Ruang
publik dikatakan ideal apabila setiap orang yang menggunakannya merasa aman,
nyaman, dan tidak memiliki ketakutan akan dilecehkan atau dicelakai di tempat
tersebut. Pendapat ini sejalan dengan apa yang telah dikemukakan oleh seorang
sosiolog Jerman yang pernah meneliti urgensi kebutuhan ruang publik pada suatu
negara demokrasi, ialah Jürgen Habermas. Habermas pernah mengenalkan konsep
ruang publik yang ideal, yaitu tempat masyarakat bebas berpendapat dan bersikap
tanpa adanya intervensi serta terbebas dari tekanan. Tentu, konsep ini pulalah
kiranya yang dibayangkan oleh masyarakat Indonesia ketika mendengar berita
tentang penyediaan ruang publik oleh pemerintah. Bahkan Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta telah cukup lama mengenalkan konsep ruang publik berupa ruang terbuka
hijau dengan berbagai permainan anak, sistem keamanan yang memadai, dan
berbagai fasilitas umum yang dapat melayani berbagai kepentingan komunitas di
sekitar wilayah tersebut, yang dinamai Ruang Publik Terbuka Ramah Anak (RPTRA).
Lalu,
apakah ruang publik di Indonesia sudah dapat dikatakan ideal? Lantas mengapa
masih kerap terjadi pelecehan di ruang-ruang publik? Apakah masalahnya terdapat
pada insfrastruktur ruang publik tersebut, atau murni karena kebejatan para
pelaku pelecehan seksual? Mari kita bahas lebih lanjut pertanyaan-pertanyaan
tersebut.
Sebelum
membahas lebih jauh, mari kita pahami dulu apa itu pelecehan seksual di ruang
publik. Pelecehan seksual di ruang publik terjadi apabila seseorang merasa
dilecehkan secara seksual, baik secara fisik maupun non fisik, yang di
antaranya berupa perkataan, kontak fisik, atau tindakan lain yang berlandaskan
unsur seksual yang tidak diinginkan oleh korban. Yang perlu diingat, pelecehan
tersebut tidak dibatasi oleh gender, usia, agama, ras, atau identitas lainnya. Namun,
yang menjadi kesamaan adalah bahwa pelecehan tersebut didasari oleh unsur
seksual ataupun yang mengarah ke arah tersebut.
Pernah
terlintas di benak Penulis bahwa pelecehan seksual umumnya terjadi karena
lingkungan yang mendukung hal itu untuk terjadi. Seperti misalnya penerangan
yang kurang, lingkungan yang sepi, tempat yang agak terpencil, atau ruang yang
tertutup. Namun, pemikiran tersebut dibantah keras oleh hasil survei yang
dilakukan Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA). Selama masa pandemi, KRPA melakukan
survei di 34 provinsi secara online dengan total responden berjumlah
4.236 orang. Hasil survei di antaranya menyebutkan bahwa pelecehan seksual juga
terjadi pada ruang publik online, yang mayoritas terjadi di media
sosial, aplikasi chat, aplikasi kencan daring, permainan virtual, dan
ruang diskusi virtual. Bahkan pelecehan juga terjadi pada institusi pendidikan
yang saat itu berjalan secara daring. Sebanyak 57 dari 427 responden mengaku
mengalami pelecehan seksual di kampus/sekolah online. Sedangkan secara
terpisah, sebagian besar responden mengatakan pelecehan secara daring dilakukan
dengan cara mengirimi video tidak senonoh atau menerima komentar seksis.
Berangkat
dari pembahasan di atas, Penulis berpendapat bahwa pelecehan seksual terjadi bukan
hanya karena kurang memadainya infrastruktur ruang publik di Indonesia. Namun,
pembahasan mengenai perilaku dan norma sosial juga perlu dihadirkan untuk menguak
penyebab pelecehan tersebut terjadi bahkan di ruang publik daring. Karena jika
kita perhatikan, pada saat kontak fisik dan verbal dibatasi oleh layar gawai
masing-masing sekalipun, rupanya pelecehan seksual masih saja terjadi. Kejadian
tersebut mungkin terjadi karena permasalahan perilaku dan sosial yang mencakup
kekerasan atau pelecehan yang diterima secara budaya, atau dianggap lazim
secara sosial, serta kurangnya respon dari penonton yang menyaksikan tindakan
kekerasan tersebut.
Melalui
berbagai penelusuran secara daring, Penulis berpendapat bahwa faktor yang
mendukung terjadinya pelecehan seksual secara umum dibagi 2 (dua), yaitu
eksternal dan internal. Secara eksternal, faktor yang mendukung terjadinya
pelecehan tidak lepas dari ketersediaan dan keandalan infrastruktur ruang
publik. Selain itu, fokus pemerintah sepertinya perlu diarahkan pula kepada
penyediaan transportasi publik yang memadai, tentunya pembahasan ini mencakup
pula sistem keamanan pada berbagai moda transportasi publik.
Sedangkan
di sisi lain, faktor internal yang turut menjadi penyebab adalah moral pelaku
dan orang-orang yang menyaksikan pelecehan seksual. Unsur budaya dan sosial
masyarakat setempat yang menganggap suatu tindakan pelecehan itu biasa dan
lazim menjadi tantangan tersendiri dalam upaya mewujudkan ruang publik yang
ideal. Sehingga menjadi tugas kita bersama untuk mengedukasi masyarakat bahwa
tidak ada satupun bentuk pelecehan yang dapat diterima atau dimaklumi. Besar
kecilnya dampak suatu pelecehan tidak dapat dilihat seketika setelah kejadian.
Bisa saja kejadian tersebut akan berdampak pada trauma berkepanjangan yang
menyebabkan korban, baik secara sadar maupun tidak, memiliki ketakutan untuk bepergian
sendirian.
Pada
akhirnya, Penulis dapat menyimpulkan bahwa pelecehan seksual di ruang-ruang
publik tidak terjadi karena sebab tunggal. Melainkan kombinasi dari berbagai
penyebab dan faktor pendukung, baik eksternal, maupun internal para pihak yang
terlibat. Pembahasan mengenai ruang publik yang ideal di Indonesia tidak hanya berupa
diskusi tentang insfrastruktur dan fasilitas umum. Melainkan perlu adanya upaya
persuasif untuk mengubah pola pikir dan cara pandang orang-orang tertentu
terhadap pelecehan seksual. Sehingga, dapat Penulis nyatakan bahwa usaha untuk
menghadirkan ruang publik yang ideal bagi masyarakat merupakan perjuangan
bersama yang memerlukan sinergi antara rakyat dengan para pembuat kebijakan
demi Indonesia yang maju dan beradab.
(Ditulis
oleh Fazlurrahman Farouqi, Pelaksana Seksi Kepatuhan
Internal KPKNL Pontianak)