Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Berita Media DJKN
Divestasi Newmont investasi jangka panjang

 Jum'at, 11 Mei 2012 pukul 11:38:56   |   403 kali

Jakarta (ANTARA News) - Menteri Keuangan Agus Martowardojo menegaskan bahwa pembelian tujuh persen saham divestasi PT Newmont Nusa Tenggara oleh pemerintah merupakan investasi jangka panjang sesuai dengan pasal 41 ayat 1,2 dan 3 UU Perbendaharaan Negara.

"Divestasi sama sekali bukan penyertaan modal negara dalam keadaan tertentu untuk penyelamatan perekonomian nasional, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 24 ayat 7 UU Keuangan Negara," ujarnya dalam closing statement yang disampaikan dalam sidang permohonan sengketa kewenangan lembaga negara yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta, Selasa.

Sidang yang kedelapan ini merupakan sidang terakhir sebelum para hakim Mahkamah Konstitusi mengambil keputusan terkait perbedaan pendapat antara pemerintah dengan DPR RI serta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengenai pembelian saham tersebut.

Menkeu menjelaskan dengan melakukan pembelian saham tersebut maka kepemilikan 51 persen saham PT Newmont telah mewakili semua unsur kepentingan nasional sehingga dapat mengawasi kinerja perusahaan yang bergerak dalam industri pertambangan ini.

"Pemerintah dapat memastikan bahwa pengelolaan perusahaan ke depan akan menjadi contoh pengelolaan perusahaan PMA pertambangan yang baik, benar, taat azas, dan berkinerja prima di Indonesia, serta memenuhi semua kewajiban kepada negara, patuh menjaga lingkungan hidup, dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya pada masyarakat," katanya.

Menurut Menkeu, dalam rangka pembelian saham divestasi, sumber pendanaan yang digunakan berasal dari dana investasi pemerintah dalam APBN 2011 sebesar Rp1 triliun yang telah disetujui oleh DPR.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 15 ayat 5 UU Keuangan Negara dan UU APBN Perubahan 2011 telah dirinci alokasi dana investasi pemerintah sebesar Rp1 triliun dan tidak terdapat catatan apa pun terkait pelaksanaannya, sehingga pemerintah mempunyai kewenangan untuk melaksanakan investasi Pemerintah tanpa harus meminta persetujuan kembali kepada DPR.

Sedangkan kekurangan dana sebesar Rp1,3 triliun untuk membeli tujuh persen saham divestasi PT Newmont pada 2010 akan menggunakan pendapatan dari hasil investasi Pusat Investasi Pemerintah (PIP) pada tahun-tahun sebelumnya, yang dapat digunakan langsung sesuai Pasal 69 ayat 6 UU Perbendaharaan Negara.

"Apabila dalam pelaksanaan APBN masih diperlukan persetujuan kembali oleh DPR maka hal tersebut akan menyebabkan adanya persetujuan berlapis sehingga DPR telah memasuki ranah eksekutif dan hal tersebut akan membawa dampak fungsi pengawasan DPR akan terdilusi karena dapat dianggap turut serta menjalankan pemerintahan dalam bentuk persetujuan suatu kebijakan," kata Menkeu.

Menkeu juga mengkritik BPK yang melakukan penafsiran secara keliru atas UU dalam laporan hasil pemeriksaan terkait divestasi saham tersebut karena seharusnya BPK hanya melaksanakan UU.

"BPK telah menafsirkan ketentuan Pasal 24 ayat 7 UU Keuangan Negara yang berarti BPK telah melampaui batas kewenangannya. Lebih dari itu, penafsiran tersebut dilakukan secara keliru yaitu tanpa memperhatikan dasar filosofi pembentukan dan substansi pasal dimaksud," katanya.

Menkeu menyampaikan bahwa pembelian saham ini merupakan pertama kalinya pemerintah menggunakan hak atas kepemilikan saham dalam kontrak karya, maka putusan MK akan berpengaruh kepada upaya pemerintah selanjutnya untuk memperoleh kepemilikan saham kontrak karya bagi kepentingan nasional.

"Semoga keputusan yang diambil oleh Mahkamah Konstitusi adalah yang terbaik bagi bangsa dan negara, sehingga kedepannya penyelenggaraan negara bisa berjalan lebih lancar," ujarnya.

Saksi ahli pemerintah Prof Eddy Suratman dalam kesempatan yang sama mengungkapkan pembelian tujuh persen saham tersebut merupakan investasi jangka panjang non permanen dan bukan merupakan penyertaan modal negara.

Menurut dia, PIP merupakan badan layanan umum yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatan didasarkan para prinsip efisiensi dan produktivitas.

"Kata `tanpa mengutamakan` bukan berarti nirlaba, tetapi laba tidak menjadi tujuan utama. Pembelian ini tidak mengutamakan keuntungan tapi manfaat ekonomi dan sosial lain," ujarnya dalam keterangan ahlinya.

Guru Besar FE Universitas Tanjung Pura ini mengatakan perdebatan panjang mengenai perlu atau tidaknya persetujuan DPR ini, menyebabkan terjadinya opportunity loss untuk memperoleh manfaat ekonomi dan sosial itu.

(ANTARA)

Editor: Suryanto

sumber

Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini