Kekerasan Seksual adalah setiap
perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau
fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender,
yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk
yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang.
Kekerasan seksual bisa terjadi di
setiap komunitas dan korbannya pun tidak memandang jenis kelamin dan usia.
Sementara itu, hal yang termasuk dalam perilaku kekerasan seksual adalah segala
jenis kontak seksual yang tidak diinginkan. Hal tersebut mencakup
perkataan dan tindakan yang bersifat seksual, yang bertentangan dengan
keinginan seseorang dan tanpa persetujuannya.
Mengutip Kementerian
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, selain pemerkosaan, contoh kekerasan
seksual dapat meliputi:
· Berperilaku
atau mengutarakan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan penampilan fisik,
tubuh, ataupun identitas gender orang lain. (Misal: lelucon seksis, siulan, dan
memandang bagian tubuh orang lain dengan cara atau tujuan yang tidak sopan).
· Menyentuh,
mengusap, meraba, memegang, dan menggosokkan bagian tubuh pada area pribadi
seseorang tanpa persetujuan.
· Mengirimkan
lelucon, foto, video, audio, atau materi lainnya yang bernuansa seksual tanpa
persetujuan penerimanya dan meskipun penerima materi sudah menegur pelaku.
· Menguntit,
mengambil, dan menyebarkan informasi pribadi, termasuk gambar seseorang tanpa
persetujuan orang tersebut.
· Memberi
hukuman atau perintah yang bernuansa seksual kepada orang lain.
· Mengintip
orang yang sedang mengenakan pakaian.
· Membuka
pakaian seseorang tanpa izin orang tersebut.
· Membujuk,
menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam seseorang untuk melakukan
transaksi kegiatan seksual yang sudah tidak disetujui oleh orang tersebut.
· Memaksakan
orang lain untuk melakukan aktivitas seksual atau melakukan percobaan
pemerkosaan.
· Melakukan
perbuatan lainnya yang merendahkan, menghina, melecehkan, atau menyerang tubuh,
dan fungsi reproduksi seseorang orang. Terutama karena ketimpangan relasi,
kuasa dan/atau gender, yang berakibat pada penderitaan psikis dan/atau fisik.
Termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilangnya
kesempatan melaksanakan pendidikan dengan aman dan optimal.
Ketika kejadian kekerasan seksual
berlangsung, sering sekali kondisi tubuh korban mengalami tonic immobility atau kaku dan sulit digerakkan sehingga terkesan
tidak memberikan perlawanan terhadap pelaku. Tonic immobility biasanya kita rasakan ketika kita berada dalam kondisi berbahaya atau traumatis.
Tidak semua orang mengalami tonic
immobility saat mendapatkan ancaman tertentu, termasuk pelecehan
seksual. Namun, pada orang yang mengalaminya, biasanya
akan ada beberapa tahapan sebelum kemunculan rasa kaku dan ketidakmampuan untuk
bergerak.
Berikut
adalah tahapan yang biasanya dirasakan oleh korban pelecehan seksual yang
mengalami tonic immobility yang
dikutip dari situs alodokter:
·
Arousal, yaitu kesadaran seseorang
terhadap kemungkinan ancaman
·
Flight
or fight,
yaitu respons aktif seseorang untuk melawan
·
Freeze, yaitu respons membeku
selama beberapa saat sebelum melawan
·
Tonic
immobility (kelumpuhan)
and collapsed immobility (pingsan), yaitu respons ketika
ancaman tidak bisa dihindari
·
Quiescent
immobility (diam),
yaitu keadaan untuk istirahat dan masa pemulihan akibat trauma
Trauma berkepanjangan akibat tonic
immobility bisa membuat kesehatan fisik dan mental terganggu, serta
merusak kemampuan bersosialisasi dengan orang lain. Sebagai salah satu respons
trauma yang dialami seseorang, tonic immobility juga sering
dikaitkan dengan meningkatnya gejala gangguan stress pascatrauma (Post-Traumatic-Stress-Dissorder/PTSD).
Salah satu penjelasan yang menjadi
alasan tonic immobility menyebabkan gejala PTSD
adalah karena korban biasanya akan menyalahkan dirinya yang tidak bisa melawan
pelaku. Bahkan, dampaknya pada kesehatan mental juga bisa semakin parah ketika
korban kurang mendapat dukungan dari orang terdekat atau justru dihakimi dan
disalahkan karena dianggap tidak bisa memberikan perlawanan.
Ditambah lagi, apabila korban
kekerasan seksual melaporkan kasusnya, terdapat pandangan masyarakat bahwa mereka
melakukan tuduhan palsu. Tidak hanya itu, banyak korban kekerasan (seksual)
yang kemudian malah dilaporkan balik dengan pasal pencemaran nama baik, karena
dianggap tidak memiliki bukti yang cukup kuat.
Tantangan selanjutnya bagi korban
yaitu pembebanan pembuktian yang seolah menjadi “tanggung jawab” pihak korban
untuk membuktikan keabsahan kasus yang dilaporkannya.
Hal-hal diatas dapat meningkatkan
trauma psikologis yang dialami oleh korban kekerasan seksual. Memang tidak
mudah melupakan peristiwa traumatis seperti pelecehan seksual, tetapi melakukan
beberapa cara di bawah ini mungkin bisa membantu korban pelecehan seksual yang
mengalami tonic immobility.
Beberapa pilihan terapi yang bisa
dilakukan untuk membantu mengatasi trauma yang dialami korban adalah:
·
Terapi perilaku kognitif untuk memperbaiki pola pikir
korban
·
Terapi prolonged exposure untuk
mengajak korban menghadapi pemicu trauma di tempat yang aman dan mendukung
·
Terapi EMDR (Eye Movement Desensitization and
Reprocessing) untuk mengganti emosi negatif dari trauma yang
dialami menjadi pikiran positif
·
Terapi merawat dan mencintai
diri sendiri (self care) sembari
menjalani perawatan lainnya, misalnya istirahat yang cukup, memenuhi asupan
nutrisi, olahraga rutin, dan kembali membangun dan memelihara hubungan sosial.
Sulit bagi korban untuk menyembuhkan trauma yang dialaminya, oleh karena itu perlu dilakukan pencegahan dengan berkolaborasi berbagai lapisan masyarakat.Seperti, di rumah, lingkungan sekitar, sekolah, lingkungan keagamaan, tempat kerja, dan lingkungan lainnya. Setiap orang berperan dalam mencegah kekerasan seksual dan menegakkan norma-norma rasa hormat, keamanan, kesetaraan, dan membantu orang lain.
Dengan
demikian diharapkan tindak kekerasan seksual akan berkurang dan akan tercipta
lingkungan yang aman bagi setiap orang.
(ditulis oleh Tenartha Prakarsa Tarigan, Pelaksana pada Seksi PKN)