Jika pembaca suka membaca tentang sejarah
kemaritiman, pembaca akan menemukan ada sebuah istilah ‘Jung’. Jung
dalam bahasa Jawa Kuno berarti perahu. Zaman dahulu, kapal-kapal dagang yang
dipakai oleh para pedagang dan penjelajah dari Nusantara dinamakan dengan Jung.
Pada kenyataannya, Jung bukanlah ‘perahu’ seperti arti namanya, melainkan
adalah kapal-kapal dagang dan perang raksasa yang telah menancapkan jangkarnnya
pada daratan Mesir, Afrika bagian Selatan, timur tengah, India, hingga China,
sejak ratusan bahkan ribuan tahun sebelum masehi. Bahkan, para penjelajah dari
Eropa (Portugis), yang baru saja menjelajahi samudera pada abad ke 15 masehi,
kaget ketika mereka mendarat di Afrika bagian selatan (Tanjung Harapan).
Orang-orang yang berada dan menetap di wilayah itu adalah orang-orang yang
berasal dari Nusantara, khususnya Pulau Jawa, dan mereka telah menetap di
wilayah itu sejak ratusan tahun sebelum penjelajah Portugis datang ke wilayah
Afrika. Jiwa kemaritiman di Nusantara telah dimulai bahkan jauh sebelum era
lahirnya Kerajaan Hindu pertama di Nusantara pada tahun 300 an masehi (pembaca
mungkin masih ingat dengan materi sejarah tingkat SMP ini). Sebagai penguat,
Claudius Ptolomeus (w.170), seorang geografer paling terkenal asal Romawi Kuno
pernah menulis catatan yang ia lihat saat ia hidup, bahwa banyak kapal dagang
raksasa yang terbuat dari kayu yang kuat yang berasal dari wilayah Kolandiaphonta
(sebutan untuk Sumatera Jawa, karena 2 pulau tersebut dulunya masih 1 pulau
sebelum terpisah karena letusan gunung api pada tahun 416 masehi). Ditambah
lagi, ada sebuah catatan China Kuno yang ditulis oleh Wan Chen pada abad ke 3
masehi, yang berjudul ‘Hal-Hal Aneh dari Selatan’, yang berisi catatan
tentang kapal raksasa dari kayu yang kuat yang dapat membawa hingga 10.000
kargo, dan kapal itu berasal dari Kun Lun Po (Sumatera Jawa).
Sejalan dengan kemaritiman itu, Bangsa Nusantara
adalah (secara otomatis) bangsa pedagang dan inovator. Bagaimana tidak, Bangsa
Nusantara telah melakukan perdagangan ke China hingga Mesir sedemikian
sehingga, di zaman ketika belum ada sebuah bangsa yang berani membuat kapal dan
mengarungi samudera, Bangsa Nusantara telah menjadi bangsa yang sangat kaya dan
makmur karena perdagangan dan inovasi. Bahkan, ketika masa keemasan zaman
pengarungan samudera oleh Bangsa Nusantara (dari abad awal masehi hingga zaman
Majapahit), dikatakan bahwa seluruh jenis rempah-rempah dari Asia dapat
ditemukan di Nusantara, khususnya di Jawa. Terlebih lagi, ketika orang-orang
China dan India mulai memiliki kesadaran untuk pergi berlayar (kurang lebih
pada abad ke 14 masehi) karena merasa termotivasi oleh Bangsa Nusantara, mereka
menggunakan kapal-kapal yang dibuat oleh orang-orang Nusantara (baca:
menumpang) untuk bepergian dari China ke India dan dari India ke China. Hal
tersebut dikarenakan India dan China bahkan belum bisa membuat kapal yang
terakreditasi ANAS (baca: antar negeri, antar samudera). Bukan hanya berdagang,
ternyata Bangsa Nusantara juga adalah bangsa pertama yang membuka jasa travel
antar negeri. Mirip dengan itu, ketika penjelajah Portugis pertama kali sampai di
Nusantara, mereka merasa luar biasa kerdil ketika membandingkan kapal mereka
dengan kapal Jung. Kemudian, mereka dengan nekat mencoba menyerang Jung dengan
meriam-meriam terbaik asal Eropa. Jung, yang memiliki 4 lapis kayu yang terbuat
dari jati dalam desain kapalnya, bahkan 1 lapisnya saja (lapisan terluar) tidak
dapat ditembus oleh meriam-meriam tersebut. Akhirnya, pelaut-pelaut Portugis
belajar cara membuat kapal Jung, sekaligus membawa dan menyewa sekitar 60
arsitek kapal dari Jawa untuk membuat kapal Jung bagi Kerajaan Portugis.
Terakhir, dan ini adalah bukti bagaimana maju
dan terbukanya Bangsa Nusantara, yaitu toleransi. Toleransi yang penulis maksud
mencakup seluruh hal, yaitu agama, ras, hingga suku. Contoh pertama adalah
banyaknya gelombang migrasi dari daratan Tiongkok ke Nusantara. Penulis
menganalisa bahwa migrasi-migrasi tersebut adalah dikarenakan Nusantara adalah pusat
perdagangan dan peradaban dunia, dan juga adalah bangsa yang sangat toleran.
Contoh kedua adalah variasi agama. Kita semua tahu bahwa agama di Nusantara
sangat variatif jika kita telusur sejak ribuan tahun lalu hingga sekarang.
Berawal dari ajaran Kejawen, Sunda Wiwitan, Kaharingan, Aluk Todolo, dan
lain-lain yang merupakan agama asli Nusantara, hingga masuknya Hindu dan Budha
dari kebudayaan India, Islam dari pendatang-pendatang Arab, lalu Kristen dan
Katolik dari negara-negara Eropa. Semua agama tersebut diterima dengan sangat
baik dan dijalankan dengan fleksibel di Nusantara. Contoh ketiga adalah terbuka
dan menerima satu sama lain. Menurut data yang penulis temukan, bahwa tidak
pernah ada perang (sebelum masa penjajahan oleh Bangsa Eropa di Nusantara) yang
terjadi karena alasan agama atau ras di Nusantara. Apabila ada perang (seperti
paregreg, bubat, dan lain-lain), maka penyebabnya adalah murni politik atau
ekonomi. Secara sederhananya, bahkan kerajaan pertama yang diserang oleh Majapahit
saat ingin merealisasikan sumpah palapa (sumpah untuk menguasai seluruh
Nusantara) adalah Kerajaan Bali (yang notabene sama-sama kerajaan Hindu dan
memiliki ras yang sama dan jenis suku yang mirip), bukan Kerajaan Sunda-Galuh
(yang memiliki jenis suku yang notabene berbeda dengan Majapahit), Kesultanan
Samudra Pasai, atau Kesultanan Ternate (yang bercorak Islam dan memiliki suku dan
ras yang sangat berbeda dengan Majapahit). Pun mungkin pembaca sudah mengetahui
bahwa banyak tokoh dari kerajaan-kerajaan di Nusantara, seperti Raden Patah misalnya,
dan juga beberapa wali dari Walisongo yang adalah keturunan Tionghoa atau Arab.
Apabila pembaca merasa tertegun dengan
fakta-fakta sejarah di atas, maka sudah sepantasnya kita berkaca dan meneladani
apa yang nenek moyang Nusantara kita telah goreskan sebagai tinta emas
peradaban. Bahkan, penulis dengan sangat percaya diri mengatakan bahwa Bangsa Nusantara
adalah bangsa pertama yang melakukan penjelajahan samudera, juga bangsa pertama
yang melakukan aktivitas ekspor-impor, sekaligus bangsa yang paling toleran di
dunia sepanjang sejarah. Sehingga, dari jiwa kemaritimannya, kita dapat
meneladani jiwa keberanian dan kepercaya diri sebagai pioneer. Dari jiwa
dagang dan inovatornya, kita dapat meneladani jiwa kreatifitas. Dan dari jiwa
menerima semua orang, terlepas dari apa latar belakang mereka, kita dapat
meneladani jiwa toleransi dan menghargai sesama. Penulis percaya, bahwa bukan
tidak mungkin Bangsa Indonesia dapat meneladani atau bahkan mengulang
kegemilangan peradaban nenek moyang kita dahulu, semoga. (Penulis: Arfiah Nurul Fajarini)
Daftar Pustaka:
https://acehprov.go.id/berita/kategori/jelajah/kerajaan-samudera-pasai
https://en.wikipedia.org/wiki/Budha#:~:text=Budha appears as a deity,Pururavas, by his spouse Ila.
https://en.wikipedia.org/wiki/Ptolemy
https://historia.id/kuno/articles/majapahit-menaklukkan-bali-DbeEG/page/2
https://indonesia.go.id/kategori/komoditas/1500/jong-sang-gargantua-dari-laut-jawa?lang=1
https://jalurrempah.kemdikbud.go.id/artikel/rempah-nusantara-atribut-sejarah-dan-harapan-masa-depan
https://koran-jakarta.com/jung-jawa-kapal-raksasa-yang-punah
https://mojokerto.inews.id/read/182980/ini-alasan-demak-serang-majapahit/2
https://p2k.stekom.ac.id/ensiklopedia/Djong_(kapal)