Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Berita Media DJKN
PUPN Berwenang Urus Piutang Pemerintah

 Kamis, 12 Januari 2012 pukul 10:07:15   |   427 kali

JAKARTA - Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) berwenang mengurus piutang negara yang telah diserahkan pengurusanya pada pemerintah. Aturan ini ada dalam Pasal 4,Pasal 8, dan Pasal 12 ayat (1) UU No 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN).

Pendapat ini dikemukakan oleh Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan, Hadiyanto saat mewakili pemerintah dalam sidang uji materi UU No 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN). Menurutnya, aturan tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945.

“Pengurusan piutang ini yang berasal dari instansi pemerintah berdasarkan suatu peraturan, pejanjian atau sebab apapun sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan sesuai UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,” kata Dirjen Kekayaan Negara Kemenkeu Hadiyanto.

Uji materi diajukan Direktur Utama PT Lamindo Group, Syaiful. Perusahaannya, menaungi tujuh perusahaan, salah satunya PT Sarana Aspalindo Padang Dkk. Mereka menguji pasal Pasal 4,Pasal 6,Pasal 10,Pasal 12, ayat (1) UU PUPN. Regulasi tersebut. Dianggap menimbulkan ketidakadilan, dan ketidakpastian hukum bagi debitur yang mengalami kredit macet di Bank Negara Indonesia (BNI).

Hal ini bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Sebab, pemerintah (bank pemerintah) masih belum bisa melakukan pemotongan utang (haircut) kepada debitur yang mengalami kredit macet di bank pemerintah sejak berlakunya UU PUPN ini. Mereka karena terikat dengan kewenangan PUPN, jika pemotongan hutang dilakukan berdasarkan struktur keuangan negara dinilai sebagai kerugian negara yang dianggap sebagai korupsi.

Sementara di bank swasta pemotongan utang berdasarkan aturan bisa dilakukan. Namun, menurut Hadiyanto, jika pasal-pasal yang diuji itu dibatalkan, akan terjadi kekosongan hukum dalam upaya penagihan piutang negara oleh Menkeu sebagai diamanatkan dalam Pasal 7 ayat (2) UU Perbendaharaan Negara.Akan ada kerugian nengara, sebab, piutang negara tidak dapat ditagih secara cepat.

“Hal itu berpedoman pada peraturan perundang-undangan di bidang perseroan terbatas,UU BUMN,dan UU Perbankan. Jadi tidak perlu menunggu dicabutnya UU PUPN karena tanpa mengkaitkan UU PUPN, bank BUMN bebas memberikan pemotongan utang atau restrukturisasi kredit lainnya kepada debiturnya lewat persetujuan RUPS,”ujarnya. Karena itu,Pasal 4,Pasal 6, Pasal 10,Pasal 12,ayat (1) UU PUPN tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945.

Jika pasal-pasal itu dibatalkan justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pengurusan piutang negara yang bukan berasal dari instansi BUMN. MK juga menggelar sidang lanjutan sengketa hasil pemilihan umum kepala daerah Kabupaten Batang. KPU Kabupaten Batang membantah semua dalil yang diungkapkan oleh pemohon. “Pemohon salah dalam menentukan objek permohonan (error in objecto).

Oleh karena itu, Termohon meminta agar Majelis Hakim Konstitusi menolak permohonan Pemohon,” ujar kuasa hukum Termohon, T. Denny Septiviant. Sebelumnya, pasangan Dhedy Irawan-Mujarwo mengajukan sengketa hasil Pilkada ke MK. Mereka keberatan dengan keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Batang yang menetapkan pasangan Yoyok Riyo Sudibyo-Soetiadi sebagai pemenang Pilkada. Dalilnya,telah terjadi terjadi pelanggaran secara terstruktur, sistematis, dan masif selama proses berlangsung.

sumber

Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini