Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Berita Media DJKN
Inkonsistensi Implementasi Putusan MK tentang Pembubaran BP Migas

 Rabu, 22 Mei 2013 pukul 09:50:42   |   780 kali

Lima November 2012, MK mengeluarkan keputusan yang menuai pro dan kontra serta membuat kaget banyak pihak. Enam bulan telah berlalu namun nasib industri hulu minyak dan gas bumi Indonesia masih dipenuhi ketidakpastian. Sebelum membahas isu-isu konstitusionalitas, Penulis akan menguraikan pendapat MK mengenai minyak dan gas bumi. Dalam putusan, MK menyatakan minyak dan gas bumi termasuk cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dan merupakan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi dan air Indonesia yang harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

MK menegaskan bahwa penguasaan oleh negara dalam Pasal 33 UUD 1945 memiliki pengertian yang lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata. Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945 baik di bidang politik maupun ekonomi. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-sebesarnya kemakmuran rakyat. Pengertian dikuasai harus mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia.

Dikuasai oleh negara tidak dapat diartikan hanya sebagai hak untuk mengatur tetapi juga mengurus dan mengelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. MK menilai bentuk penguasaan negara peringkat pertama dan yang paling penting adalah negara melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam sehingga negara mendapatkan keuntungan lebih besar dari pengelolaan sumber daya alam.

Menarik mencermati pertimbangan dari putusan MK ini. Berikut ringkasan poin-poin pertimbangan putusan MK:

1. Kedudukan dan Wewenang BP Migas
MK menyatakan BP Migas memang melakukan penguasaan negara atas minyak dan gas bumi akan tetapi bentuk penguasaan negara hanya sebatas tindakan pengendalian dan pengawasan. Pembentukan BP Migas juga dilatarbelakangi oleh kehendak memisahkan badan yang melakukan regulasi atau membuat kebijakan dengan badan yang melakukan bisnis minyak dan gas. Dengan begitu, BP Migas dapat fokus melaksanakan tujuan pengendalian kegiatan hulu minyak dan gas tanpa dibebani kewajiban mencari keuntungan untuk diri sendiri. BP Migas dimaksudkan oleh Pemerintah untuk tidak secara langsung terlibat bisnis minyak dan gas bumi sehingga Pemerintah tidak dihadapkan secara langsung dengan pelaku usaha.

Menurut MK, hal-hal tersebut di atas justru mendegradasi makna penguasaan negara atas minyak dan gas bumi yang bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 karena:

a.    Pemerintah tidak dapat secara langsung melakukan pengelolaan atau tidak dapat menunjuk secara langsung BUMN untuk mengelola seluruh wilayah kerja minyak dan gas bumi dalam kegiatan usaha hulu;

b.    Setelah BP Migas menandatangani KKS maka seketika itu negara terikat pada seluruh isi KKS yang berarti negara kehilangan kebebasannya untuk melakukan regulasi atau kebijakan yang bertentangan dengan isi KKS;

c.    Tidak maksimalnya keuntungan negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat karena adanya potensi penguasaan minyak dan gas bumi yang membawa keuntungan besar kepada badan usaha swasta atau bentuk usaha tetap. Negara dianggap kehilangan kewenangan untuk melakukan pengelolaan atau menunjuk secara langsung BUMN untuk mengelola minyak dan gas bumi padahal fungsi pengelolaan adalah bentuk penguasaan negara pada peringkat pertama dan paling utama untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

MK juga berpandangan bahwa pemisahan antara badan yang melakukan fungsi regulasi dan pembuatan kebijakan dengan lembaga yang melakukan pengelolaan dan bisnis minyak dan gas secara langsung mengakibatkan terdegradasinya penguasaan negara atas sumber daya alam minyak dan gas. Menurut MK agar amanat Pasal 33 UUD 1945 terlaksana nyata seharusnya Pemerintah melakukan tindakan pengurusan atas sumber daya alam minyak dan gas dengan memberikan konsesi kepada satu atau beberapa BUMN untuk mengelola kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi. BUMN yang ditunjuk tersebut itu yang kemudian akan melakukan KKS dengan BUMD, koperasi, usaha kecil, badan hukum swasta atau bentuk usaha tetap.

Dalam pertimbangannya, MK mengirim pesan tegas kepada Pemerintah agar putusan MK ini menjadi momentum bagi pembentuk undang-undang untuk melakukan penataan kembali dengan mengedepankan efisiensi yang berkeadilan dan mengurangi proliferasi organisasi pemerintah.

2. Kontrak Kerja Sama
Menurut MK hubungan antara negara dengan swasta dalam pengelolaan sumber daya alam tidak dapat dilakukan dengan hubungan keperdataan akan tetapi harus merupakan hubungan yang bersifat publik yaitu berupa pemberian konsesi atau perizinan yang sepenuhnya di bawah kontrol dan kekuasaan negara. Kontrak keperdataan akan mendegradasi kedaulatan negara atas sumber daya alam.

Berdasarkan hal tersebut, MK berpendapat hubungan antara negara dan sumber daya alam minyak dan gas sepanjang dikonstruksikan dalam bentuk KKS antara BP Migas dan BHMN sebagai pihak Pemerintah atau mewakili Pemerintah dengan badan usaha atau bentuk usaha tetap adalah bertentangan dengan prinsip penguasaan negara yang dimaksud konstitusi. MK menganjurkan negara dapat membentuk atau menunjuk BUMN yang diberikan konsesi untuk mengelola minyak dan gas bumi di wilayah hukum pertambangan Indonesia atau wilayah kerja supaya BUMN tersebut yang melakukan KKS dengan badan usaha atau bentuk usaha tetap sehingga hubungannya tidak lagi antara negara dengan badan usaha atau bentuk usaha tetap tetapi antara BUMN dengan badan usaha atau bentuk usaha tetap.

MK juga berpendapat bahwa KKS dan bentuk kontrak kerjasama lain tidak bertentangan dengan UUD 1945 dengan syarat menguntungkan negara, memberi manfaat sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan tidak melanggar prinsip penguasaan negara menurut konstitusi.

3. Posisi BUMN
Dalil Pemohon menyatakan Pasal 9 UU Migas dapat bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 karena BUMN hanya menjadi salah satu pemain dalam pengelolaan minyak dan gas sehingga BUMN harus bersaing di negaranya sendiri untuk dapat mengelola minyak dan gas. Menurut MK dalil tersebut tidak tepat karena hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada perusahaan nasional untuk berpartisipasi dalam kegiatan usaha minyak dan gas bumi. Ditambah dengan keputusan MK yang menyatakan bahwa BP Migas bertentangan dengan konstitusi sehingga posisi BUMN menjadi strategis karena akan mendapatkan hak pengelolaan dari Pemerintah dalam bentuk izin pengelolaan atau bentuk lainnya.

Pemohon juga mendalilkan bahwa konsep pemecahan organisasi secara vertikal dan horizontal (unbundling) sebagaimana Pasal 10 dan 13 UU Migas bertentangan dengan prinsip Pasal 33 UUD 1945 karena mengurangi kedaulatan negara. Hal ini juga tidak dapat diterima oleh MK karena putusan MK No. 002/PUU-I/2003 tertanggal 21 Desember 2004 telah mempertimbangkan bahwa pemisahan (unbundling) kegiatan usaha tidak berlaku bagi BUMN sehingga sejak saat itu justru penguasaan negara menjadi semakin kuat.

Dalil Pemohon berikutnya menyatakan bahwa KKS adalah perjanjian internasional sehingga pemberitahuan KKS secara tertulis kepada DPR telah mengingkari kedaulatan rakyat dan mengingkari keikutsertaan rakyat sebagai pemilik kolektif sumber daya alam. Menurut MK, KKS adalah kontrak yang bersifat keperdataan dan tunduk pada hukum keperdataan dan pemberitahuan kepada DPR justru menegaskan fungsi pengawasan DPR. Catatan Penulis, Pemohon bermaksud mengategorikan KKS sebagai perjanjian tertulis supaya KKS wajib mendapat persetujuan DPR bukan hanya pemberitahuan.

‘PutusanIstimewa’ MK
MK juga menimbang bahwa karena putusan ini menyangkut status BP Migas yang sangat penting maka MK perlu menentukan akibat hukum yang timbul setelah putusan ini diucapkan dengan pertimbangan bahwa putusan yang diambil oleh MK jangan sampai menimbulkan ketidakpastian hukum yang dapat mengacaukan kegiatan minyak dan gas Bumi. Bila keberadaan BP Migas secara serta merta dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan pada saat yang sama juga dinyatakan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat maka akan menganggu atau menghambat pelaksanaan kegiatan minyak dan gas bumi yang sedang berjalan karena kehilangan dasar hukum.

Oleh karena itu, MK harus mempertimbangkan perlunya kepastian hukum organ negara yang melaksanakan fungsi dan tugas BP Migas sampai terbentuknya aturan baru. MK memandang perlu untuk menegaskan akibat hukum putusan MK yang menyatakan bahwa putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum. Dengan demikian, MK menyatakan KKS yang telah ditandatangani dinyatakan oleh MK tetap berlaku sampai masa berlakunya berakhir atau pada masa lain sesuai dengan kesepakatan.

MK menimbang untuk mengisi kekosongan hukum karena tidak adanya lagi BP Migas maka MK perlu menegaskan organ negara yang akan melaksanakan fungsi dan tugas BP Migas sampai terbentuknya aturan baru yaitu Pemerintah selaku pemegang kuasa pertambangan dalam hal ini Kementerian yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab dalam bidang minyak dan gas. Segala hak serta kewenangan BP Migas setelah putusan MK dilaksanakan oleh Pemerintah atau badan usaha milik negara yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Inkonsistensi Mahfud MD
Penulis melihat inkonsistensi dan pelampauan wewenang yang dilakukan MK dalam putusan pembubaran BP Migas ini. Ditambah lagi Mahfud MD setelah menjadi Ketua MK seperti menelan ludahnya sendiri. Dalam buku beliau yang berjudul “Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu” yang diterbitkan pada tahun 2009, beliau pernah menulis bahwa salah satu rambu yang harus diperhatikan agar MK tidak melampaui batas kewenangannya adalah MK tidak boleh membuat keputusan yang bersifat mengatur. Menurut beliau, hal ini disebabkan karena bidang pengaturan merupakan ranah legislatif. Pemerintah dan DPR adalah positive legislator (pembuat norma) sedangkan MK adalah negative legislator (penghapus atau pembatal norma).

Putusan MK jelas telah menciptakan ketentuan hukum atau norma baru dan mengatur dengan menyatakan KKS yang telah ditandatangani dinyatakan oleh MK tetap berlaku sampai masa berlakunya berakhir atau pada masa lain sesuai dengan kesepakatan dan untuk mengisi kekosongan hukum karena tidak adanya lagi BP Migas maka memerintahkan fungsi dan tugas BP Migas dilaksanakan oleh Pemerintah c.q Kementerian terkait sampai diundangkannya undang-undang yang baru yang mengatur hal tersebut.

Inkonsistensi Presiden terhadap Putusan MK
Presiden menerbitkan 2 Peraturan Presiden untuk menanggapi Putusan MK tersebut yaitu:

1. Peraturan Presiden No. 95 Tahun 2012 tentang Pengalihan Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (“Perpres 95/2012”) tertanggal 13 November 2012.

11 hari setelah putusan MK yang membuat cemas para pelaku bisnis minyak dan gas bumi tersebut, Presiden nampak ingin meredam kecemasan pelaku usaha hulu minyak dan gas bumi dengan mengeluarkan Perpres 95/2012. Pemerintah nampak dengan tegas menjawab putusan MK dengan mengalihkan pelaksanaan tugas, fungsi dan organisasi BP Migas kepada menteri yang menyelenggarakan urusan Pemerintah di bidang minyak dan gas bumi sampai diterbitkannya peraturan baru. Perpres 95/2012 juga menegaskan pengulangan putusan MK bahwa KKS yang ditandatangani BP Migas dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap tetap berlaku sampai masa berlakunya berakhir. Seluruh proses pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi yang sedang ditangani oleh BP Migas dilanjutkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang minyak dan gas bumi.

2. Peraturan Presiden No. 9 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi tertanggal 10 Januari 2013 (“Perpres 9/2013”).

Hanya kurang lebih 2 bulan setelah Perpres 95/2012, Pemerintah kembali menerbitkan Perpres 9/2013. Sangat menarik mencermati isi Perpres 9/2013 ini. Pada intinya Perpres 9/2013:

a.  Menempatkan Menteri ESDM sebagai pembina, pengkoordinasi dan pengawas penyelenggaraan  pengelolaan Minyak dan Gas Bumi.

b.  Menetapkan SKK Migas sebagai penyelenggara pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi sampai diterbitkannya undang-undang baru di bidang minyak dan gas bumi.

c.   Memunculkan konsep Komisi Pengawas sebagai pengendali, pengawas dan pengevaluasi kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi oleh SKK Migas.

Di sinilah Penulis menilai Presiden inkonsisten menanggapi putusan MK ini. Penerbitan Perpres 9/2013 jelas menunjukkan bahwa Presiden tidak membaca dengan seksama pertimbangan putusan MK. Pembentukan SKK Migas melalui Perpres 9/2013 bertentangan dengan pertimbangan MK yang sangat jelas mengamanatkan bahwa fungsi dan tugas BP Migas dilaksanakan oleh Pemerintah c.q Kementrian terkait sampai diundangkannya undang-undang yang baru yang mengatur hal tersebut.  

Perpres 9/2013 ini jelas mengaburkan Perpres 95/2012. Menurut Penulis, inkonsistensi Presiden tampak jelas dengan mengeluarkan Perpres 9/2013 yang membentuk SKK Migas sebagai pengelola kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi. Pergantian BP Migas yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK ke SKK Migas seperti hanya berganti baju. Mungkin yang berbeda adalah konsep Komisi Pengawas dalam SKK Migas. Entah apa landasan Presiden menerbitkan Perpres 9/2013 ini. SKK Migas secara konsep tampak tidak berbeda dengan BP Migas dan menurut Penulis berpotensi besar untuk dibatalkan melalui judicial review ke Mahkamah Agung atau digugat ke pengadilan karena pembentukan SKK Migas ini malah menambah jenjang dan inefisiensi terhadap pengelolaan minyak dan gas bumi dan tidak mengindahkan pertimbangan hukum putusan MK sehingga potensial disebut inkonstitusional.

Sungguh sangat disayangkan, masih terdapat celah yang terbuka lebar yang dapat semakin membuat pelaku usaha hulu bisnis minyak dan gas bumi menjadi cemas. Bila judicial review ke Mahkamah Agung mengenai Perpres 9/2013 ini dilakukan atau bila ada gugatan yang diajukan oleh masyarakat terhadap keberadaan KKS yang sekarang berlaku yang dialihkan kepada SKK Migas yang notabene tidak berbeda dengan BP Migas (inkonstitusional) yang dikabulkan maka terbayang dampak ketidakpastian hukum terhadap pelaku usaha hulu Minyak dan Gas Bumi di Indonesia.

Pasal 10 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (“UU No. 12/2011”) menyebutkan bahwa salah satu materi muatan yang harus diatur oleh Undang-Undang berisi tindak lanjut atas putusan MK. Tindak lanjut atas putusan MK tersebut dapat dilakukan oleh DPR atau Presiden.

Tentunya Putusan MK ini merupakan pekerjaan rumah bagi Presiden dan DPR terkait dengan pembentukan UU Migas yang baru untuk mengakomodir keputusan MK. Bila Presiden tidak menjalankan pertimbangan MK nampaknya sudah saatnya DPR melakukan langkah konkret sesuai kewenangannya dengan segera merevisi UU Minyak dan Gas Bumi untuk mengakomodir putusan MK agar peristiwa pembubaran SKK Migas tidak terulang di kemudian hari demi terciptanya iklim investasi yang kondusif untuk industri minyak dan gas bumi.

*Alumnus Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung/Praktisi Hukum
**Tulisan merupakan pendapat pribadi Penulis tidak mewakili institusi manapun

Sumber: www.hukumonline.com

Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini