SobatTekad, pernahkah mendengar istilah burnout ?
Dikutip dari sebuah harian nasional, burnout adalah suatu
kondisi kelelahan emosional, mental serta fisik karena stres yang berlebihan
dan berkepanjangan. Burnout merupakan kondisi stres berat karena
pekerjaan. Dalam istilah psikologi digambarkan sebagai sebuah kondisi keletihan
mental atau kelelahan dalam bekerja, kadang kala dibarengi dengan perasaan
kegagalan dan kelesuan akibat tuntutan yang terlalu membebani pikiran dan
tenaga bahkan kemampuan seseorang. Seperti istilah sekarang yang lazim
terdengar saat seseorang sudah overload.
Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Freudenbenger
pada tahun 1974. Wah ternyata baru berkembang ditahun tahun generasi X ya, Freudenbenger
melakukan penelitian ini di bidang pendidikan, terutama pada guru, yang
mengalami penurunan kinerja yang disebabkan oleh keletihan mental, seperti
dilansir dalam wikipedia.Sementara, Stamm, B (2005) dalam ProQUOL
Manual menjelaskan keletihan mental dalam perspektif penelitian, yaitu diasosiasikan dengan
perasaan tanpa harapan dan kesulitan
untuk melakukan pekerjaan atau
kesulitan mengerjakan pekerjaan secara efektif.
Selanjutnya, Stamm menjelaskan bahwa biasanya perasaan negatif itu
muncul secara perlahan-lahan. Pekerja akan merasa bahwa usaha yang
dilakukan tidak membawa perubahan apa pun.
Sejujurnya, kondisi burnout dapat dialami oleh siapapun, namun demikian kondisi ini lebih banyak terjadi pada mereka yang sering memaksakan diri untuk bekerja,termasuk kita seorang ASN. Pola dan jam kerja yang sudah diatur se efektif mungkin bisa jadi masih menyisakan kondisi burnout datang menghampiri, nah jika perasaan demikian terlanjur terjadi, kira kira apa yang harus kita lakukan?
Sebelum
terlalu jauh menguraikan solusi, yang perlu kita tahu adalah penyebab
terjadinya kondisi burnout. Dari berbagai literatur dan pengalaman
beberapa teman, penyabab kondisi burn out dapat dipicu oleh beberapa keadaan sebagai
berikut :
1. Memaksakan diri untuk bekerja terlalu keras.
Ada saat dimana kita
bahkan tidak bisa menghentikan diri untuk terus bekerja, beberapa kondisi ini
dipicu berbagai alasan, baik alasan pribadi maupun alasan atas nama organisasi.
Yaps, bukan sok idealis, tapi senyatanya hal seperti ini pernah kita alami.
Sinyal dari dalam tubuh pun kadang tidak kita sikapi dengan segera, alih alih
beristirahat, yang terjadi malah sebaliknya, mencari booster untuk
menambah tenaga. Misalkan dengan konsumsi kafein berlebihan, konsumsi cemilan
tidak menyehatkan dan sterusnya. Jika kondisi ini berlangsung baik, untuk
jangka waktu yang temporer bisa saja kita terus merasa aman, pekerjaan selesai
setelahnya beristirahat. Tubuh yang meminta hak nya mungkin dapat setelahnya
kita penuhi, namun sebaliknya ketika kondisi ini tidak mampu diatasi dengan
baik, pada saat yang bersamaan kita akan mengalami demotivasi, pekerjaan tidak
juga kunjung selesai, beban akan terasa begitu berat, sulit berkonsentrasi dan
lebih parahnya seseorang merasa tidak mampu / tidak berkompeten menyelesaikan
pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Dan bayangkan ketika kondisi seperti
berlangsung terus menerus. Memaksakan diri untuk bekerja terlalu keras, hanya akan
mengalami kondisi kelelahan yang
berkepanjangan
2. Tidak mampu membuat skala prioritas dengan baik
Seluruh
pekerjaan dikerjakan pada saat yang bersamaan, tidak mampu membuat perencanaan
dengan baik, mengabaikan time line, dan tidak memperhatikan skala prioritas
dengan cermat. Bayangkan jika kondisi demikian terjadi setiap hari. Alih alih
mengaplikasikan konsep multi tasking, pekerjaan yang kita harapkan sempurna selesai
malah berantakan.
Membebani
otak dengan berbagai jenis pekerjaan bukanlah pilihan yang bijak. Tubuh
lelah,otakpun tidak mampu berfikir dengan maksimal.
3.
Tidak Menggunakan Waktu dengan
Baik
Banyak diantara kita,
terlebih saat dalam kondisi ternyaman, tidak menggunakan waktu dengan sebaik
baiknya. Maksud hati bersantai sejenak, terkadang kita kebablasan asyik dengan
hal tertentu. Akibatnya waktu berharga kita terbuang dengan sia sia.
Pada saat kita membutuhkan waktu yang lebih panjang untuk fokus dan konsentrasi
pada pekerjaan tertentu, yang terjadi sebaliknya seolah kita dikejar oleh
waktu. Pekerjaan tertunda, lelahpun mendera.
4.
Merasa “Bisa”
dengan Semua Hal
Percayalah
kita diciptakan untuk menguasai satu hal tertentu, tidak seluruh kondisi dan
situasi bahkan seluruh pekerjaan dapat kita atasi sendiri. Pemimpin yang baik
adalah pemimpin yang mampu mendelegasikan sebagian tugasnya kepada staf. Tidak
perlu merasa bisa dengan semua hal, berbagi tugas bukan merupakan aib.
5.
Tidak Mampu Mengelola
Stress
Situasi pandemi yang tidak menentu kerap membuat seseorang
rentan mengalami “burnout”. Jika tidak dicegah, ”burnout” dapat
mengganggu kualitas hidup hingga menurunkan produktivitas bekerja. “Kalau
kelelahan secara fisik saja dengan istirahat bisa selesai. Kalau kelelahan
emosional, dengan istirahat saja belum tentu selesai. Maka harus ada
intervensinya,” kata Dosen Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran Iceu
Amira DA, S.Sos., S.Kep., Ners., M.Kes. https://www.unpad.ac.id/2021/08/mengenal-kondisi-burnout-penyebab-dan-cara-mencegahnya/
1. Berhentilah memaksakan diri bekerja
terlalu keras, seimbangkan kebutuhan tubuh dan otak agar tetap mampu memberi
yang terbaik untuk organisasi. Akankah organisasi mati ketika kita
berhenti sejenak untuk melepas lelah? Tentu tidak bukan ? Sadari hak dan
kewajiban kita terhadap tubuh. Lakukan sesuatu yang mampu dan terjangkau oleh
kita.
2. Mulailah dari hal kecil, memberi
penghargaan atau self reward pada diri tentu merupakan upaya yang sangat
baik. Buatlah skala prioritas dengan seksama, baik terkait urusan pribadi
maupun organisasi. Upayakan keduanya berjalan seimbang dan selaras. Tidak perlu
mengharapkan orang lain untuk memahami kita dengan baik, selain kita sendiri
yang mampu memahami diri dengan baik. Kenali diri dan potensi diri, kembangkan
dengan maksimal tanpa membebani diri dan organisasi. Memulai kebiasaan baik
juga dimulai dari hal kecil. Maka lakukan perubahan kecil yang konsisten untuk
memberikan perubahan besar yang maksimal.
3. Demi Waktu, pergunakan
waktu dengan sebaik baiknya, tidak perlu merasa dikejar kejar waktu, tapi
sebaliknya pergunakan waktu dengan sebaik baiknya, bukankah semua yang kita
lakukan di dunia ini akan dimintai pertanggungjawaban oleh sang Pencipta.
Konsep ini menurut penulis, akan efektif jika disadari dengan baik, dan tentu
ini berproses tidak perlu tergesa gesa dengan hasilnya, namun nikmati
prosesnya. Kondisi burnout akan berkurang seiring dengan produktivitas
yang kita kerjakan.
4.
Membangun Kepercayaan Kepada
Sesama, dikutip dari bahan https://klc2.kemenkeu.go.id/
“ The best way to find out if you can trust somebody is to trust them “
_Earnest Hemingway. Tidak perlu membebani diri dengan pekerjaan diluar
kemampuan, tetapi berbagi tugaslah, komunikasikan dengan baik dengan rekan
kerja hal hal berat yang tidak mampu diselesaikan sendiri, membangun hubungan
yang positif dan menularkan kebiasaan baik yang mungkin sudah dimiliki selama
ini. Dengan menciptakan kondisi yang baik, maka kondisi burnout, diharapkan
dapat diselesaikan dengan baik juga.
5. Kelola Stress dengan Bijak, memberi
kesempatan kepada diri untuk rileks, kontemplasi diri, tersenyum dan berfikir
positif, olah raga, menekuni hobi, atau bahkan menciptakan sesuatu yang baru yang
membuat kita bahagia, tentu akan mendatangkan lebih banyak mendatangkan energi
positif. Akibatnya, pikiran lelah dan kondisi burnout tidak akan datang lagi
menghampiri kita. Ketika energi positif dalam diri kita lebih banyak, tentu
akhirnya produktifitas kinerja kita akan semakin lebih baik. Nah ucapkan selamat tinggal pada burn out, sehingga
kita semakin produktif, sepakat? Semoga bermanfaat.