitusional lahirnya undang-undang tentang perlelangan tidak hanya secara teoritis dapat dibenarkan, namun secara empiris korelasi antara hak atas properti dengan lelang juga nyata adanya. Hal ini dibuktikan dengan adanya perkara ajudikasi konsitusional terhadap praktik lelang atas sebuah properti milik warga negara.[15] Meskipun Mahkamah Konstitusi telah memutuskan untuk menolak seluruh permohonan pengujian ini melalui Putusan Nomor 10/PUU-XIX/2021, namun contoh kasus ini menunjukkan bahwa isu terkait lelang sangat mungkin terekskalasi menjadi isu konstitusionalitas.

Sebagai tambahan, terlepas dari proses ajudikasi konstitusional, senyatanya debitor juga jamak melakukan upaya hukum terhadap pelaksanaan lelang eksekusi,[16] bahkan gugatan tersebut juga diajukan sebelum pelaksanaan lelang.[17] Upaya hukum terkait lelang juga mencakup perkara pengosongan objek lelang eksekusi Hak Tanggungan[18]. Namun demikian perlu dipahami bahwa timbulnya upaya hukum ini bukan berarti bahwa pelaksanaan lelang yang dilakukan oleh KPKNL dilaksanakan tidak sesuai ketentuan.[19]

Meskipun contoh kasus yang disebutkan terbatas pada jenis lelang eksekusi, sedangkan RUU Perlelangan dimaksudkan untuk menjadi payung hukum semua jenis lelang,[20] namun perlu dipahami bahwa dalam konteks adanya proses hukum terhadap lelang mengindikasikan perlunya suatu peraturan yang mampu menghadirkan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum bagi setiap pihak yang terlibat dalam proses lelang. Setiap upaya warga negara untuk mempertahankan hak atas properti yang disandangnya haruslah dihormati sebagai wujud pelaksanaan hak asasi manusia. Dengan demikian, hadirnya sebuah undang-undang tentang perlelangan juga merupakan kebutuhan terhadap kondisi empiris atau realitas konstitusional yang harus direspon oleh pembentuk undang-undang.

Implikasi Argumentasi

Setelah menjabarkan bahwa urgensi hadirnya undang-undang perlelangan dapat didasarkan pada status hak atas properti sebagai hak konstitusional dan realitas konstitusional timbulnya ajudikasi konstitusional dalam isu lelang, perlu dijelaskan pula implikasi dari argumentasi yang diketengahkan dalam Tulisan ini.

Penulis berpendapat bahwa argumentasi hak atas properti sebagai dasar urgensi hadirnya undang-undang perlelangan akan berimplikasi pada proses pembahasan rancangan undang-undangnya. Dengan memahami bahwa rancangan undang-undang perlelangan memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan hak atas kekayaan, maka setiap warga negara diharapkan dapat menjadikan isu terkait perlelangan sebagai public discourse yang hadir di tengah-tengah masyarakat, mengingat hak atas kekayaan merupakan hak asasi yang disandang setiap manusia sebagai anggota sebuah masyarakat. Masyarakat diharapkan memberikan atensi dan mampu mengadvokasi isu terkait perlelangan sehingga rancangan undang-undang perlelangan ini menemukan momentum untuk dapat terus dilanjutkan hingga disahkan menjadi undang-undang.

Implikasi selanjutnya yaitu perlunya respon lembaga legislatif dalam menyikapi public discourse terkait perlelangan yang ada di masyarakat. Sebagai lembaga representasi dari masyarakat, lembaga legislatif diharapkan memiliki kesamaan visi dengan masyarakat, yang dalam hal ini membutuhkan sebuah aturan terkait perlelangan. Dengan adanya kesamaan visi maka diharapkan rancangan undang-undang yang diajukan oleh Pemerintah dapat dibahas bersama dengan lembaga legislatif dan melalui proses deliberasi yang mampu menghasilkan sebuah undang-undang perlelangan yang dapat menjawab kebutuhan berbagai pihak.

Penutup

Memahami bahwa hak atas kekayaan atau right to property sebagai hak konstitusional dan berkelindan dengan institusi lelang dapat menjadi argumentasi yang menguatkan urgensi hadirnya undang-undang perlelangan. Tentunya argumentasi hak atas kekayaan sebagai dasar urgensi undang-undang perlelangan juga memiliki kadar yang sama dengan argumentasi lainnya, seperti pembaruan hukum dan argumentasi dari aspek ekonomi negara. Namun demikian, argumentasi hak atas kekayaan memiliki distingsi dari argument lainnya, karena hak atas kekayaan dapat menyentuh nilai-nilai Konstitusi sekaligus hak asasi manusia serta mampu berimplikasi pada timbulnya kesadaran kolektif masyarakat untuk ikut turut serta mengadvokasi pengesahan rancangan undang-undang perlelangan.



[9] Right to property dalam tulisan ini diterjemahkan menjadi hak atas kekayaan, hal ini disandarkan pada praktik penerjemahan intellectual property rights menjadi hak atas kekayaan intelektual.

[10] Michael Rikon,” Property Rights As Defined And Protected By International Courts”, Brigham-Kanner Property Rights Conference Journal, Volume 6" (2017): 329-340

[11] Jose E. Alvarez, “The Human Right of Property”, University of Miami Law Review Vol. 72 No. 3 (2008): 666-683

[12] Richard A. Epstein,”Property as a Fundamental Civil Right”, California Western Law Review Vol. 29 (1992): 187-207

[13] Ibid

[14] Sebagai contoh lihat Frank I. Michelman,”Property as a Constitutional Rights”, Washington and Lee Law Review Vol. 38 Issue 4 (1981): 1097-1114, lihat juga Jacob Mchangama, The Right to Property in Global Human Rights Law, diakses dari https://www.cato.org/policy-report/may/june-2011/right-property-global-human-rights-law

[15] Sri Pujianti, Rumah Terancam Dilelang, Dosen Uji UU Hak Tanggungan, diakses dari https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=17249

[16] Detami Pradiksa,Gugatan dalam Pelaksanaan Lelang Hak Tanggungan oleh KPKNL, diakses dari https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/12786/Gugatan-dalam-Pelaksanaan-Lelang-Hak-Tanggungan-oleh-KPKNL.html; terkait gugatan yang menyertakan unsur perbuatan melawan hukum lihat Abdul Khalim, Perbuatan Melawan Hukum dalam Gugatan Pelaksanaan Lelang di KPKNL, diakses dari https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/5097/Perbuatan-Melawan-Hukum-dalam-Gugatan-Pelaksanaan-Lelang-di-KPKNL.html  

[17] Deni Atif HIdayat, Gugatan Sebelum Pelaksanaan Lelang Eksekusi Pasal 6, diakses dari https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/13874/Gugatan-Sebelum-Pelaksanaan-Lelang-Eksekusi-Pasal-6.html

[18] Sri Nopialti, Kendala dan Permasalahan Pengosongan setelah Pelaksanaan Lelang Eksekusi Hak Tanggungan, diakses dari https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-bukittinggi/baca-artikel/15185/Kendala-dan-Permasalahan-Pengosongan-setelah-Pelaksanaan-Lelang-Eksekusi-Hak-Tanggungan.html

[19] Eliarti, Timbulnya Gugatan Bukan Berarti Lelang Dilaksanakan Tidak Sesuai Ketentuan, diakses dari https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/12610/Timbulnya-Gugatan-Bukan-Berarti-Lelang-Dilaksanakan-Tidak-Sesuai-Ketentuan.html

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini