Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Pontianak > Artikel
Kekerasan Seksual pada Perempuan: Salah Siapa?
Jesica Deviana
Jum'at, 29 Desember 2023   |   2297 kali

Belakangan ini kerap kali muncul di laman media sosial kita berita terkait pelecehan seksual yang terjadi di masyarakat. Pelecehan tersebut dapat terjadi baik pada perempuan maupun pria, pelecehan seksual yang terjadi kepada keduanya merupakan perbuatan kotor dan tercela. Dari banyaknya pelecehan yang terjadi di masyarakat, perempuan dianggap korban paling rawan. Namun perempuan acap kali disalahkan dan dituding menggunakan pakaian terbuka sehingga mengundang niat para pelaku pelecehan seksual dalam menjalankan aksinya.

Sebelum membahas lebih jauh, kita perlu tau apa yang dimaksud pelecehan seksual. Dalam hal ini pelecehan seksual adalah segala tindakan seksual yang tidak diinginkan dan diminta yang dipaksakan dan mengancam para korban baik itu tindakan lisan, fisik, atau isyarat yang bersifat seksual sehingga seseorang merasa tersinggung, dipermalukan, serta merasa terintimidasi.

Banyak dari korban kekerasan seksual yang enggan melaporkan kekerasan seksual yang dialami karena diancap oleh pelaku, serta merasa malu dan takut disalahkan. Mirisnya muncul paradigma di masyarakat yang menyalahkan cara berpakaian perempuan khususnya yang cenderung terbuka sehingga mengundang syahwat para pelaku pelecehan, kekerasan seksual hingga pemerkosaan.

Namun hal tersebut terbantahkan, berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) yang melibatkan 62.224 responden pada tahun 2018, menjelaskan sebagian besar korban pelecehan seksual tidak mengenakan baju terbuka saat mengalami pelecehan seksual. Mayoritas pelecehan terjadi pada mereka yang memakai rok dan celana (17,47%), disusul baju lengan panjang (15,82%), baju seragam sekolah (14,23%), baju longgar (13,80%), berhijab pendek/sedang (13,20%), baju lengan pendek (7,72%), baju seragam kantor (4,61%), berhijab panjang (3,68%), rok selutut atau celana selutut (3,02%), dan baju ketat atau celana ketat (1,89%). Yang berhijab dan bercadar juga mengalami pelecehan seksual (0,17%). Bila dijumlahkan, terdapat 17% responden berhijab yang mengalami pelecehan seksual.  Hasil survei ini juga menunjukkan bahwa waktu korban mengalami pelecehan seksual mayoritas terjadi pada siang hari (35%) dan sore hari (25%). Dapat disimpulkan bahwa paradigma yang berkembang di masyarakat tersebut tidaklah benar karena mayoritas pelecehan seksual justru terjadi kepada korban yang menggunakan pakaian tertutup.

Mereka yang menyalahkan pakaian pada pelecehan seksual biasanya berargumen bahwa "tidak akan ada asap, tanpa adanya api” dapat diartikan tidak akan ada pelecehan tanpa ada hal 'mengundang' (pakaian terbuka) dari para korban. Beberapa orang lainnya juga beranggapan karena korban tidak memakai pakaian yang menutup aurat, sehingga wajar jika terjadi pelecehan seksual karena koban tidak mematuhi perintah agama. Dalam hal ini, membuka aurat merupakan suatu kesalahan dalam sudut pandang agama dan pelecehan seksual juga merupakan kesalahan jika dilihat dari sudut pandang agama dan sosial. Namun keduanya kesalahan tersebut tidak memiliki keterkaitan dan bukan suatu 'legal permit' untuk melakukan kesalahan lainnya apabila satu kesalahan dilanggar.

Paradigma yang berkembang di masyarakat ini harus dilurusnya agar mereka yang menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual tidak semakin merasa tertekan dan terintimidasi. Selain itu masyarakat perlu memberikan empati serta membantu para korban agar mereka merasa aman dan berani melaporkan tindak pelecehan dan kekerasan seksual tersebut.

Maraknya pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi adalah murni dari niat dan pikiran kotor dari para pelaku. Tidak ada keterkaitan dengan pakaian yang digunakan.  Sekalipun kita menganggap bahwa korban mengenakan berpakaian terbuka dan 'mengundang', hal tersebut bukanlah alasan untuk membenarkan perilaku pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi. Setiap manusia memiliki free will ketika dihadapkan dengan sesuatu yang 'mengundang' yaitu dengan memilih menundukkan pandangan ataupun melakukan pelecehan. Suatu yang 'mengundang' tersebut tidak serta merta mendorong untuk melakukan pelecehan seksual, melainkan pilihan kita sebagai manusia yang memiliki akal dan hawa nafsu.

 

(ditulis oleh Mardianti Pangestu, Pelaksana pada Subbagian Umum)

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini