Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Berita Media DJKN
Piutang BUMN Capai Rp 21,57 Triliun

 Jum'at, 09 November 2012 pukul 13:22:28   |   300 kali

TEMPO.CO, Jakarta -- Piutang macet badan perusahaan usaha milik negara yang diserahkan pengurusannya kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) mencapai Rp 21,57 triliun. Penyelesaian piutang itu sudah menjadi kewenangan PUPN.

"Upaya penagihan utang dilakukan oleh BUMN. Bila macet dan tetap tidak tertagih, pengurusannya diserahkan ke PUPN," kata Andi Pardede, Kepala Sub-Direktorat Piutang Negara Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan, seusai rapat umum anggota Forum Hukum BUMN di Yogyakarta, Kamis, 8 November 2012.

Andi mengungkapkan, piutang tertinggi adalah milik Bank Mandiri sebesar Rp 11,08 triliun. Selanjutnya, Bank Rakyat Indonesia sebesar 5,21 triliun, Bank Negara Indonesia Rp 2,48 triliun, dan Bank Tabungan Negera Rp 0,31 triliun. Selain itu, bank pembangunan daerah sebesar Rp 0,65 triliun dan bank lainnya Rp 0,66 triliun.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004, piutang BUMN perbankan tidak dapat diserahkan kepengurusannya ke PUPN. Namun diselesaikan secara korporasi. “Ketentuan ini diperkuat lagi dengan keluarnya keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-IX/2011, yang membolehkan bank BUMN mengatur piutangnya sendiri. Jadi piutang bank BUMN bukan lagi piutang negara,” ujar Andi.

Sekretaris Kementerian BUMN Wahyu Hidayat mengatakan, BUMN memiliki fondasi hukum yang sangat kuat. Bahkan tercantum pada konstitusi. Namun realitanya BUMN sulit sekali berkompetisi dengan swasta karena banyak aturan yang membelenggu.

"Semua yang hadir dalam acara ini adalah merupakan insan hukum BUMN, dan pastinya lebih mengetahui bagaimana rumitnya peraturan-peraturan yang membelenggu BUMN. Mulai keuangan BUMN dianggap sebagai keuangan negara, kekayaan BUMN dianggap sebagai kekayaan negara, sampai sinergi dianggap monopoli," katanya.

Wahyu menambahkan, BUMN dianggap sebagai instansi pemerintah. Direksi, dewan komisaris dan dewan pengawas, serta karyawan disamakan dengan penyelenggara negara. Dan yang paling memprihatinkan adalah kerugian BUMN dianggap sebagai kerugian negara.

Hal ini, menurut Wahyu, membuat para direksi merasa gamang dalam mengelola BUMN, sehingga akhirnya kemajuan dan perkembangan BUMN tidak seperti yang diharapkan. "Namun keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi bisa mengatasi keruwetan peraturan perundang-undangan yang membelenggu BUMN," katanya.

sumber

Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini