Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Berita DJKN
Hapus Piutang Bank BUMN: Dana Piutang Rp 85 Triliun Bisa Dorong Kredit Usaha
N/a
Selasa, 29 Juni 2010 pukul 10:25:51   |   703 kali

Jakarta-(Kompas, Senin, 28 Juni 2010 | 04:09 WIB) Kementerian Keuangan membuka kembali pembahasan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara yang memungkinkan piutang macet pada bank-bank badan usaha milik negara dapat dihapuskan. Upaya penghapusan perlu bagi bank BUMN untuk bisa mendorong kredit.

Selama ini, aturan penghapusan piutang bank badan usaha milik negara (BUMN) terhambat karena pemerintah Kabinet Indonesia Bersatu yang lalu cenderung berhati-hati dalam memutuskannya sehingga tidak ada keputusan pada revisi Undang-Undang (UU) Nomor 49 Tahun 1960.
”Kami ingin memperjelas status aset-aset bank BUMN, apakah masih sebagai aset negara yang tidak dipisahkan atau dipisahkan,” ungkap Menteri Keuangan Agus Martowardojo kepada Kompas di ruang kerjanya, Jakarta, pekan lalu.
Menurut Agus, sebagai sebuah lembaga keuangan publik, seharusnya seluruh bank milik pemerintah mendapatkan perlakuan yang sama dengan bank-bank swasta. Atas dasar itu, aset-aset yang dikelola bank BUMN sebaiknya dikategorikan sebagai aset yang memang sengaja ditempatkan di bank tersebut.
”Dengan status tersebut, maka seluruh aset di bank BUMN merupakan aset negara yang sudah dipisahkan. Dengan demikian, tagihan yang ada pada bank BUMN bukan tagihan negara lagi. Ini yang ingin kami perjelas. Ini juga yang akan menempatkan posisi bank BUMN dapat memperlakukan piutangnya secara sama dengan bank swasta,” ujarnya.
Dana Rp 85 triliun
Perselisihan terkait penghapusan piutang di bank-bank BUMN ini sudah dimulai sejak tahun 2005. Pada tahun 2006, fatwa Mahkamah Agung sebenarnya sudah memberikan penguatan kepada bank-bank BUMN untuk menyelesaikan sendiri piutangnya seperti praktik di bank swasta. Berdasarkan fatwa tersebut, Bank Mandiri, BTN, BNI, dan BRI dapat menyelesaikan sendiri piutangnya melalui mekanisme korporasi.
Namun, dalam praktiknya, aparat hukum tetap menilai penghapusan piutang pada bank BUMN dapat dikategorikan sebagai penghilangan aset negara. Apalagi pelaku kredit macet di bank-bank BUMN bisa dijerat dengan aturan tindak pidana korupsi, UU No 31 Tahun 1999.
Sebelumnya di Hongkong, China, Direktur Utama BNI Gatot M Suwondo menuturkan, kredit macet di bank BUMN, yang diperkirakan masih Rp 85 triliun, seharusnya bisa dihapuskan. Jika penghapusan dilakukan, bank BUMN tidak perlu mengalokasikan pencadangan dana sehingga dananya bisa digunakan untuk menggenjot kredit usaha.
”Masalahnya adalah piutang yang membebani neraca tersebut sudah sulit ditagih karena sebagian besar adalah piutang kredit yang sudah sangat lama. Selain itu, sebagian debitor sudah tidak ada, begitu juga dengan agunannya,” kata Gatot.
Satu paket
Atas dasar itu, Agus menempatkan pembahasan revisi UU Nomor 49 Tahun 1960 itu sebagai salah satu agenda prioritas Kementerian Keuangan. Selain UU tersebut, Kementerian Keuangan juga menempatkan beberapa UU pajak yang ikut direvisi dalam satu paket, yakni UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, UU Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK), serta UU Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
UU JPSK sangat penting dibuat karena Indonesia dan negara lain di dunia selalu berada di bawah bayang-bayang krisis keuangan yang mungkin saja datang dari pasar global. Dengan demikian, Indonesia membutuhkan protokol penanganan krisis yang akan diatur dalam UU tersebut.
Adapun UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan penting direvisi karena ada beberapa pendekatan Direktorat Jenderal (Ditjen Pajak) yang dirasakan tidak nyaman oleh wajib pajak, antara lain posisi Ditjen Pajak yang menjadi pembuat aturan, pelaksana aturan, sekaligus menetapkan sanksi atas pelanggar aturan tersebut.
”Kami akan segera bahas aturan-aturan itu dengan DPR,” ungkap Agus. (OIN)
 
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini