Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Pontianak > Artikel
Mewujudkan Ruang Publik yang Bebas dari Pelecehan
Jesica Deviana
Senin, 18 September 2023   |   405 kali

Ruang publik dikatakan ideal apabila setiap orang yang menggunakannya merasa aman, nyaman, dan tidak memiliki ketakutan akan dilecehkan atau dicelakai di tempat tersebut. Pendapat ini sejalan dengan apa yang telah dikemukakan oleh seorang sosiolog Jerman yang pernah meneliti urgensi kebutuhan ruang publik pada suatu negara demokrasi, ialah Jürgen Habermas. Habermas pernah mengenalkan konsep ruang publik yang ideal, yaitu tempat masyarakat bebas berpendapat dan bersikap tanpa adanya intervensi serta terbebas dari tekanan. Tentu, konsep ini pulalah kiranya yang dibayangkan oleh masyarakat Indonesia ketika mendengar berita tentang penyediaan ruang publik oleh pemerintah. Bahkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah cukup lama mengenalkan konsep ruang publik berupa ruang terbuka hijau dengan berbagai permainan anak, sistem keamanan yang memadai, dan berbagai fasilitas umum yang dapat melayani berbagai kepentingan komunitas di sekitar wilayah tersebut, yang dinamai Ruang Publik Terbuka Ramah Anak (RPTRA).

Lalu, apakah ruang publik di Indonesia sudah dapat dikatakan ideal? Lantas mengapa masih kerap terjadi pelecehan di ruang-ruang publik? Apakah masalahnya terdapat pada insfrastruktur ruang publik tersebut, atau murni karena kebejatan para pelaku pelecehan seksual? Mari kita bahas lebih lanjut pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Sebelum membahas lebih jauh, mari kita pahami dulu apa itu pelecehan seksual di ruang publik. Pelecehan seksual di ruang publik terjadi apabila seseorang merasa dilecehkan secara seksual, baik secara fisik maupun non fisik, yang di antaranya berupa perkataan, kontak fisik, atau tindakan lain yang berlandaskan unsur seksual yang tidak diinginkan oleh korban. Yang perlu diingat, pelecehan tersebut tidak dibatasi oleh gender, usia, agama, ras, atau identitas lainnya. Namun, yang menjadi kesamaan adalah bahwa pelecehan tersebut didasari oleh unsur seksual ataupun yang mengarah ke arah tersebut.

Pernah terlintas di benak Penulis bahwa pelecehan seksual umumnya terjadi karena lingkungan yang mendukung hal itu untuk terjadi. Seperti misalnya penerangan yang kurang, lingkungan yang sepi, tempat yang agak terpencil, atau ruang yang tertutup. Namun, pemikiran tersebut dibantah keras oleh hasil survei yang dilakukan Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA). Selama masa pandemi, KRPA melakukan survei di 34 provinsi secara online dengan total responden berjumlah 4.236 orang. Hasil survei di antaranya menyebutkan bahwa pelecehan seksual juga terjadi pada ruang publik online, yang mayoritas terjadi di media sosial, aplikasi chat, aplikasi kencan daring, permainan virtual, dan ruang diskusi virtual. Bahkan pelecehan juga terjadi pada institusi pendidikan yang saat itu berjalan secara daring. Sebanyak 57 dari 427 responden mengaku mengalami pelecehan seksual di kampus/sekolah online. Sedangkan secara terpisah, sebagian besar responden mengatakan pelecehan secara daring dilakukan dengan cara mengirimi video tidak senonoh atau menerima komentar seksis.

Berangkat dari pembahasan di atas, Penulis berpendapat bahwa pelecehan seksual terjadi bukan hanya karena kurang memadainya infrastruktur ruang publik di Indonesia. Namun, pembahasan mengenai perilaku dan norma sosial juga perlu dihadirkan untuk menguak penyebab pelecehan tersebut terjadi bahkan di ruang publik daring. Karena jika kita perhatikan, pada saat kontak fisik dan verbal dibatasi oleh layar gawai masing-masing sekalipun, rupanya pelecehan seksual masih saja terjadi. Kejadian tersebut mungkin terjadi karena permasalahan perilaku dan sosial yang mencakup kekerasan atau pelecehan yang diterima secara budaya, atau dianggap lazim secara sosial, serta kurangnya respon dari penonton yang menyaksikan tindakan kekerasan tersebut.

Melalui berbagai penelusuran secara daring, Penulis berpendapat bahwa faktor yang mendukung terjadinya pelecehan seksual secara umum dibagi 2 (dua), yaitu eksternal dan internal. Secara eksternal, faktor yang mendukung terjadinya pelecehan tidak lepas dari ketersediaan dan keandalan infrastruktur ruang publik. Selain itu, fokus pemerintah sepertinya perlu diarahkan pula kepada penyediaan transportasi publik yang memadai, tentunya pembahasan ini mencakup pula sistem keamanan pada berbagai moda transportasi publik.

Sedangkan di sisi lain, faktor internal yang turut menjadi penyebab adalah moral pelaku dan orang-orang yang menyaksikan pelecehan seksual. Unsur budaya dan sosial masyarakat setempat yang menganggap suatu tindakan pelecehan itu biasa dan lazim menjadi tantangan tersendiri dalam upaya mewujudkan ruang publik yang ideal. Sehingga menjadi tugas kita bersama untuk mengedukasi masyarakat bahwa tidak ada satupun bentuk pelecehan yang dapat diterima atau dimaklumi. Besar kecilnya dampak suatu pelecehan tidak dapat dilihat seketika setelah kejadian. Bisa saja kejadian tersebut akan berdampak pada trauma berkepanjangan yang menyebabkan korban, baik secara sadar maupun tidak, memiliki ketakutan untuk bepergian sendirian.

Pada akhirnya, Penulis dapat menyimpulkan bahwa pelecehan seksual di ruang-ruang publik tidak terjadi karena sebab tunggal. Melainkan kombinasi dari berbagai penyebab dan faktor pendukung, baik eksternal, maupun internal para pihak yang terlibat. Pembahasan mengenai ruang publik yang ideal di Indonesia tidak hanya berupa diskusi tentang insfrastruktur dan fasilitas umum. Melainkan perlu adanya upaya persuasif untuk mengubah pola pikir dan cara pandang orang-orang tertentu terhadap pelecehan seksual. Sehingga, dapat Penulis nyatakan bahwa usaha untuk menghadirkan ruang publik yang ideal bagi masyarakat merupakan perjuangan bersama yang memerlukan sinergi antara rakyat dengan para pembuat kebijakan demi Indonesia yang maju dan beradab.

 

(Ditulis oleh Fazlurrahman Farouqi, Pelaksana Seksi Kepatuhan Internal KPKNL Pontianak)

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini