Direktorat Jenderal Kekayaan Negara
(DJKN) beserta kantor vertikal di bawahnya, yaitu Kantor Pelayanan Kekayaan
Negara dan Lelang (KPKNL) merupakan regulator dan pelaksana kegiatan lelang di
Indonesia. Sebagai pihak yang amat berkepentingan, Pemerintah melalui DJKN
dalam beberapa waktu belakangan semakin intens menyiapkan dan menyusun
Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perlelangan. Berbagai kegiatan telah
dilakukan guna mematangkan RUU dimaksud, seperti melakukan kajian kebahasaan,[1] sosialisasi secara
internal,[2] hingga melibatkan para
ahli perguruan tinggi di Indonesia.[3] Saat ini, RUU Perlelangan
telah masuk dalam Daftar Prolegnas Jangka menengah Tahun 2020-2024 dan tengah
berada dalam tahap Panitia Antar Kementerian (PAK).[4]
Patut diketahui, bahwa hingga saat ini payung
hukum pelaksanaan lelang yang setingkat undang-undang masih disandarkan pada
Vendu Reglement yang diberlakukan oleh Belanda pada tahun 1908.[5] Berdasarkan fakta ini,
sebagaimana produk undang-undang lainnya yang diberlakukan oleh Belanda,[6] pembaruan terhadap aturan
lelang merupakan salah satu agenda yang penting. Salah satu argumentasi yang
menjadi dasar urgensi pembaruan terhadap aturan lelang ini tentunya adalah
dikarenakan aturan yang ada telah usang dan tidak mampu mengakomodir
perkembangan teknologi.[7] Selain itu, urgensi
pembaruan lelang juga dilakukan guna mendukung perekonomian negara.[8]
Tanpa mengurangi pentingnya sebab-sebab
yang mendasari urgensi pembaruan aturan lelang sebagaimana disebutkan
sebelumnya, Tulisan singkat ini mengajukan satu argumen lain yang juga
menguatkan urgensi penyusunan aturan lelang atau RUU Perlelangan. Argumentasi
yang diketengahkan dalam Tulisan ini yaitu, kehadiran aturan lelang memiliki urgensi
karena institusi lelang sangat berkait erat dengan hak atas kekayaan (right
to property)[9]
yang merupakan salah satu hak dasar bagi setiap warga negara yang perlu
dihormati, dilindungi, dan dipenuhi oleh negara. Dalam mengetengahkan
argumentasi tersebut, Tulisan ini akan menjabarkan 3 (tiga) hal secara
berturut-turut, yaitu hak atas kekayaan sebagai hak konstitusional, realitas konstitusional
terhadap relasi antara hak atas kekayaan dan lelang, dan implikasi argumentasi hak
atas kekayaan terhadap proses legislasi RUU Perlelangan.
Hak atas Kekayaan sebagai Hak Konstitusional
Hak atas Kekayaan atau right to
property telah diakui secara global merupakan salah satu hak dasar yang
dimiliki oleh setiap manusia. Universal Declaration of Human Rights (UDHR)
telah mengakui bahwa hak atas kekayaan adalah hak asasi manusia dan dalam
praktiknya hak ini telah diakui pula oleh lembaga peradilan internasional.[10] Secara normatif, Alvarez
menjelaskan bahwa argumen yang dapat menjustifikasi eksistensi dan pengakuan
terhadap hak atas kekayaan yaitu argumentasi utilitarian yang berkaitan erat dengan
perlindungan terhadap martabat manusia.[11] Sementara itu, Epstein
menjelaskan bahwa hak atas properti memiliki karakteristik yang fundamental
karena mengandung aspek universalitas (universality) sekaligus
kebermanfaatan (utility).[12] Selanjutnya Epstein juga
menjelaskan bahwa hak atas kekayaan mengandung adanya 3 (tiga) unsur, yaitu rules
of acquisition, rules of protection, dan rules of transfer.[13]
Dalam konteks Indonesia, Undang-Undang
Dasar Tahun 1945 sebagai Konstitusi Indonesia juga telah mengakui hak atas kekayaan
sebagai hak asasi manusia. Setidaknya terdapat beberapa pasal yang
mengindikasikan hal tersebut. Pasal 28G ayat (1) Konstitusi Indonesia mengatur:
Setiap orang berhak atas
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang
di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak
asasi.
Selanjutnya Pasal 28H ayat (4) mengatur,”Setiap
orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh
diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.” Kedua bunyi pasal tersebut
setidaknya memberi pemahaman bahwa hak atas kekayaan, khususnya dalam aspek
perlindungan dan memperoleh properti, telah secara eksplisit diakui dalam Konstitusi.
Namun demikian, pembahasan terkait hak atas
kekayaan atau property right apabila dikaitkan dengan konsep hak asasi
manusia atau hak konstitusional lebih diarahkan pada proteksi hak tersebut dari
kegiatan negara atau pemerintah. Artinya, setiap kegiatan pemerintah yang
berdampak pada hak warga negara atas properti yang mereka miliki haruslah
dilakukan tanpa menimbulkan kerugian atau pengurangan terhadap hak warga negara
atas properti tersebut.[14] Berbeda dengan konstruksi
yang demikian, Tulisan ini mengetengahkan bahwa kedudukan hak atas properti
sebagai hak asasi manusia atau hak konstitusional justru dapat menjadi dasar urgensi
hadirnya sebuah undang-undang tentang perlelangan.
Sebagai sebuah mekanisme yang
memungkinkan terjadinya perpindahan kepemilikan terhadap sebuah properti,
lelang tentu tidak dapat dipisahkan dengan hak atas kekayaan atau right to
property. Dengan demikian, urgensi hadirnya sebuah undang-undang yang
mengatur mengenai perlelangan memiliki urgensi konstitusional, sebagai amanat
Konstitusi dalam menjabarkan hak-hak asasi manusia. Hal ini juga memiliki
landasan konstitusional, yaitu Pasal 28H ayat (5) yang berbunyi,” Untuk
menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum
yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan
dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.” Atau secara teknis, pengaturan
mengenai perlelangan, yang berkelindan dengan hak dasar warga negara terhadap
properti, dalam tingkatan undang-undang juga sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur bahwa
materi muatan yang berisi pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 harus diatur dalam bentuk
undang-undang.
Realitas Konstitusional Relasi Hak atas Properti
dan Lelang
Urgensi konstitusional lahirnya
undang-undang tentang perlelangan tidak hanya secara teoritis dapat dibenarkan,
namun secara empiris korelasi antara hak atas properti dengan lelang juga nyata
adanya. Hal ini dibuktikan dengan adanya perkara ajudikasi konsitusional
terhadap praktik lelang atas sebuah properti milik warga negara.[15] Meskipun Mahkamah
Konstitusi telah memutuskan untuk menolak seluruh permohonan pengujian ini
melalui Putusan Nomor 10/PUU-XIX/2021, namun contoh kasus ini menunjukkan bahwa
isu terkait lelang sangat mungkin terekskalasi menjadi isu konstitusionalitas.
Sebagai tambahan, terlepas dari proses
ajudikasi konstitusional, senyatanya debitor juga jamak melakukan upaya hukum
terhadap pelaksanaan lelang eksekusi,[16] bahkan gugatan tersebut
juga diajukan sebelum pelaksanaan lelang.[17] Upaya hukum terkait
lelang juga mencakup perkara pengosongan objek lelang eksekusi Hak Tanggungan[18]. Namun demikian perlu
dipahami bahwa timbulnya upaya hukum ini bukan berarti bahwa pelaksanaan lelang
yang dilakukan oleh KPKNL dilaksanakan tidak sesuai ketentuan.[19]
Meskipun contoh kasus yang disebutkan
terbatas pada jenis lelang eksekusi, sedangkan RUU Perlelangan dimaksudkan
untuk menjadi payung hukum semua jenis lelang,[20] namun perlu dipahami
bahwa dalam konteks adanya proses hukum terhadap lelang mengindikasikan
perlunya suatu peraturan yang mampu menghadirkan keadilan, kepastian, dan
kemanfaatan hukum bagi setiap pihak yang terlibat dalam proses lelang. Setiap
upaya warga negara untuk mempertahankan hak atas properti yang disandangnya
haruslah dihormati sebagai wujud pelaksanaan hak asasi manusia. Dengan
demikian, hadirnya sebuah undang-undang tentang perlelangan juga merupakan
kebutuhan terhadap kondisi empiris atau realitas konstitusional yang harus
direspon oleh pembentuk undang-undang.
Implikasi Argumentasi
Setelah menjabarkan bahwa urgensi
hadirnya undang-undang perlelangan dapat didasarkan pada status hak atas properti
sebagai hak konstitusional dan realitas konstitusional timbulnya ajudikasi
konstitusional dalam isu lelang, perlu dijelaskan pula implikasi dari argumentasi
yang diketengahkan dalam Tulisan ini.
Penulis berpendapat bahwa argumentasi hak
atas properti sebagai dasar urgensi hadirnya undang-undang perlelangan akan
berimplikasi pada proses pembahasan rancangan undang-undangnya. Dengan memahami
bahwa rancangan undang-undang perlelangan memiliki keterkaitan yang sangat erat
dengan hak atas kekayaan, maka setiap warga negara diharapkan dapat menjadikan
isu terkait perlelangan sebagai public discourse yang hadir di tengah-tengah
masyarakat, mengingat hak atas kekayaan merupakan hak asasi yang disandang
setiap manusia sebagai anggota sebuah masyarakat. Masyarakat diharapkan
memberikan atensi dan mampu mengadvokasi isu terkait perlelangan sehingga
rancangan undang-undang perlelangan ini menemukan momentum untuk dapat terus
dilanjutkan hingga disahkan menjadi undang-undang.
Implikasi selanjutnya yaitu perlunya
respon lembaga legislatif dalam menyikapi public discourse terkait
perlelangan yang ada di masyarakat. Sebagai lembaga representasi dari
masyarakat, lembaga legislatif diharapkan memiliki kesamaan visi dengan
masyarakat, yang dalam hal ini membutuhkan sebuah aturan terkait perlelangan.
Dengan adanya kesamaan visi maka diharapkan rancangan undang-undang yang
diajukan oleh Pemerintah dapat dibahas bersama dengan lembaga legislatif dan
melalui proses deliberasi yang mampu menghasilkan sebuah undang-undang
perlelangan yang dapat menjawab kebutuhan berbagai pihak.
Penutup
Memahami bahwa hak atas kekayaan atau right
to property sebagai hak konstitusional dan berkelindan dengan institusi
lelang dapat menjadi argumentasi yang menguatkan urgensi hadirnya undang-undang
perlelangan. Tentunya argumentasi hak atas kekayaan sebagai dasar urgensi
undang-undang perlelangan juga memiliki kadar yang sama dengan argumentasi
lainnya, seperti pembaruan hukum dan argumentasi dari aspek ekonomi negara.
Namun demikian, argumentasi hak atas kekayaan memiliki distingsi dari argument lainnya,
karena hak atas kekayaan dapat menyentuh nilai-nilai Konstitusi sekaligus hak
asasi manusia serta mampu berimplikasi pada timbulnya kesadaran kolektif
masyarakat untuk ikut turut serta mengadvokasi pengesahan rancangan
undang-undang perlelangan.
[2] https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kanwil-sumut/baca-berita/28571/Penyusunan-RUU-Lelang-dan-Revisi-PMK-Lelang-Demi-Lelang-yang-Lebih-Baik.html
[3] https://law.ui.ac.id/seminar-uji-publik-ruu-pelelangan-2/;
https://www.djkn.kemenkeu.go.id/berita/baca/17531/Hadapi-Perkembangan-Zaman-RUU-Pelelangan-Disusun-untuk-Modernisasi-Vendu-Reglement.html;
https://www.djkn.kemenkeu.go.id/berita/baca/32665/Konsultasi-Publik-RUU-Perlelangan-DJKN-Kunjungi-Guru-Besar-di-UGM.html
[4] https://bphn.go.id/publikasi/berita/202304160440058/blog-post.html;
https://rejogja.republika.co.id/berita/r3ot54428/pemerintah-usulkan-12-ruu-masuk-prolegnas-2022;
https://www.dpr.go.id/uu/detail/id/150
[6] https://news.detik.com/berita/d-6677596/setelah-kuhp-aturan-warisan-penjajah-soal-lelang-juga-segera-direvisi
[7] https://www.hukumonline.com/berita/a/pemerintah-perdalam-penyusunan-ruu-perlelangan-lt64532ddfdac06/;
https://www.hukumonline.com/berita/a/ruu-pelelangan--upaya-mengubah-ivendu-reglement-i-warisan-belanda-lt5c9caae759a30/#!
[9] Right
to property dalam tulisan ini diterjemahkan menjadi hak atas kekayaan, hal
ini disandarkan pada praktik penerjemahan intellectual property rights menjadi
hak atas kekayaan intelektual.
[10]
Michael Rikon,” Property Rights As
Defined And Protected By International Courts”, Brigham-Kanner Property
Rights Conference Journal, Volume 6" (2017): 329-340
[11] Jose
E. Alvarez, “The Human Right of Property”, University of Miami Law Review
Vol. 72 No. 3 (2008): 666-683
[12]
Richard A. Epstein,”Property as a Fundamental Civil Right”, California
Western Law Review Vol. 29 (1992): 187-207
[13] Ibid
[14]
Sebagai contoh lihat Frank I. Michelman,”Property as a Constitutional Rights”, Washington
and Lee Law Review Vol. 38 Issue 4 (1981): 1097-1114, lihat juga Jacob
Mchangama, The Right to Property in Global Human Rights Law, diakses
dari https://www.cato.org/policy-report/may/june-2011/right-property-global-human-rights-law
[15] Sri
Pujianti, Rumah Terancam Dilelang, Dosen Uji UU Hak Tanggungan, diakses
dari https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=17249
[16]
Detami Pradiksa,Gugatan dalam Pelaksanaan Lelang Hak Tanggungan oleh KPKNL, diakses
dari https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/12786/Gugatan-dalam-Pelaksanaan-Lelang-Hak-Tanggungan-oleh-KPKNL.html;
terkait gugatan yang menyertakan unsur perbuatan melawan hukum lihat Abdul
Khalim, Perbuatan Melawan Hukum dalam Gugatan Pelaksanaan Lelang di KPKNL, diakses
dari https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/5097/Perbuatan-Melawan-Hukum-dalam-Gugatan-Pelaksanaan-Lelang-di-KPKNL.html
[17] Deni
Atif HIdayat, Gugatan Sebelum Pelaksanaan Lelang Eksekusi Pasal 6, diakses
dari https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/13874/Gugatan-Sebelum-Pelaksanaan-Lelang-Eksekusi-Pasal-6.html
[18]
Sri Nopialti, Kendala dan Permasalahan Pengosongan setelah Pelaksanaan
Lelang Eksekusi Hak Tanggungan, diakses dari https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-bukittinggi/baca-artikel/15185/Kendala-dan-Permasalahan-Pengosongan-setelah-Pelaksanaan-Lelang-Eksekusi-Hak-Tanggungan.html
[19]
Eliarti, Timbulnya Gugatan Bukan Berarti Lelang Dilaksanakan Tidak Sesuai
Ketentuan, diakses dari https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/12610/Timbulnya-Gugatan-Bukan-Berarti-Lelang-Dilaksanakan-Tidak-Sesuai-Ketentuan.html