Pada tanggal 9 Desember
setiap tahunnya, secara internasional diperingati sebagai Hari Anti Korupsi
Sedunia atau dalam konteks Indonesia banyak dikenal dengan akronim HAKORDIA.
Tahun ini, 2023, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan tema
HAKORDIA yaitu “Sinergi Berantas Korupsi, Untuk Indonesia Maju”.[1] Sementara itu, secara
global Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan tema The 2023 International
Anti-Corruption Day (IACD) adalah “UNCAC at 20: Uniting the World against
Corruption”.[2]
Penetapan tema global ini didasarkan pada United Nations Convention against
Corruption (UNCAC) yang telah berusia 20 tahun semenjak diadopsi oleh Sidang
Umum PBB pada 31 Oktober 2003.[3]
Terkait UNCAC, Pemerintah
Indonesia telah meratifikasinya dan mengundangkannya melalui Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against
Corruption, 2023 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003).
Namun demikian, dalam sistem hukum Indonesia, perangkat peraturan
perundang-undangan yang mengatur tindak pidana korupsi tidak hanya berupa
ratifikasi UNCAC, terdapat undang-undang lainnya, yaitu Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 dan perubahannya yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Meskipun menurut Hiariej, sudah seharusnya
undang-undang tindak pidana korupsi tersebut segera disesuaikan dengan
substansi yang diatur dalam UNCAC, yang juga telah diratifikasi oleh Indonesia.[4]
Sebagai kejahatan yang telah
mendapat perhatian serius secara internasional, tindak pidana korupsi diyakini menimbulkan
dampak negatif pada berbagai bidang. KPK menyebut setidaknya terdapat 5 (lima)
bidang yang terdampak akibat korupsi, yaitu bidang ekonomi, kesehatan,
pembangunan, kemiskinan, dan budaya.[5] Pada publikasi yang lain,
KPK juga menyebut bahwa korupsi berdampak pada memperlambat pertumbuhan
ekonomi, menurunkan tingkat investasi, menurunkan kualitas sarana dan prasarana,
menciptakan ketimpangan pendapatan, dan menciptakan kemiskinan.[6]
Selain menimbulkan ekses
negatif terhadap bidang-bidang yang disebutkan sebelumnya, dalam Tulisan ini
akan dibahas terkait tindak pidana korupsi dan hubungannya, termasuk dampaknya,
terhadap efektivitas pemerintahan. Tulisan ini akan banyak mengambil inspirasi
dari diskursus yang baru-baru ini berkembang terkait hak atas pemerintahan yang
efektif atau right to effective government. Berfokus pada diskursus
tersebut, Tulisan ini mengetengahkan bahwa momentum peringatan hari anti
korupsi sedunia yang setiap tahunnya diperingati dapat menjadi titik awal untuk
kembali menyadarkan kita bahwa dampak buruk tindak pidana korupsi dapat meluas
dan menjangkau ranah-ranah baru, seperti hak atas pemerintahan yang efektif
yang menjadi fokus utama Tulisan ini.
(Hak atas) Pemerintah yang
Efektif
Para ahli hukum publik atau
secara lebih spesifik hukum konstitusi, baru-baru ini berupaya untuk merumuskan
dan mendiskusikan keberadaan hak konstitusional warga negara atas pemerintahan
yang efektif. Diskursus terkait hal ini dapat diikuti dalam buku berjudul Constitutionalism
and a Right to Effective Government? yang terbit pada tahun 2022 yang lalu.[7] Dalam bagian pembuka,
kedua editor buku tersebut, Vicki C. Jackson dan Yasmin Dawood menjelaskan
bahwa perhatian terhadap pemerintah yang efektif, dalam studi tentang
konstitusionalisme, dapat dianggap sebagai sesuatu yang baru atau setidaknya
selama ini tidak didiskusikan secara memadai (…. This is a new (or at least
insufficiently discussed) question in the study of constitutionalism.).[8] Selanjutnya, keduanya
berpendapat bahwa konseptualisasi terhadap posisi pemerintahan yang efektif
dalam lingkup studi konstitusionalisme secara relatif memungkinkan untuk berposisi
sebagai hak (rights), tujuan pemerintah (interest atau government
purpose), kewajiban pemerintah (duty owed by members of the government)
atau asas (principle).[9]
Neuman, dalam buku tersebut,
berpendapat bahwa dalam perspektif hukum internasional, terdapat beberapa
ketentuan yang memberi tanda-tanda adanya rekognisi terhadap ha katas
pemerintah yang efektif. Menurutnya, terdapat beberapa pasal dalam International
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan the International Covenant
on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) yang dapat menjadi basis
rekognisi hak atas pemerintah yang efektif. Pasal-pasal tersebut, diantaranya
yaitu Article 17, 20, 24, dan 26 ICCPR, menurut Neuman seluruhnya memiliki
paradigma HAM yang positif.[10] Paradigma HAM Positif
adalah pandangan yang menuntut adanya tindakan aktif negara atau pemerintah
dalam rangka pemenuhan HAM, hal ini berbeda dengan konstruksi HAM Negatif yang
berpandangan bahwa negara atau pemerintah dibatasi untuk bertindak dalam rangka
menghindari adanya pelanggaran HAM.[11] Dengan demikian,
pemahaman ini hak atas pemerintahan yang efektif sebagai hak positif bermakna
bahwa pemerintah atau negara dituntut untuk melakukan tindakan aktif untuk
mewujudkan keefektivitasan tata kelola pemerintahan.[12]
Diskursus lainnya terkait ha
katas pemerintahan yang efektif menyentuh pada aspek penegakan hukum hak
tersebut oleh lembaga peradilan. Khaitan, yang memandang bahwa kewajiban
pemerintah untuk menyelenggarakan tata kelola pemerintah yang efektif atau
dalam istilah yang dipakainya adalah duty to govern well, merupakan
kewajiban yang didasarkan pada rambu-rambu arahan konstitusi (constitutional
directives). Dalam pemahaman Khaitan, constitutional directives memiliki
krakteristik yaitu tidak dapat dipaksakan keberlakuannya secara langsung
melalui putusan lembaga peradilan atau disebut olehnya sebagai contrajudicative
character.[13]
Namun, karakteristik contrajudicative ini menurut Khaitan tidaklah
terbangun secara rigid dalam praktiknya, namun memungkinkan adanya tetap
terbuka kemungkinan peran lembaga yudisial untuk mendorong pemerintah
mewujudkan pemerintahan yang efektif, sehingga disebut olehnya sebagai weak
contrajudicative.[14] Terkait hal ini, Tushnet
dan Khosla berpendapat sebaliknya. Keduanya berpendapat bahwa praktik yang
terjadi di Brazil, Afrika Selatan, dan India justru menunjukkan bahwa lembaga
peradilan memiliki peran yang penting dalam mewujudkan pemerintahan yang
efektif melalui putusan-putusannya dalam perkara sengketa antara warga negara
dengan pemerintahnya.[15]
Korupsi dan Efektivitas
Pemerintah
Pada tulisan yang lain,
Penulis telah menyampaikan bahwa tindak pidana korupsi memiliki titik singgung
dengan diskursus Hak Asasi Manusia (HAM), diantaranya dibuktikan dengan adanya gagasan
untuk menginstitusionalisasikan hak asasi manusia berupa hak bebas dari
korupsi.[16]
Dalam bagian, dengan pendekatan yang serupa, ekses negatif korupsi akan
dipandang dalam perspektif hak atas pemerintahan yang efektif.
Stephenson menjelaskan bahwa hampir
by definition, korupsi telah pasti akan mengakibatkan pemerintahan
menjadi kurang efektif karena para aparatur pemerintah tidak mengerjakan tugas
yang seharusnya dilakukan oleh mereka. Dirinya menulis:
The threat
that corruption poses to effective governance is sufficiently obvious that it
is probably not worth dwelling on. Almost by definition, corruption renders
governance less effective because the agents of the state are not doing what
they are supposed to do.2 In extreme cases, corruption can lead to what is
sometimes called “state capture,” a situation in which, notwithstanding the
formal institutional rules, the apparatus of government is exercised for the
benefit of a relatively narrow clique, usually a combination of high-level
politicians and their private-sector cronies.[17]
Dirinya melanjutkan, bahwa
kebencian masyarakat terhadap korupsi juga mengarahkan pada lunturnya
legitimasi masyarakat dan bahkan mengarahkan pada despotisme.[18]
Kekhawatiran yang sama
sebagai akibat dari penyelenggaraan pemerintahan yang tidak efektif juga
diutarakan oleh Dawood. Dirinya menulis:
In recent
years, nations around the world have fallen prey to what might be described as
a crisis of ineffective government. Basic governmental functions and services,
such as ensuring education, health care, and a strong economy, are deeply
compromised. Not only does ineffective governance undermine the general
welfare, it can also pave the way for authoritarian regimes to take hold in
erstwhile democracies. In their bid for power, autocratic leaders have often
capitalized on citizens’ disenchantment with governance failures.[19]
Meskipun nilai-nilai dan
program-program anti korupsi dapat menjadi upaya untuk mewujudkan hak warga
negara atas pemerintahan yang efektif, Stephenson memberi catatan adanya
kemungkinan bahwa program-program anti korupsi justru dapat tergelincir pada
melemahkan efektivitas pemerintahan. Menurutnya terdapat 2 (dua) kondisi
program anti-korupsi yang justru menegasikan efektivitas pemerintah. Pertama,
apabila program-program anti korupsi justru dilakukan melalui cara-cara
otoritarian atau kekuasaan yang terpusat tanpa adanya mekanisme checks and
balances[20]
atau dalam istilah Dawood yaitu kondisi effective government without
rights.[21]
Kedua, Stephenson berpendapat bahwa program anti korupsi menjadi
kontraproduktif dengan pemerintahan yang efektif jika dilakukan dengan adanya
tendensi untuk memburu musuh politik penguasa yang memimpin pemberantasan
korupsi.[22]
Penutup
Berdasarkan penjelasan pada bagian-bagian sebelumnya, Tulisan ini berupaya untuk memberikan gambaran bahwa korupsi dapat menjadi penghalang dalam mewujudkan pemerintahan yang efektif. Padahal pada sisi yang lain, menurut para sarjana hak atas pemerintahan yang efektif merupakan salah satu bentuk hak asasi manusia. Selanjutnya, meskipun nilai-nilai dan program-program anti korupsi merupakan upaya yang dapat mendukung terwujudnya pemerintahan yang efektif, namun pelaksanaan program tersebut harus menghindari adanya otoritarianisme dan bias yang timbul dari motif politik. Terakhir, argumentasi yang diketengahkan dalam Tulisan ini dapat memberi sumbangan terhadap program-program lainnya yang dilakukan dalam rangka memerangi korupsi yang terjadi di tubuh pemerintah.[23]
[1] Diakses melalui https://www.kpk.go.id/hakordia2023/
[2] Diakses melalui https://www.unodc.org/unodc/en/anticorruptionday/index.html
[3] Diakses melalui https://www.un.org/en/observances/anti-corruption-day
[4] Eddy O.S. Hiariej, United Nations Convention Against Corruption dalam
Sistem Hukum Indonesia, Mimbar Hukum, Vol. 31 No. 1, Februari 2019, hlm.
112-125.
[5] Diakses melalui https://aclc.kpk.go.id/aksi-informasi/Eksplorasi/20220520-kenali-bahayanya-dampak-korupsi-di-berbagai-bidang-ini
[6] Diakses melalui https://aclc.kpk.go.id/aksi-informasi/Eksplorasi/20230113-kupas-tuntas-5-dampak-buruk-korupsi-terhadap-perekonomian-negara
[7] Vicki C. Jackson dan Yasmin Dawood (eds.), Constitutionalism and
a Right to Effective Government?, Cambridge University Press, 2022.
[8] Vicki C. Jackson dan Yasmin Dawood, Constitutionalism and Effective
Government: Rights, Institutions, and Values, dalam Ibid, hlm. 3-4.
[9] Ibid, hlm. 8-12.
[10] Gerald L. Neuman, The “Right to Effective Governance” and the Human
Rights Baseline, dalam Vicki C. Jackson dan Yasmin Dawood (eds.), Constitutionalism
and…, hlm. 97-104
[11] Mirza Satria Buana, Kelindan Antara ‘Hak Negatif’ dengan ‘Hak
Positif’ dalam Diskursus Hak Asasi Manusia, Veritas et Justitia Vol. 9, No.
1, 2023, hlm. 34-57.
[12] Menurut David S. Law, dalam perspektif post-liberal
constitutionalism, pemahaman hak atas pemerintahan yang efektif seharusnya
lebih dari ‘sekedar’ hak konstitusional positif, namun merupakan hak structural
atau institutional (We might call it a “structural right” or an
“institutional right.”) Penjelasan terkait hal ini dapat dibaca pada David
S. Law, Post-Liberal Constitutionalism and the Right to Effective Government,
dalam Vicki C. Jackson dan Yasmin Dawood, Constitutionalism and…, hlm.
73-84.
[13] Tarunabh Khaitan, Constitutional Directives and the Duty to Govern
Well, dalam Vicki C. Jakson dan Yasmin Dawood, Constitutionalism and…, hlm.
201.
[14] Ibid, hlm. 202-205.
[15] Mark Tushnet dan Madhav Khosla, Courts and Effective Governance,
dalam Vicki C. Jackson dan Yasmin Dawood, Constitutionalism and…, hlm.
124-134.
[16] Hadyan Iman Prasetya, Korupsi, HAM, dan Signifikansinya bagi
DJKN, diakses melalui https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-bontang/baca-artikel/14510/Korupsi-HAM-dan-Signifikansinya-bagi-DJKN.html
[17] Matthew C. Stephenson, Constitutionalism and Public Corruption: an
Introductory Sketch, dalam Vicki C. Jackson dan Yasmin Dawood, Constitutionalism
and…, hlm. 247-248.
[18] Ibid, hlm. 248-249.
[19] Yasmin Dawood, Effective Governance and the Two Faces of
Constitutionalism, dalam Vicki C. Jackson dan Yasmin Dawood, Constitutionalism
and…, hlm. 47.
[20] Matthew C. Stephenson, catatan no. 17, hlm. 250.
[21] Yasmin Dawood, catatan no. 19, hlm. 54-56.
[22] Matthew C. Stephenson, catatan no. 20.
[23] Salah satu program yang telah berjalan adalah reformasi birokrasi
pemerintah. Lihat Veithzal Rivai, Reformasi Birokrasi Pemerintah Perwujudan
Good Govermance Melalui Pemerintahan Yang Efisien, Efektif dan Produktif, Jurnal
Wacana Kinerja, Vol. 10, No. 4, 2007 diunduh melalui http://jwk.bandung.lan.go.id/ojs/index.php/jwk/article/view/388/299