Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Berita Media DJKN
Tahun Depan Diyakini Membaik
Bisnis Indonesia, 06 Desember 2016
 Kamis, 08 Desember 2016 pukul 20:24:40   |   256 kali

JAKARTA - Hingga akhir tahun ini bank-bank masih fokus memperbaiki kualitas kredit. Namun, tahun depan rasio kredit bermasalah [non performing loan/NPL) perbankan bakal membaik. 

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman D. Hadad mengatakan, fundamental perbankan Indonesia cukup baik terutama dalam hal kemampuan mengelola risiko. Itu terlihat dari rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) yang tinggi. 

"Tahun depan saya optimistis NPL akan membaik, kkrena sebetulnya NPL yang ada sekarang adalah sisa tahun 2015, terutama ketika sektor tambang terpukul cukup berat," katanya, belum lama ini. Oleh karena itu menurutnya wajar jika sepanjang 2016 bank-bank amat berhati-hati dalam menyalurkan kredit. Kehati-hatian tersebut berakibat rendahnya pertumbuhan kredit dan naiknya nilai pencadangan bank. 

Pada akhir tahun ini Muliaman memprediksi posisi rata-rata NPL perbankan nasional masih ada di kisaran 3%. 

Direktur Utama PT Bank OCBC NISP Tbk. Parwati Surjaudaja mengutarakan, meski NPL perseroan sudah cukup rendah dibandingkan rata-rata industri, tetapi akhir tahun ini ada potensi kenaikan. Penyebabnya adalah pertumbuhan kredit masih lambat. 

Selain itu, risiko kredit segmen menengah juga belum membaik. NPL OCBC NISP per November 2016 sebesar 1,3% gross dan 0,6% nett. "Harusnya akhir tahun enggak beda jauh, malah mungkin ada kenaikan karena toan-nya belum tumbuh lebih cepat. Selain itu kami lihat segmen menengah credit risk- nya belum baik," ujarnya. 

Irianto Oeij, Direktur Utama PT Bank Mayora, menuturkan, tahun ini pihaknya memang mengutamakan pembenahan kredit ketimbang berekspansi. Menurutnya, dengan situasi ekonomi seperti saat ini bank tak perlu memaksakan diri mengejar target volume kredit. 

Untuk menjaga supaya NPL tak terus naik, Bank Mayora akan melakukan restrukturisasi kredit sejumlah debitur. Disamping itu, penyaluran kredit akan lebih diperketat. Penyaluran kredit ke sektor-sektor yang menjadi penyumbang NPL akan dikurangi. Perbaikan sistem collection juga akan dilakukan termasuk menjaga portofolio kualitas aset. Anak usaha grup Mayora ini berupaya menjaga rasio NPL di bawah angka 2% pada akhir tahun. Per kuartal 111/2016, NPL Bank Mayora sebesar 1,74%. 

Sebelumnya, Direktur Bisnis Korporasi PT Bank Negara Indonesia Tbk. Herry Sidharta mengatakan, meskipun arah pertumbuhan kredit masih pada Jalur yang tepat, tetapi pihaknya akan fokus untuk memperbaiki kualitas kredit sebelum akhir tahun. Target akhir tahun insya Allah tidak melampaui 3%," katanya. Dia menambahkan, upaya untuk memperbaiki kualitas kredit adalah dengan melakukan remedial ataupun recovery kredit. 

Anton Hendfanata, Chief Economist PT Bank Danamon Indonesia Tbk. menjelaskan, NPL masih akan jadi fokus bisnis perbankan tahun depan. Namun, dia memperkirakan kondisi NPL pada semester I mulai membaik. Beberapa hal yang menjadi katalis adalah kebijakan pembangunan infrastruktur pemerintah, amnesti pajak dan perbaikan harga komoditas. 

Restrukturisasi Kredit

PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. memproyeksikan persentase kredit yang direstrukturisasi terhadap total pinjaman yang disalurkan akan turun pada tahun depan. 

Direktur Keuangan BNI Rico Rizal Budidarmo mengatakan perseroan telah memulai program konsolidasi pada pertengahan 2015. Saat ini, porsi kredit yang direstrukturisasi berada di kisaran 6%-7% dari total kredit. Tahun depan sudah enggak banyak lagi, persentase pasti turun. Mungkin sekitar 5% dari total kredit," ujarnya. 

Kredit yang direstrukturisasi perseroan sempat menyentuh level yang cukup tinggi pada pertengahan tahun ini, yakni sebesar 8% dibandingkan dengan total kredit. Pada kuartal 111/2016, turun menjadi 7% dibandingkan total kredit yang senilai Rp372,02 triliun. 

Dengan semakin menurunnya kredit yang direstrukturisasi, biaya kredit atau credit cost perseroan juga bakal membaik. Pada September 2016, cost credit emiten dengan kode saham BBNI ini telah menurun ke level 2,4% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 2,8% dan 2,7% pada Juni 2016. 

Rico menyatakan proses restrukturisasi ini membaik karena nasabah mulai membayar kembali pinjaman mereka. Dia juga menyebutkan sebanyak 75 % dari kredit yang diperpanjang berada di kolektibilitas 1, sehingga sebenarnya kualitas pembiayaan perseroan masih baik. 

Sebagai informasi, pada tahun lalu, Otoritas Jasa Keuangan melakukan relaksasi bagi perbankan untuk bisa melaksanakan restrukturisasi kredit kendati masih dalam kualitas lancar dengan melihat prospek usaha ke depan, sebelum terjadinya penurunan kualitas kredit. 

Adapun, segmen korporasi menjadi segmen yang paling banyak dilakukan restrukturisasi oleh bank dengan logo angka 46 ini dengan sektor manufaktur, perdagangan, dan pertambangan. Hingga akhir tahun nanti, BNI berharap rasio kredit bermasalah (non performing toan/NPL) mereka bisa ditekan di angka 3%. 

Terkait dengan pencadangan pada tahun depan, Rico menjelaskan akan tergantung pada pertumbuhan kredit perseroan. Menurutnya, apabila permintaan kredit naik, maka pencadangan juga akan ditingkatkan. 

"Untuk coverage ratio, tahun depan akan di kisaran 145%," katanya. 

Pada akhir September 2016, tingkat coverage ratio perseroan naik dari 139,6% menjadi 143,2%. Adapun, penyaluran kredit BNj ke sektor business banking masih menjadi yang terbesar dengan komposisi 73,0% dari total kredit atau senilai Rp 271,68 triliun. Aliran kredit ke sektor ini tumbuh 23,5% dibandingkan periode yang sama 2015. 

Pada sektor business banking. 

Kredit perseroan disalurkan ke segmen korporasi sebesar 24,3%, BUMN sebesar 19,1%, lalu ke segmen menengah sebesar 16,3%, dan segmen kecil sebesar 13,3%. 

Untuk meningkatkan penyaluran kredit ke segmen korporasi, perseroan memilih fokus pada pembiayaan proyek infrastruktur dan BUMN. Perseroan juga fokus pada pembiayaan sektor berisiko rendah seperti konstruksi, pertanian, serta sektor listrik, gas, dan air. BBNI tidak melakukan ekspansi ke sektor yang berisiko cukup tinggi karena faktor eksternal, seperti sektor minyak dan pertambangan. 

(Annisa Sulistyo Rini) / Abdul Rahman

Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini