Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Berita Media DJKN
Menata Kelembagaan Hulu Migas Nasional
Investor Daily, 06 Desember 2016
 Kamis, 08 Desember 2016 pukul 20:20:33   |   260 kali

Proses revisi UU Migas No. 22/2001 yang diamanatkan oleh Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket BBM sejak 2008 - sekitar 8 tahun lalu-, sampai dengan akhir tahun 2016 ini belum terdapat tanda-tanda segera diselesaikan. Berdasarkan pencermatan, salah satu faktor penyebab proses ini berjalan sangat lambat adalah tidak kunjung ada kesepakatan bentuk kelembagaan hulu migas dalam UU Migas yang baru. 

Terkait proses revisi, Pansus BBM mengamanatkan inisiatif revisi UU Migas dilakukan oleh DPR. Karena itu, pintu masuk dan kunci dari proses revisi UU Migas sebagian besar akan berada pada legislatif. Tahapan dan lamanya waktu proses revisi akan ditentukan oleh seberapa cepat fraksi-fraksi di DPR mengambil keputusan dan menyepakati poin-poin yang akan dituangkan dalam proses revisi. 

Berdasarkan pantauan, DPR telah menghasilkan naskah akademik dan draf revisi UU Migas yang beberapa kali disempurnakan. Masing-masing fraksi juga telah memberikan masukan dan pandangan mereka terhadap poin-poin yang perlu dituangkan dalam revisi UU Migas. Berdasarkan review terhadap naskah akademik, draf revisi, dan poin-poin masukan dari masing-masing fraksi tersebut, permasalahan utama dalam proses revisi tetap sama, yaitu pada penentuan aspek kelembagaan hulu migas. 

Masalah Kelembagaan 

Masalah kelembagaan menjadi penyebab revisi UU Migas berjalan lambat di antaranya karena penentuan bentuk dan kedudukan Pertamina dan BP Migas (SKK Migas) dalam UU Migas baru. Terkait ini, sejumlah konsep telah dibahas yang di antaranya konsep dua kaki, konsep tiga kaki, serta sejumlah konsep lain yang diusulkan untuk diterapkan dalam kelembagaan hulu migas. 

Diskusi lain terkait ini adalah mengenai opsi bentuk dan kedudukan SKK Migas dalam revisi UU Migas yang baru. Berbagai opsi muncul dalam sejumlah draf revisi yang di antaranya tetap mempertahankan bentuk SKK Migas seperti saat ini dengan sejumlah modifikasi, menjadi BUMN Khusus, atau kembali menjadi bagian (dilebur) ke Pertamina. 

Terkait masalah kelembagaan hulu migas ini, para stakeholder harus kembali pada tujuan mendasar pengelolaan hulu migas yang diamanatkan Konstitusi UUD 1945. Bahwa pengelolaan sumber daya alam -termasuk migas-- harus memenuhi dua aspek utama, yaitu dikuasai oleh negara dan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 

Keputusan MK yang membubarkan BP Migas melalui Putusan No. 36/PUUX/2012, salah satunya karena keberadaan BP Migas dinilai tidak dapat mengakomodasi atau bahkan menghambat tercapainya dua tujuan utama pengelolaan hulu migas tersebut. Pertama, penguasaan negara tidak dapat dilakukan secara penuh karena pemerintah (melalui Menteri) juga memberikan kuasa pertambangan kepada pihak lain -Pasal 12 ayat (3) UU No. 22/2001-, selain kepada tangan negara (BUMN). Kedua, tujuan untuk mencapai sebesar-besarnya (keuntungan maksimal) dalam pen-gusahaan hulu migas sulit dicapai dengan model kelembagaan hulu migas yang diatur dalam UU No. 22/2001. 
 

Penyederhanaan Kelambagaan

Terbitnya UU No. 22/2001 -menggantikan UU No. 44/Prp/1960 dan UU No. 8/1971-, tidak hanya mengubah pola bisnis hulu migas yang semula BtoB menjadi G to B, tetapi menjadi jauh lebih kompleks yaitu G to G to B. Dalam hal ini Menteri ESDM (G) memberikan kuasa usaha pertambangan pada KKKS, Ditjen Migas (G) yang menyiapkan dan melakukan proses lelang WK Migas, sedangkan BP Migas (G) yang ditugaskan menandatangani kontrak dengan KKKS (B). 

Model kelembagaan hulu migas yang kompleks -melibatkan banyak stakeholder- menyebabkan tujuan pencapaian sebesar-besarnya pen-gusahaan hulu migas sulit dicapai. Rantai birokrasi dalam pengambilan keputusan dan penyelesaian permasalahan dalam pengelolaan dan pengusahaan hulu migas menjadi lebih panjang karena melibatkan banyak pihak. Akibatnya, dalam banyak kasus KKKS kehilangan momentum, baik dalam menentukan keputusan investasi maupun untuk hal lain karena pemangku kepentingan di sektor ini terlambat dalam memberikan keputusan/ persetujuan. 

Mencermati kondisi yang ada tersebut, penyederhanaan kelembagaan hulu migas menjadi suatu keharusan jika para stakeholder mengharapkan adanya perbaikan di sektor hulu migas. Secara alami, KKKS hulu migas sebagai sebuah institusi bisnis akan lebih cocok dan dapat melakukan akselerasi kinerja lebih cepat jika segala sesuatunya dapat disederhanakan. Penyederhanaan ini juga akan meningkatkan iklim investasi hulu migas nasional yang dalam beberapa tahun terakhir permasalahannya tetap sama, kompleksitas perizinan. 

Salah satu instrumen penyederhanaan kelembagaan hulu migas yang telah teruji adalah bentuk kelembagaan yang diatur dalam UU No. 44/ Prp/1960 dan UU No. 8/1971, yaitu memberikan kuasa pertambangan kepada BUMN (Pertamina). Dalam hal ini BUMN ditugaskan untuk menyelenggarakan kegiatan usaha hulu migas yang juga diberikan kebebasan untuk dapat bekerja sama dengan KKKS yang lain, termasuk KKKS dari luar negeri. Data menunjukkan tingkat cadangan dan kemampuan produksi migas Indonesia tertinggi terjadi pada model kelembagaan model ini. Dalam banyak hal model kelembagaan ini menguntungkan bagi para pihak, tidak hanya negara, BUMN, tetapi juga KKKS non BUMN. 

Terhadap aspek perpajakan, misalnya, KKKS Non Pertamina pada saat itu tidak menjadi subjek pajak langsung atas jenis pajak tidak langsung seperti PBB, PPN, dan pajak dan retribusi daerah. Pajak-pajak tersebut ditanggung atau dibebaskan oleh Pertamina (BUMN). Sementara setelah berlakunya UU No. 22/2001 yang dilengkapi PP No. 79/2010, pajak-pajak tersebut menjadi tanggungan KKKS secara langsung. Untuk perizinan, izin-izin yang diperlukan dalam kegiatan hulu migas saat itu sebagian besar dilakukan oleh Pertamina. Sedangkan sejak berlakunya UU No. 22/2001 hal tersebut harus dilakukan sendiri oleh KKKS. 

Dengan melihat berbagai kelebihannya tersebut, mengembalikan model kelembagaan hulu migas pada model UU No. 44/Prp/1960 dan UU No. 8/1971 merupakan pilihan yang paling optimal untuk kondisi saat ini. Untuk kepentingan yang lebih luas, sesungguhnya tidak ada kepentingan stakeholder yang akan dikorbankan jika hal ini dilakukan. Negara akan lebih diuntungkan karena pengelolaan dan pengawasan hulu migas berpotensi lebih efektif dan efisien. KKKS hulu migas berpotensi diuntungkan karena aspek perpajakan dan perizinan dapat menjadi lebih sederhana. Bagi SKK Migas, seharusnya juga tidak menjadi masalah jika harus menjadi bagian Pertamina, mengingat SKK Migas sebelumnya adalah Badan Pembinaan Pengusahaan Kontraktor Asing (BPPKA) yang merupakan bagian dari Pertamina saat itu. 

Komaidi Notonegoro - Direktur Eksekutif ReforMiner Institute 

 

 

 

Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini