Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Berita Media DJKN
Jelang Berakhirnya Kontrak Inalum - Bisuk: Hanya Perlu Bayar Depresiasi PLTA

 Rabu, 03 Oktober 2012 pukul 08:45:57   |   337 kali

JAKARTA- Banyaknya pihak yang ingin membeli saham Inalum, seperti Antam (Aneka Tambang), PIP (Pusat Investasi Pemerintah), Pemprovsu, dan lainnya, mengundang Bisuk Siahaan, kembali angkat bicara. Penggagas berdirinya pabrik peleburan aluminium PT Inalum Kuala Tanjung dan PLTA Sigura-gura ini kembali menegaskan, tidak ada istilah pembelian saham milik Jepang oleh Indonesia.


“Yang ada bahwa memang beberapa nilai barang yang belum didepresiasi, harus dibayar,” kata Bisuk secara khusus kepada koran ini di Jakarta, Minggu (30/9).


Penegasan itu, kata dia, sesuai dengan yang termuat dalam artikel XXIV, pasal 3 ayat (b), master agreement (perjanjian induk) antara Indonesia dan Jepang, yang menyebutkan: “Pabrik peleburan, fasilitas pendukung dan semua properti lainnya, bergerak dan tidak bergerak, yang terletak di Indonesia (kecuali yang dimaksud dalam sub-ayat (c) dari ayat ini) akan menjadi milik pemerintah, dan pemerintah wajib dalam waktu sembilan puluh (90) hari setelah tanggal berakhirnya perjanjian ini, membayar kepada perusahaan di Tokyo penjumlahan dalam Dolar AS sama dengan setidaknya nilai buku properti tersebut.”


Menurut perjanjian kemudian, bahwa saat ini yang perlu dibayar nilai depresiasi-nya hanya tinggal PLTA. Sementara untuk pabrik peleburan aluminum sudah tidak perlu lagi dan otomatis menjadi milik Indonesia. “Karena perjanjian masa pakai peralatan di pabrik aluminium itu 25 tahun. Sementara hingga saat ini sudah dipakai selama 30 tahun. Jadi sudah melewati, sehingga tidak perlu didepresiasi lagi. Tapi untuk PLTA perlu didepresiasi (yang harus dibayar seharga nilai buku), 20 tahun pemakaian lagi. Karena perjanjian masa pakainya memang 50 tahun,” tandasnya.


Hal-hal inilah, menurut salah seorang dari empat orang Indonesia yang bertugas menyusun perjanjian Inalum tersebut, perlu menjadi perhatian pemerintah Indonesia. Sehingga nantinya tidak sampai dirugikan. Apalagi jika sampai membeli saham milik Jepang yang nilainya mencapai lebih dari 60 persen di PT.Inalum.


Menurutnya, penyebutan nilai buku properti yang harus dibayar pemerintah Indonesia ini, sebagaimana dimaksud dalam perjanjian, berbeda dengan harga perusahaan. Artinya kalau harga perusahaan, pemerintah memang harus membayar 60 persen saham Jepang di Inalum.


“Dan itu tidak ada disebutkan dalam perjanjian. Yang ada bahwa yang perlu dibayar hanya nilai property yang belum didepresiasi. Jadi bukan Inalum-nya, tapi pabrik peleburan aluminium dan PLTA. Dan yang tinggal didepresiasi itu kini hanya PLTA-nya,” ungkap Bisuk, sambil menekankan agar pemerintah tidak menyamakan antara Inalum dengan Newmont.


Karena Inalum memang berdasarkan perjanjian yang disusun, telah habis masa kontraknya. Sementara Newmont, perusahaan tersebut memang menawarkan agar pemerintah menanamkan sahamnya di sana. Di mana harga saham tersebut harus dibeli.


Diketahui kelima orang Indonesia yang menyusun langsung perjanjian tersebut, yaitu Chris Sitomorang (yang dulunya menjabat sebagai Kepala Biro Departemen Pertambangan). Seorang lagi dari Departemen Pertambangan, Sutoyo. Kemudian terdapat nama Direktur Bea dan Cukai, Drs.Sutanto, Wakil Ketua BKPM, Ir.Suhut, dan tentu saja Bisuk Siahaan.


Dari nama-nama ini, kemungkinan yang dapat dimintai pendapatnya saat ini, mungkin hanya tinggal Bisuk Siahaan. Sebab sejumlah nama lain diketahui telah meninggal dunia. Sementara beberapa lainnya telah berusia di atas 90 tahun. Bisuk sendiri mengaku siap ditanya. Karena pabrik peleburan aluminium maupun PLTA Sigura-Gura, telah menyatu menjadi bagian dalam hidupnya selama ini. Sehingga ia tidak ingin pemerintah salah dalam mengambil kebijakan nantinya.


“Selama dari proses awal, saya bahkan membiayai sendiri semua pengeluaran yang ada. Karena saya tahu dan meyakini, ketika itu berdiri, maka ia akan benar-benar sangat membantu bagi pembangunan di kampung halaman kita,” ungkapnya. (gir)

sumber

Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini