Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Berita Media DJKN
Geliat Industri Dirgantara

 Selasa, 24 Juli 2012 pukul 10:35:41   |   350 kali
Banjarmasin.tribunnews.com - Bangsa Indonesia patut bersyukur. Setelah terpuruk hampir dua dekade akibat dipaksa International Monetary Fund (IMF) untuk menghentikan produksi pesawatnya, PT Dirgantara Indonesia (DI) akhirnya kembali bangkit menggeliat. Tekadnya untuk merevitalisasi dan memperbaiki kinerja perusahaan bakal mendekati kenyataan, setelah perusahaan pelat merah itu pada Juli 2012 bakal menerima kucuran penyertaan modal negara (PMN) senilai Rp 1 triliun.   Sebanyak 50 persen dari dana tersebut akan dipakai untuk memperbaiki mesin-mesin produksi. Sisanya untuk modal kerja.    “Dengan revitalisasi mesin, diharapkan produksi dapat meningkat dua kali lipat,” ujar Director of Aerostructure PTDI Andi Alisjahbana.    Mobil Listrik Nasional, pada tahun 1993 IMF hadir dengan sejumlah bantuan yang diikuti berbagai agenda yang harus dilakukan Indonesia. Salah satunya menghentikan produksi  pesawat oleh IPTN yang kini berganti nama jadi PTDI.     Padahal saat itu, IPTN telah memiliki order lebih dari 120 unit CN 235 dari negara lain setelah mengikuti Paris Air Show  1993 di Paris, Perancis. Pesawat CN 235 yang paling canggih di kelasnya ketika itu adalah saingan terberat dari ATR 72  milik Perancis.   Ternyata permintaan penghentian produksi pesawat IPTN ini cuma akal busuk Michael Camdessus, Direktur IMF saat itu. Karena, dia seorang veteran yang berasal dari negara yang sama dimana ATR 72 diproduksi, Perancis. Yang terjadi setelah itu, sebuah maskapai swasta Indonesia memesan 16 unit pesawat ATR 72-500 dari Perancis.   Dihentikannya produksi IPTN tersebut telah menyebabkan Indonesia kehilangan 12.000 putra-putra terbaik bangsa yang telah dicetak IPTN. Bahkan menurut Presiden Indonesian Islamic Business Forum (IIBF), Ir H Heppy Trenggono, Mkomp, bukan 12.000 tetapi 48.000 anak-anak muda yang telah disekolahkan dan dididik oleh IPTN. Saat ini sebagian besar dari mereka bekerja di perusahaan penerbangan yang tersebar di seluruh dunia.   Karena itulah bangkitnya perusahan pembuat pesawat terbang nasional yang dirintis oleh Menristek saat itu, Prof Dr BJ Habibie itu patut kita syukuri. Dengan kucuran dana Rp 1 triliun itu, kemampuan perusahaan memproduksi pesawat bakal bertambah, dari semula hanya enam unit dalam setahun menjadi 12 unit. Selain itu kapasitas produksi komponen pesawat bisa mencapai 60.000 pieces pada tahun depan.   Selain perbaikan mesin, PTDI juga akan merevitalisasi sumberdaya manusia (SDM). Untuk itu, kata Andi, perusahaan pelat merah ini siap merekrut 1.500 pekerja terampil hingga 2017 mendatang. Saat ini PTDI memproduksi C212-400, dan NC212-200, PTDI juga memproduksi jenis CN235-22O MPA, CN235-M, Helicopter Bell 412 EP, dan Helicopter NAS332L1 Super Puma.   Total produksi pesawat PTDI sekitar 80 persen kontrak pembuatan pesawat militer. Pihaknya ingin 2012, porsi pesawat komersial menjadi 80 persen, sisanya pesawat militer. Demi mencapai target tersebut, PTDI rajin berburu kontrak baru. Di antaranya mendapat pesanan 20 unit pesawat Cassa 212  dari PT Merpati Nusantara Airlines (MNA).   PTDI juga mendapat order untuk pengembangan pesawat Airbus A350. Nilai kontrak pengembangan pesawat A350 mencapai US$ 1 juta-2 juta. Perusahaan hightech ini juga berencana memproduksi komponen sayap bagian belakang untuk 800 pesawat Sukhoi Superjet 100. Rencana kerjasama dengan pihak Sukhoi Rusia masih penjajakan itu diperkirakan akan berlangsung hingga 2025.   Kita berharap, PTDI sebagai ‘reinkarnasi’ dari IPTN yang pernah menjadi pintu masuk Indonesia untuk menguasai teknologi tinggi tidak lagi mengalami kendala seperti saat dipaksa untuk dihentikan pengembangannya  oleh IMF, sehingga mimpi bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa produsen pesawat terbang dapat terwujud. Apalagi sudah ada kabar baik, pemerintah Indonesia juga sudah menjadwalkan tahun depan bakal mencairkan lagi dana Rp 1,6 triliun. Semoga. (*) Sumber
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini