Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Serang > Artikel
Apa Yang Acapkali Tidak Dibicarakan Ketika Hari Ibu
Dita Angelia Dwi Hastuti
Rabu, 22 Desember 2021   |   1076 kali

Bagian Pertama: Hari Ibu itu milik siapa?

 

Melalui Dekrit Presiden Sukarno pada 22 Desember 1959, 22 Desember ditetapkan menjadi Hari Ibu, untuk mengenang Kongres Perempuan Pertama pada tahun 1928 di Yogyakarta. Pada kongres tersebut para pemimpin organisasi perempuan dari seluruh Indonesia berkumpul untuk menyatukan pikiran dan semangat berjuang menuju kemerdekaan dan perbaikan nasib kaum perempuan  seperti perdagangan anak-anak dan kaum perempuan, perbaikan gizi dan Kesehatan bagi ibu dan balita, serta pernikahan usia dini bagi perempuan. 93 tahun kemudian, kita masih belum selesai dengan isu yang diperjuangkan.

       Dalam perjalanan waktu, hari ibu dipeyorasi kepada fungsi perempuan fungsi reproduksinya. Sebenarnya siapa Ibu itu? Apakah hanya terbatas perempuan yang melahirkan anak atau lebih lagi tidak terkait fungsi reproduksinya, tetapi juga lebih fungsi sosialnya. Jika menilik kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ibu memiliki makna majemuk, yaitu “ibu adalah perempuan yang telah melahirkan seseorang”; “ibu adalah sebutan untuk perempuan yang sudah bersuami”; “ibu adalah panggilan yang takzim kepada perempuan, baik yang sudah bersuami maupun yang belum”; “ibu adalah suatu bagian yang pokok (misalnya ibu jari, ibu kota)”.

        Melihat kembali sejarah dan makna kata ibu mempertegas bahwa Hari Ibu bukanlah Mother’s Day, melainkan memiliki tujuan untuk memperingati peristiwa bagaimana para ibu dari berbagai organisasi dan daerah yang menghadiri Kongres Perempuan Indonesia di Yogyakarta untuk menetapkan berbagai agenda kemerdekaan bangsa dan perbaikan kualitas hidup perempuan.

         Penting sekali untuk kita sebagai generasi setelahnya, mengetahui dan mengingat bahwa tanggal 22 Desember ini bukan untuk ibu tapi juga perempuan Indonesia. Bukan untuk mengecilkan peran ibu yang melahirkan kita, tapi juga memberikan ruang untuk pemaknaan kembali bahwa kata Ibu mempunyai makna yang luas. Memberikan ruang kepada orang yang memutuskan menjadi ibu, ataupun yang memutuskan tidak menjadi ibu, perempuan yang sedang berjuang untuk keadilan dirinya, maupun orang lain. Hari ini adalah hari kita Bersama sebagai perempuan, untuk saling merangkul satu sama lain, bersolidaritas dan berkolaborasi untuk sistem yang lebih baik.

        Dalam konteks ini, Kementerian Keuangan telah memberikan payung hukum perbaikan kualitas hidup perempuan pada isu pelecehan seksual.  Dengan diterbitkannya SE-36/MK.1/2020 tanggal 24 November 2020 tentang Pencegahan dan Dukungan Penananganan Pelecehan Seksual di Lingkungan Kerja Dalam Rangka Meningkatkan Keadilan dan Kesetaraan Gender Lingkup Kementerian Keuangan, korban pelecehan mampu mengakses keadilan. Akan tetapi dalam mengakses keadilan ini, korban perlu mempunyai keberanian yang sangat besar. Pada 25 juni s.d. 30 Juni 2020, Karima Dewi P dan Dita Angelia melakukan survey kepada pegawai Kementerian Keuangan dan mendapatkan dari 159 responden, 61 orang mengaku sebagai penyintas dan 65 orang sebagai saksi. 91 persen dari penyintas tidak melapor kekerasan seksual tersebut. Sementara Sebanyak 40.8 persen saksi mengaku diam, selebihnya 27,6 persen  saksi menjauhkan dari pelaku dan 21 persen menegur pelaku.

       Masih banyak saksi yang diam ketika melihat kekerasan seksual, karena acap kali kekerasan seksual berbaur dengan candaan, atau pelaku merupakan atasan/senior yang mempunyai kuasa. Banyak sekali hambatan korban untuk melaporkan, 75,4 persen korban memilih opsi tidak akan ditindaklanjuti, 40 persen memilih opsi tidak tahu melaporkan kemana, lainnya khawatir akan karier, takut dianggap kecentilan, atau takut dianggap berbohong.

        Tapi apakah dengan adanya SE-36/MK.1/2021 sudah cukup melindungi dan memberikan ruangan aman? Penulis akan membahasnya pada bagian kedua, saat ini penulis ingin mengambil ruh Hari Ibu, di mana para perempuan Indonesia bersatu untuk kaumnya hendaknya kita juga kembali merefleksikan diri apakah kita sudah memberikan kawan kita medium bersuara, mendengar suara-suara yang terbungkam? Mengedepankan kolaborasi satu sama lain bahu membahu menciptakan ruang yang aman, setara, adil. Saya berdoa dengan penuh dan teguh, semoga di suatu saat nanti tidak ada lagi korban yang memilih bungkam. (Dita Angelia, Seksi Kepatuhan Internal)

 

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini