Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Berita Media DJKN
Divestasi Newmont Tak Butuh Persetujuan DPR

 Rabu, 11 April 2012 pukul 09:11:08   |   335 kali

JAKARTA - Kedudukan Presiden Susilo Bambang yudhoyono (SBY) dalam pembelian tujuh persen saham divestasi Pt Newmont Nusa Tenggara (NTT) pada 2010 merupakan pelaksanaan kewenangan konstitusional Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan, sehingga tidak memerlukan persetujuan DPR lagi.


Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Kiagus Ahmad Badaruddin menjelaskan, hal tersebut berdasarkan keterangan ahli yang diajukan oleh Presiden SBY, di mana dalam kesempatan kali ini hanya Mulia Nasution dan Maruarar Siahaan, yang memperoleh kesempatan untuk menyampaikan keterangan ahlinya.


"Mulia Panusunan Nasution dalam keterangan ahlinya menyampaikan, bahwa berdasarkan amanat UUD 1945 Pemerintahan Negara Indonesia harus mampu berperan sebagai agent of development yang menjadi penggerak utama dalam proses pembangunan nasional untuk membawa bangsa dan rakyat Indonesia menuju peradaban yang bermartabat," ungkap dia dalam siaran persnya, di Jakarta, Selasa (10/4/2012).


Berdasarkan stasus PIP sebagai Badan Layanan Umum tersebut, Mulia berpendapat investasi pemerintah dalam bentuk pembelian tujuh persen saham divestasi PT NNT Tahun 2010 sudah tepat dilakukan oleh PIP sebagai BLU di lingkungan Kementerian Keuangan. "Hal ini didasari bahwa kepemilikan atas tujuh persen saham di PT NNT akan tetap menjadi kekayaan negara yang tidak dipisahkan, sehingga Pusat Investasi Pemerintah sebagai bagian atau arms-length (kepanjangan tangan) pemerintah dapat mempunyai kontrol secara langsung atas kepemilikan saham di PT NNT," paparnya.


Mengenai penggunaan Dana Investasi Pemerintah yang telah ditetapkan dalam UU APBN TA 2011, Mulia menyatakan Dana Investasi Pemerintah tersebut dapat langsung digunakan oleh Pemerintah tanpa harus meminta persetujuan kembali baik kepada DPR. Hal ini karena alokasi Dana Investasi Pemerintah telah tercantum dengan jelas dan tidak terdapat catatan berupa perlunya pembahasan lebih lanjut di DPR. "Oleh karena itu, seyogyanya Pemerintah tidak dihalangi untuk melaksanakan pembayaran saham divestasi tersebut. Dengan demikian proses pelaksanaan divestasi yang telah diamanatkan dalam perjanjian kontrak karya tidak lagi tertunda dan berlarut-larut," tuturnya.

 
Sementara itu dalam keterangan ahlinya, mantan hakim Mahkamah  Konstitusi, Maruarar Siahaan, menyatakan penggunaan paradigma lama yang sudah tidak sesuai. Hal ini disampaikan dalam menanggapi pendapat ahli termohon sebelumnya yang menurutnya menganggap supremasi legislatif lebih besar daripada eksekutif. "Seluruh konsepsi dalam Undang-Undang yang dijadikan acuan oleh BPK dan DPR RI adalah Undang-undang yang dibuat berdasarkan teori-teori dan konsep-konsep yang lama. Para ahli DPR dan BPK menggunakan paradigma supremasi parlemen padahal saat sudah menjadi supremasi konstitusi dan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan menurut UUD 1945," kata Muruarar.


Maruarar menambahkan, Presiden dipilih langsung oleh rakyat sehingga mempunyai legitimasi dan legalitas yang sama tingginya dengan DPR. Indonesia tidak menggunakan sistem pemisahan kekuasaan karena ada pembagian kekuasaan di mana antara keduanya dihubungkan dengan mekanisme check and balance.


Sekedar informasi, Pada hari, Selasa, tanggal 10 April 2012, Mahkamah Konstitusi (MK) kembali melaksanakan sidang Permohonan Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) antara Presiden RI dengan DPR RI dan BPK RI dengan agenda Mendengarkan Keterangan Saksi/Ahli dari Presiden RI, DPR RI dan BPK RI.


Dalam persidangan hari ini, Presiden RI selaku Pemohon mengajukan enam ahli yaitu Mulia Panusunan Nasution, DESS (Ahli Keuangan Negara), Erman Rajagukguk,(Ahli Hukum Ekonomi), Arief Hidayat, (Ahli Hukum Tata Negara), Darminto Hartono, (Ahli Hukum Ekonomi), Maruarar Siahaan, (Ahli Hukum Tata Negara dan Mantan Hakim Konstitusi), Eddy Suratman (Ahli Ekonomi).

sumber: http://economy.okezone.com/read/2012/04/10/20/609021/divestasi-newmont-tak-butuh-persetujuan-dpr

Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini