Jakarta – Masih
dalam rangkaian Workshop Corporate
Culture and Change Management, Kamis (5/7) para peserta workshop yang
merupakan Project Management Officer (PMO) DJKN serta
Tim Roadmap Aset Manager khususnya bidang supporting pembangunan
SDM mulai memperdalam materi budaya organisasi. "Apa itu budaya
organisasi, nilai - nilai, dan perilaku kunci?" tanya narasumber, Ermalia
Normalita kepada perserta untuk mengawali hari kedua workshop tersebut.
Setelah
merasa cukup menguji pemahaman para peserta, wanita yang akrab disapa Erma ini
kembali menekankan pentingnya budaya organisasi, yakni sistem nilai -
nilai yang diyakini semua anggota organisasi, yang dipelajari, dan
diterapkan serta dikembangkan secara berkesinambungan.
“Selain
sebagai pembeda organisasi atau identitas pegawai di suatu organisasi, budaya
organisasi juga penting untuk membentuk rasa dan mekanisme pengendalian untuk
memberikan percepatan bagi organisasi dalam mencapai tujuannya,” ujar wanita
yang hobi traveling ini.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa tujuan yang ingin dicapai organisasi telah tertulis di dalam visi organisasi, sedangkan jalur yang harus ditempuh untuk mencapai misi tersebut telah tertuang dalam misi organisasi. “Nilai - nilai yang ada di organisasi berfungsi sebagai rambu - rambu yang tidak boleh dilanggar sehingga organisasi dapat mencapai tujuannya,” tegasnya.
"Apakah DJKN dapat menambahkan budaya kerja selain yang telah ditetapkan oleh Kementerian Keuangan?", tanya salah satu peserta saat sesi diskusi.
Menjawab pertanyaan tersebut Erma menyatakan bahwa pada prakteknya untuk organisasi yang sifatnya besar (holding) yang memiliki anak perusahaan dengan core business yang berbeda-beda, dimungkinkan setiap anak perusahaan menspesifikkan budaya organisasi sesuai dengan core business masing-masing. Menurutnya, DJKN dimungkinkan membuat budaya organisasi tambahan selain yang telah ditetapkan oleh Kementerian Keuangan. “Yang perlu diperhatikan adalah budaya kerja yang ditambahkan tersebut harus sejalan dengan budaya kerja Kementerian Keuangan. Budaya organisasi hanya sebatas nilai-nilai saja, perlu didefinisikan aktifitas riil seperti apa yang mencerminkan nilai-nilai tersebut sehingga muncul perilaku kunci kemudian disosialisasikan,” tambahnya.
Dalam
kesempatan diskusi, Kasubbag Rumah Tangga Kantor Pusat DJKN Krisdianto
menanyakan bahwa apakah kantor vertikal (Kanwil DJKN dan KPKNL) dimungkinkan
untuk memiliki budaya organisasi sendiri yang disesuaikan dengan budaya di
daerah/wilayah kerjanya?
Erma
menjelaskan bahwa budaya kerja DJKN harusnya berlaku secara nasional, tidak ada
bedanya antara kantor pusat, kantor wilayah, dan KPKNL. Namun kantor wilayah,
dan KPKNL dimungkinkan membuat service culture yang
disesuaikan dengan budaya yang ada di wilayah kerjanya.
“Misal
DJKN memiliki nilai Profesionalisme yang diturunkan dalam perilaku senyum,
salam, dan sapa. Maka kantor vertikal DJKN dapat menentukan cara memberikan
salam dan menyapa stakeholdernya sesuai dengan budaya lokal setempat,” kata
Erma.
Menurut narasumber, agar internalisasi budaya di DJKN berhasil, maka perlu mengumpulkan para pimpinan di DJKN untuk memaparkan dan menyamakan persepsi tentang Budaya Organisasi, sehingga para pimpinan di DJKN memiliki pemahaman yang sama tentang apa yang boleh/tidak boleh dilakukan dalam melaksanakan tugas sehari-hari.
“Setelah para pimpinan di DJKN memiliki persepsi yang sama, baru dibentuk agen perubahan. Agen perubahan yang dibentuk juga perlu diberikan pembekalan tentang Budaya Organisasi sehingga memiliki pemahaman yang sama,” jelas Erma menjelaskan. Setelah itu perlu dilaksanakan acara “big bang”, yaitu launching budaya organisasi kepada seluruh pegawai, agar seluruh pegawai mengetahui budaya organisasi.
Menutup
penjelasannya, Erma berpesan agar para pimpinan, agen perubahan, dan para
anggota organisasi menjaga tutur kata dan perilakunya dalam organisasi. “Karena
setiap kita bertutur kata dan berperilaku, kita menciptakan budaya.”, pesannya.
(Ajip - Paundra DJKN)