Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Berita DJKN
Kinerja Bank Bisa Didongkrak: Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 Sudah Usang
N/a
Selasa, 29 Juni 2010 pukul 10:24:56   |   745 kali
Jakarta-(Kompas,Selasa,29 Juni 2010 | 02:59 WIB) Kalangan bankir BUMN menyambut positif rencana Menteri Keuangan membuka kembali pembahasan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara. Langkah ini diharapkan dapat mendongkrak kinerja bank BUMN.
Dengan membuka kembali pembahasan undang-undang tersebut, akan memungkinkan piutang macet pada bank-bank badan usaha milik negara (BUMN) dapat dihapuskan.
”Hal itu akan menciptakan level playing field yang sama dengan bank swasta sehingga bisa mendongkrak kinerja bank BUMN,” kata Direktur Bank Mandiri Sentot A Sentausa, Senin (28/6) di Jakarta.
Hal senada disampaikan ekonom Dradjad H Wibowo. Ia menegaskan, UU No 49/1960 memang seharusnya sejak dulu diamandemen. Undang-undang ini dinilai sudah usang dan tidak cocok dengan kebutuhan zaman.
”Tahun 1960-1980-an, perbankan didominasi bank BUMN sehingga undang-undang tersebut mungkin relevan dengan situasi saat itu,” kata Dradjad.
Namun sekarang, ujar Dradjad, sektor perbankan sudah sangat liberal dan bank nasional milik asing makin menguasai pasar. ”Undang-undang ini membuat bank BUMN tidak bisa bersaing dalam level playing field yang sama melawan bank-bank nasional milik asing,” tutur dia.
Membersihkan neraca
Menurut Dradjad, bila UU No 49/1960 diamandemen, dampak langsung yang bakal terjadi adalah bank-bank BUMN bisa lebih cepat membersihkan neracanya dan memperbesar likuiditasnya.
”Dampak multiplier (berganda)-nya banyak, mulai dari kenaikan nilai buku perusahaan hingga potensi peningkatan harga saham,” kata dia.
Kemampuan penggalangan dana juga akan lebih besar sehingga kemampuan penyaluran kredit bisa meningkat. ”Namun memang harus ada aturan lain dari BI dan Kementerian Keuangan untuk memaksimalkan dampak multiplier- nya, terutama yang terkait dengan ekspansi kredit dan penurunan lending rate,” ujar Dradjad.
Ketidakleluasaan bank BUMN melakukan pemotongan utang pokok (haircut) dalam penyelesaian kredit macet mengakibatkan tingkat pengembalian aset yang diterima bank BUMN rendah. Hal tersebut membuat bank-bank BUMN tidak bisa agresif menghapus buku kredit macet di dalam neracanya. Akibatnya, kredit bermasalah (non performing loan/NPL) pun semakin menumpuk.
Sementara bank-bank swasta dengan mudah bisa melakukan pemotongan utang pokok sehingga leluasa menghapus buku kredit macet.
Peraturan pemerintah
Pemerintah sebenarnya telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah. Dalam peraturan pemerintah tersebut pemerintah telah memperbolehkan bank-bank BUMN melakukan haircut. Namun, bankir bank-bank BUMN tidak berani melakukannya karena menilai kalau hanya dengan peraturan pemerintah, dasar hukumnya kurang kuat.
Oleh karena itu, kalangan bankir bank-bank BUMN mengharapkan amandemen terhadap UU No 49/1960. Bila hanya berdasarkan PP No 33/2006, dikhawatirkan di kemudian haru bisa menimbulkan masalah hukum.
Adapun Peraturan Menteri Keuangan Nomor 87 Tahun 2006 tentang Pengurusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah memberi kewenangan kepada bank BUMN untuk menangani NPL sesuai dengan mekanisme korporasi. Dengan demikian, diharapkan dapat dicapai kesamaan level of playing field antara bank-bank BUMN dan bank-bank swasta.

Menurut Dradjad, kelancaran penyelesaian NPL sangat dibutuhkan oleh bank-bank BUMN yang NPL-nya masih menumpuk. (FAJ) 

Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini