Bagian Pertama: Hari Ibu itu milik siapa?
Melalui Dekrit Presiden Sukarno pada 22
Desember 1959, 22 Desember ditetapkan menjadi Hari Ibu, untuk mengenang Kongres
Perempuan Pertama pada tahun 1928 di Yogyakarta. Pada kongres tersebut para
pemimpin organisasi perempuan dari seluruh Indonesia berkumpul untuk menyatukan
pikiran dan semangat berjuang menuju kemerdekaan dan perbaikan nasib kaum
perempuan seperti perdagangan anak-anak dan kaum perempuan,
perbaikan gizi dan Kesehatan bagi ibu dan balita, serta pernikahan usia dini
bagi perempuan. 93 tahun kemudian, kita masih belum selesai dengan isu yang
diperjuangkan.
Dalam
perjalanan waktu, hari ibu dipeyorasi kepada fungsi perempuan fungsi
reproduksinya. Sebenarnya siapa Ibu itu? Apakah hanya terbatas perempuan yang
melahirkan anak atau lebih lagi tidak terkait fungsi reproduksinya, tetapi juga
lebih fungsi sosialnya. Jika menilik kepada Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kata ibu memiliki makna majemuk, yaitu “ibu adalah
perempuan yang telah melahirkan seseorang”; “ibu adalah sebutan untuk perempuan
yang sudah bersuami”; “ibu adalah panggilan yang takzim kepada perempuan, baik
yang sudah bersuami maupun yang belum”; “ibu adalah suatu bagian yang pokok
(misalnya ibu jari, ibu kota)”.
Melihat kembali sejarah dan makna kata ibu mempertegas bahwa Hari Ibu
bukanlah Mother’s Day, melainkan memiliki tujuan untuk
memperingati peristiwa bagaimana para ibu dari berbagai organisasi dan daerah
yang menghadiri Kongres Perempuan Indonesia di Yogyakarta untuk menetapkan
berbagai agenda kemerdekaan bangsa dan perbaikan kualitas hidup perempuan.
Penting
sekali untuk kita sebagai generasi setelahnya, mengetahui dan mengingat bahwa
tanggal 22 Desember ini bukan untuk ibu tapi juga perempuan Indonesia. Bukan
untuk mengecilkan peran ibu yang melahirkan kita, tapi juga memberikan ruang
untuk pemaknaan kembali bahwa kata Ibu mempunyai makna yang luas. Memberikan
ruang kepada orang yang memutuskan menjadi ibu, ataupun yang memutuskan tidak
menjadi ibu, perempuan yang sedang berjuang untuk keadilan dirinya, maupun
orang lain. Hari ini adalah hari kita Bersama sebagai perempuan,
untuk saling merangkul satu sama lain, bersolidaritas dan berkolaborasi untuk
sistem yang lebih baik.
Dalam
konteks ini, Kementerian Keuangan telah memberikan payung hukum perbaikan
kualitas hidup perempuan pada isu pelecehan seksual. Dengan diterbitkannya
SE-36/MK.1/2020 tanggal 24 November 2020 tentang Pencegahan dan Dukungan
Penananganan Pelecehan Seksual di Lingkungan Kerja Dalam Rangka Meningkatkan
Keadilan dan Kesetaraan Gender Lingkup Kementerian Keuangan, korban pelecehan
mampu mengakses keadilan. Akan tetapi dalam mengakses keadilan ini, korban
perlu mempunyai keberanian yang sangat besar. Pada 25 juni s.d. 30 Juni 2020,
Karima Dewi P dan Dita Angelia melakukan survey kepada pegawai Kementerian
Keuangan dan mendapatkan dari 159 responden, 61 orang mengaku sebagai penyintas
dan 65 orang sebagai saksi. 91 persen dari penyintas tidak melapor kekerasan
seksual tersebut. Sementara Sebanyak 40.8 persen saksi mengaku diam, selebihnya
27,6 persen saksi menjauhkan dari pelaku
dan 21 persen menegur pelaku.
Masih
banyak saksi yang diam ketika melihat kekerasan seksual, karena acap kali
kekerasan seksual berbaur dengan candaan, atau pelaku merupakan atasan/senior
yang mempunyai kuasa. Banyak sekali hambatan korban untuk melaporkan, 75,4
persen korban memilih opsi tidak akan ditindaklanjuti, 40 persen memilih opsi
tidak tahu melaporkan kemana, lainnya khawatir akan karier, takut dianggap
kecentilan, atau takut dianggap berbohong.
Tapi apakah dengan adanya SE-36/MK.1/2021 sudah cukup melindungi dan memberikan ruangan aman? Penulis akan membahasnya pada bagian kedua, saat ini penulis ingin mengambil ruh Hari Ibu, di mana para perempuan Indonesia bersatu untuk kaumnya hendaknya kita juga kembali merefleksikan diri apakah kita sudah memberikan kawan kita medium bersuara, mendengar suara-suara yang terbungkam? Mengedepankan kolaborasi satu sama lain bahu membahu menciptakan ruang yang aman, setara, adil. Saya berdoa dengan penuh dan teguh, semoga di suatu saat nanti tidak ada lagi korban yang memilih bungkam. (Dita Angelia, Seksi Kepatuhan Internal)