Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Bontang > Artikel
Korupsi, HAM, dan Signifikansinya bagi DJKN
Hadyan Iman Prasetya
Jum'at, 17 Desember 2021   |   2451 kali

Masyarakat internasional memperingati tanggal 9 dan 10 Desember setiap tahunnya, secara berurutan, sebagai Hari Anti Korupsi dan Hari Hak Asasi Manusia (HAM). Penetapan kedua tanggal tersebut ditambah dengan skala peringatannya yang dilakukan oleh seluruh warga dunia menunjukkan bahwa kedua hal di atas masih menjadi permasalahan yang penting untuk diperhatikan. Pada tahun ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengusung tema Equality[1] untuk peringatan Hari HAM, sedangkan untuk Hari Anti Korupsi mengusung tema dengan semboyan “Your right, your role: Say no to corruption”[2]. Sejalan dengan kesadaran masyarakat internasional tersebut, Kementerian Keuangan juga telah menetapkan tema tersendiri khususnya untuk peringatan Hari Anti Korupsi. Tema yang diusung adalah “Perkuat Budaya Antikorupsi, Wujudkan Kemenkeu Satu Yang Tepercaya, Menuju Indonesia Tangguh dan Tumbuh”.

Kedua hal yang diperingati pada hari-hari di atas, menurut Penulis, dapat dipandang dengan dua cara, yaitu terpisah atau berhubungan. Dipandang secara terpisah dalam arti bahwa antara Korupsi dan HAM tidak memiliki hubungan, sedangkan dipandang berhubungan dalam arti keduanya memiliki keterkaitan. Dalam kerangka cara pandang tersebut, Tulisan ini mengetengahkan bahwa terdapat keterkaitan antara Korupsi dan HAM serta signifikansinya bagi tugas dan fungsi Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.

Keterkaitan Korupsi dan HAM

Diskursus mengenai keterkaitan antara korupsi dan HAM senyatanya telah banyak dibahas dalam skala internasional. Ramasastry (2015) mencatat bahwa terdapat beberapa gagasan yang disampaikan oleh para sarjana berkaitan dengan upaya untuk menyatakan bahwa korupsi adalah salah satu bentuk kejahatan internasional. Selain itu, dirinya juga mencatat bahwa terdapat upaya dari para sarjana hukum untuk merumuskan sebuah hak untuk bebas dari korupsi (right to be free from corruption) sebagai salah satu bentuk hak asasi manusia yang diterima secara universal[3].

Upaya untuk mengadvokasi hak untuk bebas dari korupsi sebagai salah satu HAM dilatarbelakangi dari belum adanya suatu aturan hukum internasional yang secara eksplisit mengaturnya. Murray dan Spalding (2015) menulis bahwa, konvensi-konvensi internasional, seperti Deklarasi Universal HAM belum menyebut hak bebas dari korupsi (yang dilakukan oleh pejabat publik) sebagai salah satu HAM, atau United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) juga belum mengatur korupsi (yang dilakukan oleh pejabat publik) sebagai sebuah tindakan pelanggaran HAM[4].

Pendapat Murray dan Spalding di atas menggunakan istilah korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik atau official corruption, sedangkan sejatinya konsep tindakan korupsi tidak hanya terbatas pada domain publik, namun juga mencakup privat. Rose (2015), berkaitan dengan hal ini, berpandangan bahwa istilah korupsi belumlah memiliki definisi yang tepat secara hukum yang berlaku secara internasional. Para pembuat kebijakan, menurutnya, dalam lapangan anti-korupsi lebih banyak merujuk pada pengertian korupsi sebagai ‘the abuse of entrusted power for private gain’. Padahal pengertian tersebut menurut Rose hanya berfokus pada satu sisi, yaitu domain publik semata. Selain itu, dirinya juga menyebutkan bahwa UNCAC memilih untuk tidak mendefinisikan korupsi, namun ‘sebatas’ menyebutkan tindakan-tindakan yang masuk dalam ruang lingkup tindakan korupsi[5].

Pada pendapatnya yang lain, Rose (2016) menyebutkan bahwa tindakan koruptif yang faktanya juga terjadi pada domain privat menjadi batasan terhadap upaya untuk mengaitkan antara korupsi dengan HAM. Disebutkan olehnya, bahwa rezim hukum HAM internasional yang saat ini eksis hanya berfokus pada tanggungjawab organisasi publik (negara) untuk pemenuhan HAM, sedangkan organisasi privat tidak termasuk di dalamnya[6]. Sehingga, dengan mengikuti pendapat ini, meskipun korupsi dianggap sebagai pelanggaran HAM maka yang dapat diklasifikasikan demikian hanya korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik, sedangkan korporasi yang terkait dengan tindakan korupsi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban.

Beralih ke dalam negeri, beberapa pendapat juga menyuarakan bahwa korupsi sangat berkait erat dengan HAM. Widjojanto (2012) menyatakan bahwa tindak korupsi mempunyai kaitan dan bahkan juga dapat menjadi bagian serta dikualifikasi sebagai kejahatan hak asasi manusia karena dampak clan tindak pidana korupsi dapat menyebabkan diingkari, dicampakkan dan dirampasnya human dignity[7]. Pernyataan senada juga disampaikan oleh Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada periode ini[8] maupun sebelumnya[9]. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, meskipun mengaitkan korupsi dengan HAM memiliki beberapa keterbatasan sebagaimana pendapat sebelumnya, dalam konteks Indonesia, penggunaan pendekatan HAM dalam memandang korupsi kiranya dapat menjadi perhatian serius.

Signifikansi bagi Peran DJKN

Sekilas pembahasan mengenai korupsi yang dikaitkan dengan HAM adalah sesuatu yang sama sekali tidak berhubungan dengan tugas dan fungsi Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN). Namun apabila dicermati, sejatinya terdapat beberapa aspek dalam pembahasan korupsi yang bersinggungan dengan tugas dan fungsi DJKN. Aspek tersebut adalah berkaitan dengan pengelolaan Barang Milik Negara (BMN) yang berasal dari rampasan hasil korupsi.

Dalam rilis DJKN, BMN yang berasal dari rampasan dan gratifikasi dikelola dengan cara Penetapan Status Penggunaan (PSP), Hibah, Pemusnahan, Lelang, Pemanfaatan, atau Penghapusan[10]. Pengelolaan tersebut, disebut oleh DJKN sebagai upaya Pemerintah untuk mengoptimalkan pengelolaan BMN yang manfaatnya kembali kepada masyarakat[11]. Lebih lanjut, DJKN menyatakan bahwa optimalisasi pemulihan aset hasil tindak pidana korupsi merupakan salah satu bentuk optimalisasi pengelolaan aset sebagai bagian upaya konsolidasi fiskal yang dilakukan Pemerintah dalam pengelolaan APBN 2022[12].

Berkenaan dengan pembahasan mengenai pemulihan aset (asset recovery), meskipun tidak terdapat definisi yang memadai sebagaimana korupsi[13], tentu tidak dapat dilepaskan dari pembahasan mengenai lelang. Brun et.al. (2011) menuliskan bahwa cara terbaik guna mewujudkan transparansi prosedur dan menghindarkan dugaan mismanagement dalam pemulihan aset adalah dengan cara lelang yang terbuka untuk umum[14]. Sejalan dengan pemahaman tersebut, pada tahun 2021 Pemerintah juga telah mengundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2021 tentang Lelang Benda Sitaan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Uraian-uraian di atas cukup membuktikan bahwa hingga saat ini, DJKN telah berfokus dan memiliki peran penting dalam permasalahan korupsi. Lantas, apakah pemahaman bahwa tindak korupsi berkorelasi dengan HAM membawa signifikansi kepada pelaksanaan tugas dan fungsi DJKN? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Penulis mengetengahkan hal-hal sebagai berikut.

Pertama, memahami bahwa korupsi terkait dengan pelanggaran HAM akan menghantarkan pada pemahaman bahwa tugas dan fungsi yang dilaksanakan oleh DJKN selama ini adalah salah satu bagian dari upaya negara untuk memenuhi tanggungjawabnya dalam bidang HAM. Sebagaimana dipahami bahwa rezim HAM memberikan tugas kepada negara setidaknya untuk respect, protect, & fulfil[15]. Dengan demikian, pemahaman adanya keterkaitan antara korupsi dengan HAM dan mengingat bahwa DJKN memainkan peran penting dalam pemulihan aset akibat korupsi akan menegaskan bahwa selama ini DJKN telah turut serta berupaya untuk melaksanakan tugas negara berupa respect, protect, & fulfil terhadap HAM setiap individu.

Kedua, pemahaman bahwa korupsi terkait dengan HAM adalah sejalan dengan gagasan penyelesaian pelanggaran HAM yang didasarkan pada human right based approach (HRBA). Waagstein (t.t.) menyatakan bahwa penyelesaian pelanggaran HAM yang dilakukan dengan HRBA akan lebih menjamin pemenuhan HAM individu daripada hanya ‘sekedar’ penyelesaian melalui jalur pidana[16]. Dengan demikian, pelaksanaan tugas dan fungsi DJKN yang berkaitan dengan pengelolaan BMN maupun lelang aset hasil tindak korupsi harus dipandang dan diusahakan untuk tujuan keuntungan warga negara, sebagai korban dari tindak korupsi. Lebih jauh, hal ini diharapkan juga menimbulkan kesadaran bagi warga negara akan pentingnya tugas dan fungsi DJKN dalam konteks pemenuhan HAM.

Dengan mendasarkan pada dua argumen di atas, maka, menurut Penulis, pemahaman bahwa korupsi berkaitan dengan HAM membawa dampak yang signifikan terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi DJKN, utamanya yang bersinggungan dengan pengeloaan BMN dan lelang barang hasil tindak korupsi.

Penutup

Peringatan Hari Anti Korupsi dan Hari HAM sedunia senyatanya tidak hanya berdekatan secara waktu, namun juga memiliki keterkaitan secara konseptual. Keterkaitan tersebut senyatanya juga memiliki signifikansi terhadap tugas dan fungsi DJKN. Oleh karenanya, berdasarkan hal-hal tersebut, peringatan Hari Anti Korupsi dan Hari HAM sedunia khususnya bagi DJKN dan warga negara selaku penyandang HAM kiranya dapat lebih bermakna.

Oleh: Hadyan Iman Prasetya (KPKNL Bontang)


[1] Diakses dari https://www.un.org/en/observances/human-rights-day pada 16 Desember 2021.

[2] Diakses dari https://www.un.org/en/observances/anti-corruption-day pada 16 Desember 2021.

[3] Anita Ramasastry, Is There a Right to Be Free from Corruption?, 49 UC Davis L. Rev. 703-739 (2015).

[4] Matthew Murray & Andrew Spalding, Freedom from Official Corruption as a Human Right, (2015) diakses dari https://www.brookings.edu/wp-content/uploads/2016/06/Murray-and-Spalding_v06.pdf pada 16 Desember 2021.

[5] Cecily Rose, International Anti-Corruption Norms: Their Creation and Influence on Domestic Legal Systems, (2015, Oxford University Press). [7].

[6] Cecily Rose, The Limitations of a Human Rights Approach to Corruption, 65 International and Comparative Law Quarterly 405-438 (2016).

[7] Bambang Widjojanto, Negara Hukum, Korupsi, dan Hak Asasi Manusia: Suatu Kajian Awal, 3 Jurnal Hukum Prioris 27-45. (2012).

[13] Radha Ivory, Corruption, Asset Recovery, and the Protection of Property in Public International Law: the Human Rights of Bad Guys, (2014, Oxford Unniversity Press). [22].

[14] Jean-Pierre Brun et.al., Asset Recovery Handbook: A Guide for Practitioners, (2011, World Bank). [101].

[16] Patricia RInwigati Waagstein, Business and Human Rights in Indonesia: From Principles to Practice, (t.t., Human Rights Resource Centre). [27]. Dapat diakses melalui http://hrrca.org/wp-content/uploads/2015/05/BHR-in-Indonesia.pdf

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini