Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Berita Media DJKN
TPPI Harus Segera Lunasi Utang

 Selasa, 06 September 2011 pukul 15:52:49   |   394 kali

JAKARTA (Suara Karya): DPR kembali mendesak PT Trans Pacific Petrochemical Indonesia (TPPI) segera membayar utang ke PT Pertamina (Persero) sekitar 500 juta dolar AS (Rp 4,3 triliun) dan ke BP Migas sekitar 180 juta dolar AS. "Jika kewajiban utang itu tidak segera dilunasi, bukan saja Pertamina dan BP Migas yang merugi, tapi negara juga sangat dirugikan," kata anggota Komisi XI DPR Nusron Wahid di Jakarta, kemarin. DPR juga mempertanyakan belum dibayarnya utang TPPI ke Pertamina dan BP Migas hingga saat ini. Untuk itu, DPR harus memanggil pimpinan TPPI untuk menjelaskan persoalan ini agar semua kewajiban utang dapat dilunasi. "Saya kira DPR harus memanggil TPPI, agar persoalan utang tidak berlarut-larut dan negara tidak semakin dirugikan. Apalagi hanya karena ulah TPPI yang belum juga membayar utangnya," ujarnya. Sebelumnya, Wakil Ketua KOmisi XI DPR Harry Azhar Azis juga mendesak agar TPPI segera membayar utangnya, baik ke Pertamina mupun ke BP Migas. Hal senada juga disampaikan Wakil Direktur Reforminer Institute Khomaidi. Menurut dia, TPPI harus segera membayar utang dalam waktu yang tidak terlalu lama. Apalagi utang TPPI ke Pertamina dan BP Migas terjadi sejak belasan tahun lalu. "Saya juga heran, mengapa urusan utang TPPI ini jadi berlarut-larut. Padahal dari sisi bisnis, ada hitung-hitungan. Kenapa tidak segera diselesaikan. Apalagi Badan Arbitrase Nasional Indonesia atau BANI sudah memutuskan agar TPPI membayar utangnya kepada Pertamina," ujar Khomaidi. Menurut dia, belum dibayarnya utang TPPI ke Pertamina dan BP Migas yang lumayan besar ini sudah merugikan banyak pihak. Jika dibayar, uang tersebut dapat dimanfaatkan Pertamina untuk pengembangan usaha hilir dan hulu migas. Untuk itu, Khomaidi mengusulkan agar pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), melakukan intervensi. "Yang dimaksudkan adalah mendesak TPPI agar segera melunasi utangnya," ucapnya. Selain itu, usulan TPPI agar pembayaran utang dilakukan melalui pembelian gas elpiji dan migas dengan harga lebih mahal dari harga pasaran, juga harus ditolak. Karena jika dipaksakan, Pertamina bisa terkena delik hukum terkait korupsi. Jadi jika pembayaran dengan opsi pembelian gas elpiji, maka TPPI harus realistis. Ini tidak mungkin dilakukan," tutur Khomaidi. Di tempat terpisah, VP Corporate Communication Pertamina M Harun mengatakan, dari utang TPPI sekitar 548 juta dolar AS kepada Pertamina, sebesar 229 juta dolar AS di antaranya dibayar dalam bentuk open account (pembayaran kemudian) yang dilakukan secara bertahap selama 10 tahun. Sedangkan besaran bunga utang TPPI yang dibayar dalam bentuk open account tersebut sebesar 5,2 persen atau di atas bunga obligasi Pertamina. "Jika tidak, berarti kita sama saja menyubsidi TPPI," tuturnya. Sedangkan sisanya, dibayar secara tunai pada saat Master of Restructuring Agreement (MRA) disepakati. Finalisasi MRA sendiri sudah beberapa kali diundur dan dijadwalkan lagi pada 7 September 2011. Seperti diketahui, pembayaran utang TPPI dalam bentuk open account ini dilakukan secara bertahap selama 10 tahun melalui penjualan elpiji dan migas. Untuk jual beli migas, kedua belah pihak sudah sepakat mengikuti harga pasar. Sedangkan untuk arga jual elpiji, TPPI masih kukuh sebesar cost price (CP) Aramco plus 140 dolar AS per ton. Namun bagi Pertamina harga tersebut lebih tinggi, karena biasanya BUMN Migas ini membeli dengan harga CP Aramco minus 40 dolar AS per ton. Pertamina juga meminta adanya jaminan tertentu dari TPPI selama jadwal pembayaran sebagai antisipasi adanya wanprestasi selama tahap pembayaran. Tetapi TPPI baru bersedia memberikan jaminan pada tahun ke-8 dan berupa surat jaminan (letter of credit/L/C). "Masalahnya, kita baru dapat L/C pada tahun ke-8. Jadi pada tahun pertama sampai ke delapan tidak ada jaminannya. Memang pihak TPPI berjanji akan mencicil sampai tahun ke-10 secara bertahap dibayar 2 persen di tahun pertama. Kemudian 4 persen dan seterusnya. Tapi L/C baru dibayar pada tahun ke delapan," tutur Harun. Menurut dia, jaminan dibutuhkan oleh Pertamina sebagai pegangan jika terjadi kegagalan dalam pembayaran utang. "Tapi yang jelas, semangatnya ini kita masih sama, ingin membantu proses restrukturiasi utang TPPI. Tapi di dalam proses ini ada beberapa hal yang secara prinsip harus dijaga dengan baik," katanya. Di lain pihak, Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (Iress) Marwan Batubara mendesak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) segera melakukan audit terhadap TPPI dan PT Tuban Petrochemical Industries, selaku induk usaha TPPI.

Menurut dia, audit BPK perlu dilakukan terhadap TPPI dan Tuban Petrochemical, karena telah melibatkan keuangan negara. Berdasarkan analisis, TPPI dan Tuban Petrochemical bisa dikatakan perusahaan tidak sehat. (Rully/A Choir)   sumber
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini