Sejak lama para pembuat
kebijakan strategis negara kita telah
memiliki keinginan yang kuat untuk mengantarkan generasi penerus bangsa
menjadi manusia yang unggul. Sejak tahun 1992 melalui
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, di dalam ketentuan pasal
10 dan 11 ayat (2) diatur terkait upaya untuk mengoptimalkan derajat kesehatan
masyarakat, yang salah satunya melalui perbaikan gizi. Aturan tersebut kemudian
dicabut dan digantikan oleh Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan. Aturan ini lebih afirmatif terhadap kebutuhan bayi dibandingkan
dengan regulasi sebelumnya. Pada ketentuan Pasal
128 misalnya diatur mengenai hak bayi untuk mendapatkan ASI eksklusif dan
siapapun harus mendukung hal tersebut, tidak terkecuali pemerintah dengan
penyediaan waktu dan fasilitas khusus.
Aturan itu selanjutnya
diturunkan ke dalam Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2013 tentang Gerakan
Nasional Percepatan Perbaikan Gizi. Regulasi ini mengatur terkait upaya
pemerintah melalui gugus tugas gerakan nasional percepatan perbaikan gizi yang
diketuai oleh menteri koordinator bidang kesejahteraan rakyat, untuk
meningkatkan komitmen para pemangku kepentingan terhadap gizi masyarakat.
Sasaran dari gerakan ini adalah adanya perbaikan gizi pada 1000 hari pertama
kehidupan.
Berselang delapan tahun
kemudian, peraturan presiden itu dicabut dan digantikan dengan Peraturan
Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting. Dibandingkan
dengan regulasi yang sebelumnya, perpres ini memperlihatkan lebih progresifnya
Pemerintah dalam menghadirkan penerus bangsa yang unggul. Hal tersebut
ditunjukkan oleh adanya perincian indikator sasaran, target dan tahun
pencapaian, beserta siapa yang bertanggungjawab atas target tersebut. Misalnya
kementerian pekerjaan umum dan perumahan rakyat bertanggung jawab terhadap
target 90 persen rumah tangga di Indonesia yang mendapat akses sanitasi layak
pada kabupaten/kota prioritas.
Lebih lanjut, pada perpres itu juga diamanatkan untuk membentuk tim percepatan penurunan stunting yang berbeda dengan regulasi sebelumnya, dimana aturan ini membuat wakil presiden turun tangan langsung menjadi ketua pengarah. Bahkan, juga diatur mengenai kewajiban otoritas pemerintah hingga tingkat desa untuk mendukung kebijakan negara yang berusaha mewujudkan generasi unggul.
Sumber: geoportal.big.go.id (diakses 9 April 2023)
Sayangnya, meskipun payung
hukum terkait penanganan stunting sudah ada, implementasinya masih
memerlukan waktu dan kerja keras semua pihak. Sebagaimana yang dapat dilihat
pada gambar di atas, daerah zona kuning prevalensi stunting di Indonesia
masih mendominasi, bahkan di Pulau Jawa daerah yang dianggap lebih maju dan
pusat pembangunan serta perekonomian Indonesia, masih didominasi zona kuning.
Bila kita melihat data lebih
detail lagi per provinsi di Indonesia, dengan merujuk data hasil survei status
gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022 misalnya. Kita akan mendapati hanya ada satu
provinsi yang tingkat prevalensi stunting-nya berada di bawah 14 persen
sebagai target nasional tahun 2024. Provinsi tersebut adalah Bali yang berhasil
menurunkan prevalensi stunting dari 10,9 persen menjadi 8 persen. Hal
ini berkesinambungan dengan anggaran yang dialokasikan oleh
Pemerintah Provinsi Bali untuk melakukan intervensi spesifik atau mengatasi
penyebab langsung terjadinya stunting. Meskipun alokasi tersebut hanya
sebesar 0,53 persen, tetapi Bali menjadi provinsi yang paling tinggi dalam
mengalokasikan anggaran untuk intervensi spesifik terhadap kasus stunting
dibandingkan dengan provinsi lainnya. Sebaliknya, jika kita merujuk pada data
Ditjen Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri tahun 2022, Bali merupakan
provinsi yang mengalokasikan anggaran paling sedikit dalam hal intervensi
sensitif atau mengatasi penyebab tidak langsung stunting, yang hanya
mencapai 0,47 persen. Jika hanya melihat data anggaran tersebut, dalam jangka
pendek terdapat kecenderungan bahwa intervensi spesifik lebih efektif mengatasi
kasus stunting dibandingkan intervensi sensitif. Namun, untuk
menyimpulkannya tentu diperlukan penelitian yang mendalam, sehingga penulis
belum sampai pada tahap menjustifikasi bahwa intervensi spesifik menjadi faktor
determinan.
Sementara itu, jika kita menilik
dokumen “Ringkasan Rincian Output Kementerian/Lembaga Tahun Anggaran 2022 yang
Mendukung Percepatan Penurunan Stunting” yang dirilis Bappenas dan
Kementerian Keuangan. Kita akan mengetahui seberapa besar komitmen yang
dimiliki oleh kementerian/lembaga terhadap penurunan stunting. Dalam
dokumen tersebut disebutkan jika terdapat 17 kementerian/lembaga yang
mengalokasikan anggaran untuk bergotong-royong mencapai target RPJMN, bahwa di
tahun 2024 prevalensi stunting harus berada di angka 14 persen. Total
alokasi anggaran itu mencapai Rp 34,1 triliun yang dibagi menjadi dua dengan
pola yang sama seperti kebanyakan pemerintah provinsi, yakni lebih besar alokasi
anggaran untuk intervensi spesifik dibandingkan dengan intervensi sensitif.
Sebanyak Rp 29,2 triliun anggaran dialokasikan untuk intervensi sensitif,
sisanya dialokasikan untuk intervensi spesifik.
Intervensi sensitif yang
banyak menggunakan anggaran tersebut, misalnya program penyediaan air bersih
dan air minum serta penyediaan akses sanitasi yang layak. Program ini merupakan
kolaborasi antara Kementerian Kesehatan, Kementerian PUPR, dan Kementerian Desa
PDTT. Contoh lainnya adalah penyediaan
akses jaminan kesehatan, penyediaan akses bantuan uang tunai bersyarat untuk
keluarga kurang mampu, serta penyediaan akses layanan kesehatan dan keluarga
berencana, yang merupakan kolaborasi antara Kementerian Kesehatan, Kementerian
Sosial, dan BKKBN.
Pada konteks ini, dengan
adanya instrumen yang memperkuat kerja-kerja penurunan stunting, seperti
regulasi dan anggaran. Semestinya, target pada tahun 2024 sebagaimana yang
sudah tertuang di dalam RPJMN dapat tercapai. Berdasarkan data SSGI di tahun
2022 tingkat prevalensi stunting di Indonesia masih berada di atas
ambang batas yang ditetapkan oleh WHO, yakni mencapai 21,6 persen. Artinya,
kita harus memangkas jarak sebesar 7,6 persen untuk mencapai target RPJMN
tersebut. Hal ini tentu bukan hal yang sulit dengan instrumen yang sudah kita
miliki, tetapi juga bukanlah hal yang mudah dilakukan jika masih terdapat ego
sektoral, baik antar kementerian/lembaga, maupun antara pemerintah pusat dan
daerah. Sebab, permasalahan stunting ini bukan tanggung jawab
Kementerian Kesehatan atau BKKBN semata, tetapi merupakan permasalahan
kolektif, karena ini menyangkut regenerasi bangsa kita.
Lebih lanjut, penulis ingin menggaris bawahi hal penting yang harus diperhatikan oleh para pembuat kebijakan, baik dari level tertinggi hingga terendah pada street level birokrasi adalah memastikan kebijakannya berpihak kepada tujuan bersama untuk menurunkan stunting. Bagian terpenting dari poin ini adalah menghadirkan dukungan kepada ibu bayi secara penuh melalui penyediaan waktu dan fasilitas khusus agar dapat memberikan asi eksklusif, sebagaimana amanat Pasal 128 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pembuat kebijakan yang tidak menaruh perhatian dan mendukung hal ini, sama halnya mengkhianati cita-cita negara kita sebagaimana yang tertuang di dalam pembukaan UUD 1945.
(Ditulis oleh Febrina Nuur Lathiifah, Pelaksana di Seksi Pengelolaan Kekayaan Negara)