Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Berita DJKN
Rakyat Terbebani Utang Obligor BLBI
N/a
Kamis, 15 Juli 2010 pukul 11:32:53   |   1150 kali

Pengelolaan APBN , Pangkas Beban Obligasi Rekapitalisasi Bank 


JAKARTA – (koran-jakarta.com, Senin, 12 Juli 2010) Kewajiban pemerintah membayar bunga obligasi rekapitalisasi perbankan yang mencapai 80 triliun rupiah setiap tahun mempersempit kapasitas anggaran negara untuk program subsidi dan peningkatan kesejahteraan rakyat.
Sebagai upaya mengurangi utang baru dan menjaga defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tetap dalam kisaran aman, pemerintah antara lain mencabut berbagai subsidi untuk publik, seperti subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan listrik.
Akibatnya, harga BBM dan tarif listrik naik sehingga rakyat kecil yang harus menanggung dampak negatifnya. Pengamat kebijakan publik, Salamuddin Daeng, mengatakan anggaran negara menanggung beban berat akibat pembayaran bunga obligasi rekapitalisasi perbankan yang diterbitkan pada 1998.
Setiap tahun, pemerintah harus membayar sekitar 80 triliun rupiah untuk cicilan pokok dan bunga obligasi itu untuk menyelamatkan bank bermasalah milik para konglomerat tersebut.
”Lonjakan pinjaman tersebut adalah akibat pemerintah yang mengambil alih pinjaman swasta. Pemerintah jadi harus menanggung bunga dan pokok obligasi,” tegas Daeng di Jakarta, Minggu (11/7).
Selama ini, lanjut dia, pemerintah menyiasati pembayaran pinjaman obligasi dengan cara reprofiling atau menerbitkan obligasi baru dengan tenor yang lebih panjang.
Namun, langkah itu membuat pembayaran pinjaman obligasi eks Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) terpusat pada 2033, dengan total pembayaran 149 triliun rupiah.
Hal senada diungkapkan oleh pengamat ekonomi Indef, Iman Sugema. “Cara yang akan dijalankan pemerintah dengan menghapus utang dalam rangka BLBI tidak efektif.
Pemerintah perlu memangkas beban obligasi rekapitalisasi perbankan agar tidak semakin memberatkan anggaran negara ke depan,” kata Iman, Minggu.
Menurut dia, utang tersebut adalah utang haram dan sumber korupsi sehingga tidak layak menjadi tanggungan bangsa, terutama rakyat kecil, apalagi di saat sulit menghimpun penerimaan dan besarnya kebutuhan belanja untuk berbagai bidang pada saat ini.
“Pemerintah harus benar-benar ada aksi riil. Fokus kerja yang harus diutamakan pemerintah adalah mengembalikan uang negara. Sekarang dana-dana itu sangat dibutuhkan karena defisit sudah semakin membengkak,” tegas Iman.
Saat ini, kapasitas APBN untuk program kesejahteraan rakyat kian menurun karena hampir sepertiga anggaran negara telah habis untuk membayar cicilan pokok dan bunga utang, termasuk obligasi rekapitalisasi perbankan.
Pemerintah memilih mengurangi subsidi BBM dan listrik untuk menekan defisit dan tidak menambah utang baru. Padahal kenaikan harga BBM dan tarif listrik akan memangkas kesejahteraan rakyat karena mengurangi daya beli dan berdampak infl atoir atau merangsang kenaikan harga kebutuhan pokok lain.
Penarikan Aset Ekonom kepala/peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Latif Adam, mengatakan pemerintah seharusnya bisa mengupayakan penarikan aset eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk memperkuat APBN.
Sejak 2005 hingga 2008, dana yang masuk ke APBN dari hasil pengelolaan aset, terutama aset eks BPPN, hanya mencapai 14,5 triliun rupiah.
Pemerintah masih mengandalkan pada penjualan aset eks BPPN sebagai ganti rugi atas kucuran BLBI untuk menahan krisis moneter tahun 1997–1998. 
Dari total target 1,2 triliun rupiah itu, 365 miliar rupiah di antaranya merupakan target yang harus dikejar dari penjualan aset delapan obligor BLBI yang totalnya mencapai 2,297 triliun rupiah.  aji/ito/ind/WP 
http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=57002  
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini