Masyarakat internasional memperingati tanggal 9 dan 10 Desember
setiap tahunnya, secara berurutan, sebagai Hari Anti Korupsi dan Hari Hak Asasi
Manusia (HAM). Penetapan kedua tanggal tersebut ditambah dengan skala
peringatannya yang dilakukan oleh seluruh warga dunia menunjukkan bahwa kedua
hal di atas masih menjadi permasalahan yang penting untuk diperhatikan. Pada
tahun ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengusung tema Equality[1]
untuk peringatan Hari HAM, sedangkan untuk Hari Anti Korupsi mengusung tema
dengan semboyan “Your right, your role: Say no to corruption”[2].
Sejalan dengan kesadaran masyarakat internasional tersebut, Kementerian
Keuangan juga telah menetapkan tema tersendiri khususnya untuk peringatan Hari
Anti Korupsi. Tema yang diusung adalah “Perkuat Budaya Antikorupsi, Wujudkan
Kemenkeu Satu Yang Tepercaya, Menuju Indonesia Tangguh dan Tumbuh”.
Kedua hal yang diperingati pada hari-hari di atas, menurut Penulis,
dapat dipandang dengan dua cara, yaitu terpisah atau berhubungan. Dipandang
secara terpisah dalam arti bahwa antara Korupsi dan HAM tidak memiliki
hubungan, sedangkan dipandang berhubungan dalam arti keduanya memiliki
keterkaitan. Dalam kerangka cara pandang tersebut, Tulisan ini mengetengahkan
bahwa terdapat keterkaitan antara Korupsi dan HAM serta signifikansinya bagi
tugas dan fungsi Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.
Keterkaitan Korupsi dan HAM
Diskursus mengenai keterkaitan antara korupsi dan HAM senyatanya telah
banyak dibahas dalam skala internasional. Ramasastry (2015) mencatat bahwa
terdapat beberapa gagasan yang disampaikan oleh para sarjana berkaitan dengan
upaya untuk menyatakan bahwa korupsi adalah salah satu bentuk kejahatan
internasional. Selain itu, dirinya juga mencatat bahwa terdapat upaya dari para
sarjana hukum untuk merumuskan sebuah hak untuk bebas dari korupsi (right to
be free from corruption) sebagai salah satu bentuk hak asasi manusia yang
diterima secara universal[3].
Upaya untuk mengadvokasi hak untuk bebas dari korupsi sebagai salah
satu HAM dilatarbelakangi dari belum adanya suatu aturan hukum internasional
yang secara eksplisit mengaturnya. Murray dan Spalding (2015) menulis bahwa,
konvensi-konvensi internasional, seperti Deklarasi Universal HAM belum menyebut
hak bebas dari korupsi (yang dilakukan oleh pejabat publik) sebagai salah satu
HAM, atau United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) juga belum
mengatur korupsi (yang dilakukan oleh pejabat publik) sebagai sebuah tindakan
pelanggaran HAM[4].
Pendapat Murray dan Spalding di atas menggunakan istilah korupsi
yang dilakukan oleh pejabat publik atau official corruption, sedangkan
sejatinya konsep tindakan korupsi tidak hanya terbatas pada domain publik,
namun juga mencakup privat. Rose (2015), berkaitan dengan hal ini, berpandangan
bahwa istilah korupsi belumlah memiliki definisi yang tepat secara hukum yang
berlaku secara internasional. Para pembuat kebijakan, menurutnya, dalam
lapangan anti-korupsi lebih banyak merujuk pada pengertian korupsi sebagai ‘the
abuse of entrusted power for private gain’. Padahal pengertian tersebut
menurut Rose hanya berfokus pada satu sisi, yaitu domain publik semata. Selain
itu, dirinya juga menyebutkan bahwa UNCAC memilih untuk tidak mendefinisikan
korupsi, namun ‘sebatas’ menyebutkan tindakan-tindakan yang masuk dalam ruang
lingkup tindakan korupsi[5].
Pada pendapatnya yang lain, Rose (2016) menyebutkan bahwa tindakan
koruptif yang faktanya juga terjadi pada domain privat menjadi batasan terhadap
upaya untuk mengaitkan antara korupsi dengan HAM. Disebutkan olehnya, bahwa
rezim hukum HAM internasional yang saat ini eksis hanya berfokus pada
tanggungjawab organisasi publik (negara) untuk pemenuhan HAM, sedangkan
organisasi privat tidak termasuk di dalamnya[6].
Sehingga, dengan mengikuti pendapat ini, meskipun korupsi dianggap sebagai
pelanggaran HAM maka yang dapat diklasifikasikan demikian hanya korupsi yang
dilakukan oleh pejabat publik, sedangkan korporasi yang terkait dengan tindakan
korupsi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban.
Beralih ke dalam negeri, beberapa pendapat juga menyuarakan bahwa
korupsi sangat berkait erat dengan HAM. Widjojanto (2012) menyatakan bahwa tindak
korupsi mempunyai kaitan dan bahkan juga dapat menjadi bagian serta dikualifikasi
sebagai kejahatan hak asasi manusia karena dampak clan tindak pidana korupsi
dapat menyebabkan diingkari, dicampakkan dan dirampasnya human dignity[7].
Pernyataan senada juga disampaikan oleh Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) pada periode ini[8]
maupun sebelumnya[9].
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, meskipun mengaitkan korupsi dengan HAM
memiliki beberapa keterbatasan sebagaimana pendapat sebelumnya, dalam konteks
Indonesia, penggunaan pendekatan HAM dalam memandang korupsi kiranya dapat
menjadi perhatian serius.
Signifikansi bagi Peran DJKN
Sekilas pembahasan mengenai korupsi yang dikaitkan dengan HAM
adalah sesuatu yang sama sekali tidak berhubungan dengan tugas dan fungsi
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN). Namun apabila dicermati, sejatinya
terdapat beberapa aspek dalam pembahasan korupsi yang bersinggungan dengan
tugas dan fungsi DJKN. Aspek tersebut adalah berkaitan dengan pengelolaan Barang
Milik Negara (BMN) yang berasal dari rampasan hasil korupsi.
Dalam rilis DJKN, BMN yang berasal dari rampasan dan gratifikasi
dikelola dengan cara Penetapan Status Penggunaan (PSP), Hibah, Pemusnahan,
Lelang, Pemanfaatan, atau Penghapusan[10]. Pengelolaan
tersebut, disebut oleh DJKN sebagai upaya Pemerintah untuk mengoptimalkan
pengelolaan BMN yang manfaatnya kembali kepada masyarakat[11]. Lebih
lanjut, DJKN menyatakan bahwa optimalisasi pemulihan aset hasil tindak pidana
korupsi merupakan salah satu bentuk optimalisasi pengelolaan aset sebagai
bagian upaya konsolidasi fiskal yang dilakukan Pemerintah dalam pengelolaan
APBN 2022[12].
Berkenaan dengan pembahasan mengenai pemulihan aset (asset
recovery), meskipun tidak terdapat definisi yang memadai sebagaimana
korupsi[13],
tentu tidak dapat dilepaskan dari pembahasan mengenai lelang. Brun et.al. (2011)
menuliskan bahwa cara terbaik guna mewujudkan transparansi prosedur dan menghindarkan
dugaan mismanagement dalam pemulihan aset adalah dengan cara lelang yang
terbuka untuk umum[14].
Sejalan dengan pemahaman tersebut, pada tahun 2021 Pemerintah juga telah
mengundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2021 tentang Lelang Benda
Sitaan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Uraian-uraian di atas cukup membuktikan bahwa hingga saat ini, DJKN
telah berfokus dan memiliki peran penting dalam permasalahan korupsi. Lantas,
apakah pemahaman bahwa tindak korupsi berkorelasi dengan HAM membawa
signifikansi kepada pelaksanaan tugas dan fungsi DJKN? Untuk menjawab
pertanyaan tersebut, Penulis mengetengahkan hal-hal sebagai berikut.
Pertama, memahami bahwa korupsi terkait dengan pelanggaran HAM akan
menghantarkan pada pemahaman bahwa tugas dan fungsi yang dilaksanakan oleh DJKN
selama ini adalah salah satu bagian dari upaya negara untuk memenuhi
tanggungjawabnya dalam bidang HAM. Sebagaimana dipahami bahwa rezim HAM
memberikan tugas kepada negara setidaknya untuk respect, protect, &
fulfil[15].
Dengan demikian, pemahaman adanya keterkaitan antara korupsi dengan HAM dan
mengingat bahwa DJKN memainkan peran penting dalam pemulihan aset akibat
korupsi akan menegaskan bahwa selama ini DJKN telah turut serta berupaya untuk
melaksanakan tugas negara berupa respect, protect, & fulfil terhadap
HAM setiap individu.
Kedua, pemahaman bahwa korupsi terkait dengan HAM adalah sejalan
dengan gagasan penyelesaian pelanggaran HAM yang didasarkan pada human right
based approach (HRBA). Waagstein (t.t.) menyatakan bahwa penyelesaian
pelanggaran HAM yang dilakukan dengan HRBA akan lebih menjamin pemenuhan HAM
individu daripada hanya ‘sekedar’ penyelesaian melalui jalur pidana[16]. Dengan
demikian, pelaksanaan tugas dan fungsi DJKN yang berkaitan dengan pengelolaan
BMN maupun lelang aset hasil tindak korupsi harus dipandang dan diusahakan
untuk tujuan keuntungan warga negara, sebagai korban dari tindak korupsi. Lebih
jauh, hal ini diharapkan juga menimbulkan kesadaran bagi warga negara akan
pentingnya tugas dan fungsi DJKN dalam konteks pemenuhan HAM.
Dengan mendasarkan pada dua argumen di atas, maka, menurut Penulis,
pemahaman bahwa korupsi berkaitan dengan HAM membawa dampak yang signifikan
terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi DJKN, utamanya yang bersinggungan dengan
pengeloaan BMN dan lelang barang hasil tindak korupsi.
Penutup
Peringatan Hari Anti Korupsi dan Hari HAM sedunia senyatanya tidak
hanya berdekatan secara waktu, namun juga memiliki keterkaitan secara
konseptual. Keterkaitan tersebut senyatanya juga memiliki signifikansi terhadap
tugas dan fungsi DJKN. Oleh karenanya, berdasarkan hal-hal tersebut, peringatan
Hari Anti Korupsi dan Hari HAM sedunia khususnya bagi DJKN dan warga negara
selaku penyandang HAM kiranya dapat lebih bermakna.
Oleh: Hadyan Iman Prasetya (KPKNL
Bontang)
[1]
Diakses dari https://www.un.org/en/observances/human-rights-day
pada 16 Desember 2021.
[2]
Diakses dari https://www.un.org/en/observances/anti-corruption-day
pada 16 Desember 2021.
[3] Anita
Ramasastry, Is There a Right to Be Free from Corruption?, 49 UC Davis L.
Rev. 703-739 (2015).
[4]
Matthew Murray & Andrew Spalding, Freedom from Official Corruption as a
Human Right, (2015) diakses dari https://www.brookings.edu/wp-content/uploads/2016/06/Murray-and-Spalding_v06.pdf
pada 16 Desember 2021.
[5]
Cecily Rose, International Anti-Corruption Norms: Their Creation and
Influence on Domestic Legal Systems, (2015, Oxford University Press). [7].
[6]
Cecily Rose, The Limitations of a Human Rights Approach to Corruption,
65 International and Comparative Law Quarterly 405-438 (2016).
[7]
Bambang Widjojanto, Negara Hukum, Korupsi, dan Hak Asasi Manusia: Suatu
Kajian Awal, 3 Jurnal Hukum Prioris 27-45. (2012).
[8]
Diakses dari https://news.detik.com/berita/d-5109369/ketua-kpk-korupsi-termasuk-kejahatan-yang-langgar-ham
pada 16 Desember 2021.
[9]
Diakses dari https://www.medcom.id/nasional/hukum/yKXDAYDK-praktik-korupsi-bentuk-pelanggaran-ham
pada 16 Desember 2021.
[10] Diakses
dari https://twitter.com/DitjenKN/status/1470367444090834946/photo/1
pada 16 Desember 2021.
[11] Diakses
dari https://twitter.com/DitjenKN/status/1470367444090834946/photo/4
pada 16 Desember 2021.
[12] Diakses
dari https://twitter.com/DitjenKN/status/1471472771280433152/photo/1
pada 16 Desember 2021.
[13]
Radha Ivory, Corruption, Asset Recovery, and the Protection of Property in
Public International Law: the Human Rights of Bad Guys, (2014, Oxford
Unniversity Press). [22].
[14] Jean-Pierre
Brun et.al., Asset Recovery Handbook: A Guide for Practitioners, (2011,
World Bank). [101].
[15]
Diakses dari https://www.ohchr.org/en/professionalinterest/pages/internationallaw.aspx
pada 16 Desember 2021.
[16]
Patricia RInwigati Waagstein, Business and Human Rights in Indonesia: From
Principles to Practice, (t.t., Human Rights Resource Centre). [27]. Dapat diakses
melalui http://hrrca.org/wp-content/uploads/2015/05/BHR-in-Indonesia.pdf