Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Pontianak > Artikel
Problematika Kekerasan Seksual Pada Masyarakat
Jesica Deviana
Jum'at, 29 Desember 2023   |   120 kali

Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang.

Kekerasan seksual bisa terjadi di setiap komunitas dan korbannya pun tidak memandang jenis kelamin dan usia. Sementara itu, hal yang termasuk dalam perilaku kekerasan seksual adalah segala jenis kontak seksual yang tidak diinginkan. Hal tersebut mencakup perkataan dan tindakan yang bersifat seksual, yang bertentangan dengan keinginan seseorang dan tanpa persetujuannya. 

Mengutip Kementerian Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, selain pemerkosaan, contoh kekerasan seksual dapat meliputi:

·   Berperilaku atau mengutarakan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan penampilan fisik, tubuh, ataupun identitas gender orang lain. (Misal: lelucon seksis, siulan, dan memandang bagian tubuh orang lain dengan cara atau tujuan yang tidak sopan).

·     Menyentuh, mengusap, meraba, memegang, dan menggosokkan bagian tubuh pada area pribadi seseorang tanpa persetujuan.

·    Mengirimkan lelucon, foto, video, audio, atau materi lainnya yang bernuansa seksual tanpa persetujuan penerimanya dan meskipun penerima materi sudah menegur pelaku.

·     Menguntit, mengambil, dan menyebarkan informasi pribadi, termasuk gambar seseorang tanpa persetujuan orang tersebut.

·     Memberi hukuman atau perintah yang bernuansa seksual kepada orang lain.

·     Mengintip orang yang sedang mengenakan pakaian.

·     Membuka pakaian seseorang tanpa izin orang tersebut.

·    Membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam seseorang untuk melakukan transaksi kegiatan seksual yang sudah tidak disetujui oleh orang tersebut.

·     Memaksakan orang lain untuk melakukan aktivitas seksual atau melakukan percobaan pemerkosaan.

·    Melakukan perbuatan lainnya yang merendahkan, menghina, melecehkan, atau menyerang tubuh, dan fungsi reproduksi seseorang orang. Terutama karena ketimpangan relasi, kuasa dan/atau gender, yang berakibat pada penderitaan psikis dan/atau fisik. Termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilangnya kesempatan melaksanakan pendidikan dengan aman dan optimal.

Ketika kejadian kekerasan seksual berlangsung, sering sekali kondisi tubuh korban mengalami tonic immobility atau kaku dan sulit digerakkan sehingga terkesan tidak memberikan perlawanan terhadap pelaku. Tonic immobility biasanya kita rasakan ketika kita berada dalam kondisi berbahaya atau traumatis.

Tidak semua orang mengalami tonic immobility saat mendapatkan ancaman tertentu, termasuk pelecehan seksualNamun, pada orang yang mengalaminyabiasanya akan ada beberapa tahapan sebelum kemunculan rasa kaku dan ketidakmampuan untuk bergerak.

Berikut adalah tahapan yang biasanya dirasakan oleh korban pelecehan seksual yang mengalami tonic immobility yang dikutip dari situs alodokter:

·         Arousal, yaitu kesadaran seseorang terhadap kemungkinan ancaman

·         Flight or fight, yaitu respons aktif seseorang untuk melawan

·         Freeze, yaitu respons membeku selama beberapa saat sebelum melawan

·         Tonic immobility (kelumpuhan) and collapsed immobility (pingsan), yaitu respons ketika ancaman tidak bisa dihindari

·         Quiescent immobility (diam), yaitu keadaan untuk istirahat dan masa pemulihan akibat trauma

 

Trauma berkepanjangan akibat tonic immobility bisa membuat kesehatan fisik dan mental terganggu, serta merusak kemampuan bersosialisasi dengan orang lain. Sebagai salah satu respons trauma yang dialami seseorang, tonic immobility juga sering dikaitkan dengan meningkatnya gejala gangguan stress pascatrauma (Post-Traumatic-Stress-Dissorder/PTSD).

Salah satu penjelasan yang menjadi alasan tonic immobility menyebabkan gejala PTSD adalah karena korban biasanya akan menyalahkan dirinya yang tidak bisa melawan pelaku. Bahkan, dampaknya pada kesehatan mental juga bisa semakin parah ketika korban kurang mendapat dukungan dari orang terdekat atau justru dihakimi dan disalahkan karena dianggap tidak bisa memberikan perlawanan.

Ditambah lagi, apabila korban kekerasan seksual melaporkan kasusnya, terdapat pandangan masyarakat bahwa mereka melakukan tuduhan palsu. Tidak hanya itu, banyak korban kekerasan (seksual) yang kemudian malah dilaporkan balik dengan pasal pencemaran nama baik, karena dianggap tidak memiliki bukti yang cukup kuat.

Tantangan selanjutnya bagi korban yaitu pembebanan pembuktian yang seolah menjadi “tanggung jawab” pihak korban untuk membuktikan keabsahan kasus yang dilaporkannya.

Hal-hal diatas dapat meningkatkan trauma psikologis yang dialami oleh korban kekerasan seksual. Memang tidak mudah melupakan peristiwa traumatis seperti pelecehan seksual, tetapi melakukan beberapa cara di bawah ini mungkin bisa membantu korban pelecehan seksual yang mengalami tonic immobility.

Beberapa pilihan terapi yang bisa dilakukan untuk membantu mengatasi trauma yang dialami korban adalah:

·         Terapi perilaku kognitif untuk memperbaiki pola pikir korban

·         Terapi prolonged exposure untuk mengajak korban menghadapi pemicu trauma di tempat yang aman dan mendukung

·         Terapi EMDR (Eye Movement Desensitization and Reprocessing) untuk mengganti emosi negatif dari trauma yang dialami menjadi pikiran positif

·         Terapi merawat dan mencintai diri sendiri (self care) sembari menjalani perawatan lainnya, misalnya istirahat yang cukup, memenuhi asupan nutrisi, olahraga rutin, dan kembali membangun dan memelihara hubungan sosial.

Sulit bagi korban untuk menyembuhkan trauma yang dialaminya, oleh karena itu perlu dilakukan pencegahan dengan berkolaborasi berbagai lapisan masyarakat.Seperti, di rumah, lingkungan sekitar, sekolah, lingkungan keagamaan, tempat kerja, dan lingkungan lainnya. Setiap orang berperan dalam mencegah kekerasan seksual dan menegakkan norma-norma rasa hormat, keamanan, kesetaraan, dan membantu orang lain.


Dengan demikian diharapkan tindak kekerasan seksual akan berkurang dan akan tercipta lingkungan yang aman bagi setiap orang.

 

(ditulis oleh Tenartha Prakarsa Tarigan, Pelaksana pada Seksi PKN)

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini