Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Bontang > Artikel
Antara Korupsi dan Efektivitas Pemerintah
Hadyan Iman Prasetya
Selasa, 12 Desember 2023   |   975 kali

Pada tanggal 9 Desember setiap tahunnya, secara internasional diperingati sebagai Hari Anti Korupsi Sedunia atau dalam konteks Indonesia banyak dikenal dengan akronim HAKORDIA. Tahun ini, 2023, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan tema HAKORDIA yaitu “Sinergi Berantas Korupsi, Untuk Indonesia Maju”.[1] Sementara itu, secara global Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan tema The 2023 International Anti-Corruption Day (IACD) adalah “UNCAC at 20: Uniting the World against Corruption”.[2] Penetapan tema global ini didasarkan pada United Nations Convention against Corruption (UNCAC) yang telah berusia 20 tahun semenjak diadopsi oleh Sidang Umum PBB pada 31 Oktober 2003.[3]

Terkait UNCAC, Pemerintah Indonesia telah meratifikasinya dan mengundangkannya melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2023 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003). Namun demikian, dalam sistem hukum Indonesia, perangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur tindak pidana korupsi tidak hanya berupa ratifikasi UNCAC, terdapat undang-undang lainnya, yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan perubahannya yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Meskipun menurut Hiariej, sudah seharusnya undang-undang tindak pidana korupsi tersebut segera disesuaikan dengan substansi yang diatur dalam UNCAC, yang juga telah diratifikasi oleh Indonesia.[4]

Sebagai kejahatan yang telah mendapat perhatian serius secara internasional, tindak pidana korupsi diyakini menimbulkan dampak negatif pada berbagai bidang. KPK menyebut setidaknya terdapat 5 (lima) bidang yang terdampak akibat korupsi, yaitu bidang ekonomi, kesehatan, pembangunan, kemiskinan, dan budaya.[5] Pada publikasi yang lain, KPK juga menyebut bahwa korupsi berdampak pada memperlambat pertumbuhan ekonomi, menurunkan tingkat investasi, menurunkan kualitas sarana dan prasarana, menciptakan ketimpangan pendapatan, dan menciptakan kemiskinan.[6]

Selain menimbulkan ekses negatif terhadap bidang-bidang yang disebutkan sebelumnya, dalam Tulisan ini akan dibahas terkait tindak pidana korupsi dan hubungannya, termasuk dampaknya, terhadap efektivitas pemerintahan. Tulisan ini akan banyak mengambil inspirasi dari diskursus yang baru-baru ini berkembang terkait hak atas pemerintahan yang efektif atau right to effective government. Berfokus pada diskursus tersebut, Tulisan ini mengetengahkan bahwa momentum peringatan hari anti korupsi sedunia yang setiap tahunnya diperingati dapat menjadi titik awal untuk kembali menyadarkan kita bahwa dampak buruk tindak pidana korupsi dapat meluas dan menjangkau ranah-ranah baru, seperti hak atas pemerintahan yang efektif yang menjadi fokus utama Tulisan ini.

(Hak atas) Pemerintah yang Efektif

Para ahli hukum publik atau secara lebih spesifik hukum konstitusi, baru-baru ini berupaya untuk merumuskan dan mendiskusikan keberadaan hak konstitusional warga negara atas pemerintahan yang efektif. Diskursus terkait hal ini dapat diikuti dalam buku berjudul Constitutionalism and a Right to Effective Government? yang terbit pada tahun 2022 yang lalu.[7] Dalam bagian pembuka, kedua editor buku tersebut, Vicki C. Jackson dan Yasmin Dawood menjelaskan bahwa perhatian terhadap pemerintah yang efektif, dalam studi tentang konstitusionalisme, dapat dianggap sebagai sesuatu yang baru atau setidaknya selama ini tidak didiskusikan secara memadai (…. This is a new (or at least insufficiently discussed) question in the study of constitutionalism.).[8] Selanjutnya, keduanya berpendapat bahwa konseptualisasi terhadap posisi pemerintahan yang efektif dalam lingkup studi konstitusionalisme secara relatif memungkinkan untuk berposisi sebagai hak (rights), tujuan pemerintah (interest atau government purpose), kewajiban pemerintah (duty owed by members of the government) atau asas (principle).[9]

Neuman, dalam buku tersebut, berpendapat bahwa dalam perspektif hukum internasional, terdapat beberapa ketentuan yang memberi tanda-tanda adanya rekognisi terhadap ha katas pemerintah yang efektif. Menurutnya, terdapat beberapa pasal dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) yang dapat menjadi basis rekognisi hak atas pemerintah yang efektif. Pasal-pasal tersebut, diantaranya yaitu Article 17, 20, 24, dan 26 ICCPR, menurut Neuman seluruhnya memiliki paradigma HAM yang positif.[10] Paradigma HAM Positif adalah pandangan yang menuntut adanya tindakan aktif negara atau pemerintah dalam rangka pemenuhan HAM, hal ini berbeda dengan konstruksi HAM Negatif yang berpandangan bahwa negara atau pemerintah dibatasi untuk bertindak dalam rangka menghindari adanya pelanggaran HAM.[11] Dengan demikian, pemahaman ini hak atas pemerintahan yang efektif sebagai hak positif bermakna bahwa pemerintah atau negara dituntut untuk melakukan tindakan aktif untuk mewujudkan keefektivitasan tata kelola pemerintahan.[12]

Diskursus lainnya terkait ha katas pemerintahan yang efektif menyentuh pada aspek penegakan hukum hak tersebut oleh lembaga peradilan. Khaitan, yang memandang bahwa kewajiban pemerintah untuk menyelenggarakan tata kelola pemerintah yang efektif atau dalam istilah yang dipakainya adalah duty to govern well, merupakan kewajiban yang didasarkan pada rambu-rambu arahan konstitusi (constitutional directives). Dalam pemahaman Khaitan, constitutional directives memiliki krakteristik yaitu tidak dapat dipaksakan keberlakuannya secara langsung melalui putusan lembaga peradilan atau disebut olehnya sebagai contrajudicative character.[13] Namun, karakteristik contrajudicative ini menurut Khaitan tidaklah terbangun secara rigid dalam praktiknya, namun memungkinkan adanya tetap terbuka kemungkinan peran lembaga yudisial untuk mendorong pemerintah mewujudkan pemerintahan yang efektif, sehingga disebut olehnya sebagai weak contrajudicative.[14] Terkait hal ini, Tushnet dan Khosla berpendapat sebaliknya. Keduanya berpendapat bahwa praktik yang terjadi di Brazil, Afrika Selatan, dan India justru menunjukkan bahwa lembaga peradilan memiliki peran yang penting dalam mewujudkan pemerintahan yang efektif melalui putusan-putusannya dalam perkara sengketa antara warga negara dengan pemerintahnya.[15]

Korupsi dan Efektivitas Pemerintah

Pada tulisan yang lain, Penulis telah menyampaikan bahwa tindak pidana korupsi memiliki titik singgung dengan diskursus Hak Asasi Manusia (HAM), diantaranya dibuktikan dengan adanya gagasan untuk menginstitusionalisasikan hak asasi manusia berupa hak bebas dari korupsi.[16] Dalam bagian, dengan pendekatan yang serupa, ekses negatif korupsi akan dipandang dalam perspektif hak atas pemerintahan yang efektif.

Stephenson menjelaskan bahwa hampir by definition, korupsi telah pasti akan mengakibatkan pemerintahan menjadi kurang efektif karena para aparatur pemerintah tidak mengerjakan tugas yang seharusnya dilakukan oleh mereka. Dirinya menulis:

The threat that corruption poses to effective governance is sufficiently obvious that it is probably not worth dwelling on. Almost by definition, corruption renders governance less effective because the agents of the state are not doing what they are supposed to do.2 In extreme cases, corruption can lead to what is sometimes called “state capture,” a situation in which, notwithstanding the formal institutional rules, the apparatus of government is exercised for the benefit of a relatively narrow clique, usually a combination of high-level politicians and their private-sector cronies.[17]

Dirinya melanjutkan, bahwa kebencian masyarakat terhadap korupsi juga mengarahkan pada lunturnya legitimasi masyarakat dan bahkan mengarahkan pada despotisme.[18]

Kekhawatiran yang sama sebagai akibat dari penyelenggaraan pemerintahan yang tidak efektif juga diutarakan oleh Dawood. Dirinya menulis:

In recent years, nations around the world have fallen prey to what might be described as a crisis of ineffective government. Basic governmental functions and services, such as ensuring education, health care, and a strong economy, are deeply compromised. Not only does ineffective governance undermine the general welfare, it can also pave the way for authoritarian regimes to take hold in erstwhile democracies. In their bid for power, autocratic leaders have often capitalized on citizens’ disenchantment with governance failures.[19]

Meskipun nilai-nilai dan program-program anti korupsi dapat menjadi upaya untuk mewujudkan hak warga negara atas pemerintahan yang efektif, Stephenson memberi catatan adanya kemungkinan bahwa program-program anti korupsi justru dapat tergelincir pada melemahkan efektivitas pemerintahan. Menurutnya terdapat 2 (dua) kondisi program anti-korupsi yang justru menegasikan efektivitas pemerintah. Pertama, apabila program-program anti korupsi justru dilakukan melalui cara-cara otoritarian atau kekuasaan yang terpusat tanpa adanya mekanisme checks and balances[20] atau dalam istilah Dawood yaitu kondisi effective government without rights.[21] Kedua, Stephenson berpendapat bahwa program anti korupsi menjadi kontraproduktif dengan pemerintahan yang efektif jika dilakukan dengan adanya tendensi untuk memburu musuh politik penguasa yang memimpin pemberantasan korupsi.[22]

Penutup

Berdasarkan penjelasan pada bagian-bagian sebelumnya, Tulisan ini berupaya untuk memberikan gambaran bahwa korupsi dapat menjadi penghalang dalam mewujudkan pemerintahan yang efektif. Padahal pada sisi yang lain, menurut para sarjana hak atas pemerintahan yang efektif merupakan salah satu bentuk hak asasi manusia. Selanjutnya, meskipun nilai-nilai dan program-program anti korupsi merupakan upaya yang dapat mendukung terwujudnya pemerintahan yang efektif, namun pelaksanaan program tersebut harus menghindari adanya otoritarianisme dan bias yang timbul dari motif politik. Terakhir, argumentasi yang diketengahkan dalam Tulisan ini dapat memberi sumbangan terhadap program-program lainnya yang dilakukan dalam rangka memerangi korupsi yang terjadi di tubuh pemerintah.[23] 

Hadyan Iman Prasetya (KPKNL Bontang) 

[4] Eddy O.S. Hiariej, United Nations Convention Against Corruption dalam Sistem Hukum Indonesia, Mimbar Hukum, Vol. 31 No. 1, Februari 2019, hlm. 112-125.

[7] Vicki C. Jackson dan Yasmin Dawood (eds.), Constitutionalism and a Right to Effective Government?, Cambridge University Press, 2022.

[8] Vicki C. Jackson dan Yasmin Dawood, Constitutionalism and Effective Government: Rights, Institutions, and Values, dalam Ibid, hlm. 3-4.

[9] Ibid, hlm. 8-12.

[10] Gerald L. Neuman, The “Right to Effective Governance” and the Human Rights Baseline, dalam Vicki C. Jackson dan Yasmin Dawood (eds.), Constitutionalism and…, hlm. 97-104

[11] Mirza Satria Buana, Kelindan Antara ‘Hak Negatif’ dengan ‘Hak Positif’ dalam Diskursus Hak Asasi Manusia, Veritas et Justitia Vol. 9, No. 1, 2023, hlm. 34-57.

[12] Menurut David S. Law, dalam perspektif post-liberal constitutionalism, pemahaman hak atas pemerintahan yang efektif seharusnya lebih dari ‘sekedar’ hak konstitusional positif, namun merupakan hak structural atau institutional (We might call it a “structural right” or an “institutional right.”) Penjelasan terkait hal ini dapat dibaca pada David S. Law, Post-Liberal Constitutionalism and the Right to Effective Government, dalam Vicki C. Jackson dan Yasmin Dawood, Constitutionalism and…, hlm. 73-84.

[13] Tarunabh Khaitan, Constitutional Directives and the Duty to Govern Well, dalam Vicki C. Jakson dan Yasmin Dawood, Constitutionalism and…, hlm. 201.

[14] Ibid, hlm. 202-205.

[15] Mark Tushnet dan Madhav Khosla, Courts and Effective Governance, dalam Vicki C. Jackson dan Yasmin Dawood, Constitutionalism and…, hlm. 124-134.

[16] Hadyan Iman Prasetya, Korupsi, HAM, dan Signifikansinya bagi DJKN, diakses melalui https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-bontang/baca-artikel/14510/Korupsi-HAM-dan-Signifikansinya-bagi-DJKN.html

[17] Matthew C. Stephenson, Constitutionalism and Public Corruption: an Introductory Sketch, dalam Vicki C. Jackson dan Yasmin Dawood, Constitutionalism and…, hlm. 247-248.

[18] Ibid, hlm. 248-249.

[19] Yasmin Dawood, Effective Governance and the Two Faces of Constitutionalism, dalam Vicki C. Jackson dan Yasmin Dawood, Constitutionalism and…, hlm. 47.

[20] Matthew C. Stephenson, catatan no. 17, hlm. 250.

[21] Yasmin Dawood, catatan no. 19, hlm. 54-56.

[22] Matthew C. Stephenson, catatan no. 20.

[23] Salah satu program yang telah berjalan adalah reformasi birokrasi pemerintah. Lihat Veithzal Rivai, Reformasi Birokrasi Pemerintah Perwujudan Good Govermance Melalui Pemerintahan Yang Efisien, Efektif dan Produktif, Jurnal Wacana Kinerja, Vol. 10, No. 4, 2007 diunduh melalui http://jwk.bandung.lan.go.id/ojs/index.php/jwk/article/view/388/299

 

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini