JAKARTA - Penambahan jalan tol baru diproyeksikan mencapai
1.851 kilometer (km) hingga 2019 atau melampaui target pembangunan jalan tol
baru sepanjang 1.000 km yang ditetapkan dalam Rencana Strategis (Renstra)
2015-2019. Hal itu bisa terjadi karena adanya percepatan proses pembebasan
lahan melalui dana talangan oleh badan usaha jalan tol (BUJT).
Berdasarkan data Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT), hingga
awal 2017 telah dioperasikan 984 km jalan tol di seluruh Tanah Air. Dengan
adanya tambahan sepanjang 1.851 km, maka jalan tol di Indonesia akan mencapai
2.835 km pada 2019.
Sementara itu, jalan tol yang dalam proses konstruksi hingga
2019 mencapai 1.568 km. Sedangkan yang masuk perencanaan pembangunan dalam
rentang 2015-2025 sepanjang 3.583 km. Dengan demikian, total panjang jalan tol
hingga 2025 diprediksi mencapai 6.135 km.
Sesuai Renstra 2015-2019, target jalan tol yang dioperasikan
sepanjang 1.060 km. Adapun realisasi penambahan jalan tol pada 2015 sepanjang
132 km, lalu pada 2016 bertambah 44 km menjadi 176 km. Pada 2017 diproyeksikan
ada tambahan 391,9 km, sehingga total tambahan panjang jalan tol yang
dioperasikan menjadi 567,9 km. Selanjutnya, pada 2018 diproyeksikan bertambah
615 km menjadi 1.182,9 km, dan pada 2019 ada tambahan 669 km menjadi 1.851,9
km.
"Kami yakini bisa lebih dari 1.000 km. Sekarang saja
ada 392 km yang akan beroperasi. Tahun depan sekitar 500-an km beroperasi. Tapi
yang dipegang adalah target 1.000 km itu. Tapi kami pastikan itu bisa lebih
pada 2019," ujar Kepala Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Herry Trisaputra
Zuna kepada Investor Daily, di Jakarta, akhir pekan lalu.
Herry menjelaskan, proyeksi panjang jalan tol yang
beroperasi pada 2019 tersebut bukan merupakan janji pemerintah. Meski demikian,
pemerintah berupaya agar jalan tol yang telah direncanakan dapat segera
terealisasikan agar dapat meningkatkan konektivitas dan daya saing serta
menurunkan biaya logistik. Pada akhirnya, jalan tol dapat mendukung pertumbuhan
ekonomi nasional.
Dia juga menegaskan, pembangunan jalan tol di Tanah Air kerap terkendala oleh proses pembebasan lahan. Meski sudah ada Undang-Undang No 2/2012 tentang Pengadaan Lahan bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang menjamin pembebasan lahan tuntas maksimal dua tahun, pada awal 2016 sempat terkendala keterbatasan anggaran pembebasan lahan dari pemerintah pusat yang hanya menyediakan Rp 1,4 triliun.
"Kami baru bisa bangun kalau sudah ada tanahnya.
Tanahnya ada kalau ada dananya. Sekarang sudah dalam posisi badan usaha mau
menalangi (pendanaan pembebasan lahan). Perangkatnya sudah ada. Ini tinggal
sedikit lagi," papar Herry.
Hingga akhir 2016 dana talangan yang terkumpul mencapai Rp
32,59 triliun. Adapun dana yang disiapkan pemerintah untuk pengembalian dana
talangan yang berada di Lembaga Manajemen aset negara (lman) mencapai Rp 16
triliun. Dana ini siap dicairkan pada April 2017 setelan Kementerian PU PR,
kementerian keuangan, BPJT, lman, dan semua badan usaha jalan tol
menandatangani kesepakatan pengembalian dana talangan pada Rabu (22/3)
mendatang.
Sementara itu, dana lman yang dialokasikan untuk
pengembalian dana talangan pada tahun ini sebesar Rp 13 triliun. Sedangkan
kebutuhan dana pengembalian mencapai Rp 28 triliun. "Kami sudah usulkan
dana talangan yang mesti diganti sebesar Rp 28 triliun tahun ini. Suratnya
sudah dikirim sejak 10 Februari 2017, tapi belum ada respons dari Kementerian
Keuangan," jelas Herry.
Dihubungi terpisah, Direktur Jenderal Bina Marga Kementerian
PUPR Arie Setiadi Moerwanto menambahkan, progres proyek pembangunan jalan tol
1.000 km hingga saat ini masih sesuai jadwal yang direncanakan. Apalagi saat
ini telah dioperasikan jalan tol sepanjang 980 km dan tahun ini direncanakan
392 km.
Pemerintah, sambung dia, juga terus mempercepat penyelesaian
proyek ini hingga 2019. "Hingga tahun depan kira-kira bisa 1.200 km yang
bisa dioperasikan. Ini masih sesuai jadwal. Tapi tetap tergantung dari tanah
dan dana lman untuk pembebasan tanahnya," ujar dia kepada Investor Daily
di Jakarta, akhir pekan lalu.
Lebih lanjut Herry mengakui, panjang jalan tol di mdonesia
masih kalah dibandingkan dengan panjang jalan tol di Tiongkok yang mencapai
85.000 km dan Malaysia sekitar 3.000 km. Indonesia baru mengoperasikan 984 km.
"Beberapa tahun kita tertinggal, tapi sudah kian
mendekati. Apalagi, jika program ini terus dilakukan dalam lima tahun ke depan,
seperti tol Trans-Sumatera dilanjutkan, tentu ini bisa melebihi," papar
dia.
Menurut Herry, perbandingan jalan tol dengan negara lain
lebih baik ndak dilihat dari seberapa panjang jalan tol yang dapat dibangun
ataupun dioperasikan, tetapi lebih kepada fungsi jalan bebas hambatan itu
terhadap pertumbuhan ekonomi, konektivitas, peningkatan daya saing, maupun
penurunan biaya logistik.
Trans-Papua
Pada bagian lain, pemerintah juga akan mempercepat pemerataan pembangunan infrastruktur di Papua dan Papua Barat. Menurut Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, pembangunan jalan di Provinsi Papua dan Papua Barat tidak semata menghubungkan antarkota/kabupaten untuk membuka keterisolasian, namun harus dapat menurunkan harga yang masih dinilai terlalu mahal.
Pembangunan jalan Trans Papua dan perbatasan yang
menghubungkan pusat-pusat kegiatan ekonomi saat ini sudah memperlihatkan
progres signifikan. Dari 4.300 km jalan Trans Papua, saat ini sudah terhubung
sepanjang 3.850 km dan ditargetkan tahun 2018 sudah tersambung semua ruasnya.
Sedangkan untuk jalan perbatasan, dari 1.068 km jalan perbatasan, 884 km di antaranya
juga sudah terhubung dan ditargetkan pada tahun depan keseluruhannya dapat
terhubung.
Total dana apbn yang dikucurkan Kementerian PUPR untuk
membangun infrastruktur di Papua dan Papua Barat tahun 2017 mencapai Rp 7,61
triliun, belum termasuk dana alokasi khusus (DAK) yang mencapai Rp 2,18
triliun.
Meskipun dana yang dialokasikan cukup besar, itu belum mencukupi untuk seluruh program yang dibutuhkan. Selain itu, dengan tantangan alam yang ekstrem, pembangunan infrastruktur Papua dan Papua Barat akan terus didorong guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Siap Bangun Jalur Rel 1.027 Km
Di sisi lain, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) siap
membangun jalur kereta api (KA) sepanjang 1.027 kilometer (km) senilai Rp 51,35
triliun mulai tahun ini hingga 2019. Direktur Jenderal Perkeretaapian Kemenhub
Prasetyo Boeditjahjono mengatakan, sebenarnya target pembangunan jalur KA
mencapai 3.258 Km pada periode 2015-2019, namun target itu dipangkas karena
terkendala berbagai persoalan, khususnya pembebasan lahan dan anggaran.
Jika menengok sejarah, panjang rel kereta di Indonesia saat
ini masih belum bisa menyamai panjang rel pada zaman Belanda. Sampai tahun
1939, panjang rel kereta di Indonesia mencapai 6.811 kilometer. Namun ketika
dilakukan pengukuran kembali tahun 1950, panjangnya telah berkurang menjadi
5.910 kilometer yang disebabkan karena Jepang membongkarnya untuk keperluan
pembangunan rel kereta api di Burma. Pembongkaran jni terjadi di masa
pendudukan Jepang yang berlangsung antara tahun 1942 hingga 1943.
Prasetyo menuturkan, realisasi pembangunan jalur rel pada
2015 hanya 85 km dan 2016 sepanjang 114,59 km sehingga masih ada sisa target
pembangunan sekitar 3.058 km hingga 2019, jika mengacu pada target awal. Dengan
progres tersebut, panjang rel RI masih tertinggal dibanding negara lain. Data
Kemenhub 2010 menyatakan, rel di Tanah Air tercatat sepanjang 6.714 Km dan
hanya 4.678 Km yang beroperasi. Panjang rel tersebut jauh di bawah Tiongkok
sepanjang 91.000 Km dan India sekitar 65.000 Km.
Pemerintah akan meningkatkan dan merehabilitasi jalur KA
sepanjang 1.225,8 Km hingga 2019. Realisasinya mencapai 342 Km pada 2015 dan
28,4 Km pada 2016. Dengan demikian tersisa 855,4 Km jalur rel yang harus
ditingkatkan dan direhabilitasi hingga 2019. Adapun pada 2017, kereta api
ditargetkan mengangkut 292,3 juta penumpang KRL Jabodetabek atau meningkat
2,4%, penumpang KA non -KRL sebanyak 73,3 juta orang (1,5%), dan 24,7 juta ton
barang atau naik 5,5%. Terkait kendala anggaran untuk pembangunan jalur KA,
Prasetyo menjelaskan, tahun lalu anggaran Direktorat Jenderal Perkeretaapian
dipotong dari semula Rp 13 triliun menjadi Rp 9 triliun. Sedangkan tahun ini,
dari usulan anggaran Rp 18 trilliun, akhirnya yang disetujui sebesar Rp 16
triliun.
Data Kemenhub sebelumnya menyebutkan butuh dana sekitar Rp
105,6 triliun untuk membangun dan mengembangkan jalur rel kereta api (KA) di
Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan Papua sekitar 3.258 kilometer (km) hingga
2019. Rinciannya, pembangunan rel KA di Sumatera membutuhkan biaya Rp 41,12
triliun, Kalimantan Rp 22,9 triliun, Sulawesi Rp 31,25 triliun, dan Papua Rp
10,33 triliun.
Untuk menyiasati keterbatasan anggaran, pemerintah mengajak sejumlah pihak untuk berinvestasi. Salah satu yang tertarik adalah Rusia untuk membangun jalur KA di Kalimantan Timur (Kaltim). Akan tetapi, untuk menggandeng swasta, pemerintah masih perlu memberikan dukungan ataupun jaminan pemerintah yang tentu tetap membebani keuangan negara.
Sedangkan terkait permasalahan lahan, Kemenhub berharap
pemerintah daerah bisa memberikan dukungan. "Memang dulu ada daerah yang
menyatakan siap untuk pengadaan lahan, tapi pada saat akan dibangun akhirnya
menyatakan tidak siap," terang Prasetyo.
Sementara itu, Kemenhub mengalokasikan anggaran terbesar
pada 2017 untuk peningkatan kapasitas perhubungan, yaitu senilai Rp 18,64
triliun. Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi menjelaskan, salah satu
peningkatan kapasitas adalah membangun infrastruktur transportasi baru, yakni
jalur kereta 175 Km, tiga terminal tipe A dan 2 terminal internasional untuk
sektor darat, serta 12 bandara baru.
Menhub menjelaskan, ada lanjutan pembangunan Trans Sumatera
seperti Langsa-Besitang, Binjai-Besitang.Ran-tau Prapat-Duri-Dumai, serta Muaro
Kalaban-Muaro. Kemenhub juga siap melanjutkan pembangunan Trans Sulawesi, yaitu
Makassar-Parepare dan Manado-Bitung.
Selain itu, lanjut Budi, pihaknya siap meneruskan pengerjaan
prasarana Light Rail Transit (LRT) Jabodebek dan Sumatera Selatan, pembangunan
trem Surabaya tahap I, dan jalur ganda lintas Selatan Jawa.
Menhub menuturkan pemerintah berkomitmen untuk terus
melanjutkan proyek pembangunan Kereta Api Trans Sulawesi rute Makassar-Parepare,
lewat APBN dan APBD.
Sementara itu, pengamat perkeretaapian Djoko Setijowarno
mengingatkan pembangunan jalur kereta mendesak direalisasikan guna mendukung
pengembangan wilayah hingga tujuan politis, seperti pembangunan KA di Papua.
"Saya kira orang Papua juga ingin merasakan naik kereta, seperti yang
sudah dirasakan masyarakat di Jawa," ujar dia, Sabtu (11/3).
Lebih jauh, terkait kemungkinan menggaet swasta untuk
membangun jalur KA, kata Djoko, hal itu tidak mudah. Pasalnya, tidak seperti
pembangunan jalan tol, pemerintah harus siap menyediakan jaminan subsidi,
termasuk untuk operasional KA, jika menginginkan swasta ikut membangun jalur
rel. (esa/tm)
Eko
Adityo Nugroho