Belakangan ini
kerap kali muncul di laman media sosial kita berita terkait pelecehan seksual
yang terjadi di masyarakat. Pelecehan tersebut dapat terjadi baik pada
perempuan maupun pria, pelecehan seksual yang terjadi kepada keduanya merupakan
perbuatan kotor dan tercela. Dari banyaknya pelecehan yang terjadi di
masyarakat, perempuan dianggap korban paling rawan. Namun perempuan acap kali
disalahkan dan dituding menggunakan pakaian terbuka sehingga mengundang niat
para pelaku pelecehan seksual dalam menjalankan aksinya.
Sebelum
membahas lebih jauh, kita perlu tau apa yang dimaksud pelecehan seksual. Dalam
hal ini pelecehan seksual adalah segala tindakan seksual yang tidak diinginkan
dan diminta yang dipaksakan dan mengancam para korban baik itu tindakan lisan,
fisik, atau isyarat yang bersifat seksual sehingga seseorang merasa tersinggung,
dipermalukan, serta merasa terintimidasi.
Banyak dari
korban kekerasan seksual yang enggan melaporkan kekerasan seksual yang dialami
karena diancap oleh pelaku, serta merasa malu dan takut disalahkan. Mirisnya
muncul paradigma di masyarakat yang menyalahkan cara berpakaian perempuan
khususnya yang cenderung terbuka sehingga mengundang syahwat para pelaku
pelecehan, kekerasan seksual hingga pemerkosaan.
Namun hal
tersebut terbantahkan, berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Koalisi Ruang
Publik Aman (KRPA) yang melibatkan 62.224 responden pada tahun 2018,
menjelaskan sebagian besar korban pelecehan seksual tidak mengenakan baju
terbuka saat mengalami pelecehan seksual. Mayoritas pelecehan terjadi pada
mereka yang memakai rok dan celana (17,47%), disusul baju lengan panjang
(15,82%), baju seragam sekolah (14,23%), baju longgar (13,80%), berhijab
pendek/sedang (13,20%), baju lengan pendek (7,72%), baju seragam kantor (4,61%),
berhijab panjang (3,68%), rok selutut atau celana selutut (3,02%), dan baju
ketat atau celana ketat (1,89%). Yang berhijab dan bercadar juga mengalami
pelecehan seksual (0,17%). Bila dijumlahkan, terdapat 17% responden berhijab yang
mengalami pelecehan seksual. Hasil survei ini juga menunjukkan bahwa
waktu korban mengalami pelecehan seksual mayoritas terjadi pada siang hari
(35%) dan sore hari (25%). Dapat disimpulkan bahwa paradigma yang berkembang di
masyarakat tersebut tidaklah benar karena mayoritas pelecehan seksual justru
terjadi kepada korban yang menggunakan pakaian tertutup.
Mereka yang
menyalahkan pakaian pada pelecehan seksual biasanya berargumen bahwa
"tidak akan ada asap, tanpa adanya api” dapat diartikan tidak akan ada pelecehan
tanpa ada hal 'mengundang' (pakaian terbuka) dari para korban. Beberapa orang lainnya
juga beranggapan karena korban tidak memakai pakaian yang menutup aurat, sehingga
wajar jika terjadi pelecehan seksual karena koban tidak mematuhi perintah
agama. Dalam hal ini, membuka aurat merupakan suatu kesalahan dalam sudut
pandang agama dan pelecehan seksual juga merupakan kesalahan jika dilihat dari sudut
pandang agama dan sosial. Namun keduanya kesalahan tersebut tidak memiliki
keterkaitan dan bukan suatu 'legal permit' untuk melakukan kesalahan
lainnya apabila satu kesalahan dilanggar.
Paradigma yang
berkembang di masyarakat ini harus dilurusnya agar mereka yang menjadi korban
pelecehan dan kekerasan seksual tidak semakin merasa tertekan dan
terintimidasi. Selain itu masyarakat perlu memberikan empati serta membantu
para korban agar mereka merasa aman dan berani melaporkan tindak pelecehan dan
kekerasan seksual tersebut.
Maraknya
pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi adalah murni dari niat dan pikiran
kotor dari para pelaku. Tidak ada keterkaitan dengan pakaian yang digunakan. Sekalipun kita menganggap bahwa korban mengenakan
berpakaian terbuka dan 'mengundang', hal tersebut bukanlah alasan untuk
membenarkan perilaku pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi. Setiap manusia
memiliki free will ketika dihadapkan dengan sesuatu yang 'mengundang'
yaitu dengan memilih menundukkan pandangan ataupun melakukan pelecehan. Suatu
yang 'mengundang' tersebut tidak serta merta mendorong untuk melakukan
pelecehan seksual, melainkan pilihan kita sebagai manusia yang memiliki akal
dan hawa nafsu.
(ditulis oleh Mardianti Pangestu, Pelaksana
pada Subbagian Umum)