Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Pontianak > Artikel
Stunting Sebagai Problem Kolektif Bangsa
Jesica Deviana
Selasa, 02 Mei 2023   |   940 kali

Sejak lama para pembuat kebijakan strategis negara kita telah memiliki keinginan yang kuat untuk mengantarkan generasi penerus bangsa menjadi manusia yang unggul. Sejak tahun 1992 melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, di dalam ketentuan pasal 10 dan 11 ayat (2) diatur terkait upaya untuk mengoptimalkan derajat kesehatan masyarakat, yang salah satunya melalui perbaikan gizi. Aturan tersebut kemudian dicabut dan digantikan oleh Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Aturan ini lebih afirmatif terhadap kebutuhan bayi dibandingkan dengan regulasi sebelumnya. Pada ketentuan Pasal 128 misalnya diatur mengenai hak bayi untuk mendapatkan ASI eksklusif dan siapapun harus mendukung hal tersebut, tidak terkecuali pemerintah dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus.

Aturan itu selanjutnya diturunkan ke dalam Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi. Regulasi ini mengatur terkait upaya pemerintah melalui gugus tugas gerakan nasional percepatan perbaikan gizi yang diketuai oleh menteri koordinator bidang kesejahteraan rakyat, untuk meningkatkan komitmen para pemangku kepentingan terhadap gizi masyarakat. Sasaran dari gerakan ini adalah adanya perbaikan gizi pada 1000 hari pertama kehidupan.

Berselang delapan tahun kemudian, peraturan presiden itu dicabut dan digantikan dengan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting. Dibandingkan dengan regulasi yang sebelumnya, perpres ini memperlihatkan lebih progresifnya Pemerintah dalam menghadirkan penerus bangsa yang unggul. Hal tersebut ditunjukkan oleh adanya perincian indikator sasaran, target dan tahun pencapaian, beserta siapa yang bertanggungjawab atas target tersebut. Misalnya kementerian pekerjaan umum dan perumahan rakyat bertanggung jawab terhadap target 90 persen rumah tangga di Indonesia yang mendapat akses sanitasi layak pada kabupaten/kota prioritas.

Lebih lanjut, pada perpres itu juga diamanatkan untuk membentuk tim percepatan penurunan stunting yang berbeda dengan regulasi sebelumnya, dimana aturan ini membuat wakil presiden turun tangan langsung menjadi ketua pengarah. Bahkan, juga diatur mengenai kewajiban otoritas pemerintah hingga tingkat desa untuk mendukung kebijakan negara yang berusaha mewujudkan generasi unggul.


Sumber: geoportal.big.go.id (diakses 9 April 2023)



Sayangnya, meskipun payung hukum terkait penanganan stunting sudah ada, implementasinya masih memerlukan waktu dan kerja keras semua pihak. Sebagaimana yang dapat dilihat pada gambar di atas, daerah zona kuning prevalensi stunting di Indonesia masih mendominasi, bahkan di Pulau Jawa daerah yang dianggap lebih maju dan pusat pembangunan serta perekonomian Indonesia, masih didominasi zona kuning. 

Bila kita melihat data lebih detail lagi per provinsi di Indonesia, dengan merujuk data hasil survei status gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022 misalnya. Kita akan mendapati hanya ada satu provinsi yang tingkat prevalensi stunting-nya berada di bawah 14 persen sebagai target nasional tahun 2024. Provinsi tersebut adalah Bali yang berhasil menurunkan prevalensi stunting dari 10,9 persen menjadi 8 persen. Hal ini berkesinambungan dengan anggaran yang dialokasikan oleh Pemerintah Provinsi Bali untuk melakukan intervensi spesifik atau mengatasi penyebab langsung terjadinya stunting. Meskipun alokasi tersebut hanya sebesar 0,53 persen, tetapi Bali menjadi provinsi yang paling tinggi dalam mengalokasikan anggaran untuk intervensi spesifik terhadap kasus stunting dibandingkan dengan provinsi lainnya. Sebaliknya, jika kita merujuk pada data Ditjen Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri tahun 2022, Bali merupakan provinsi yang mengalokasikan anggaran paling sedikit dalam hal intervensi sensitif atau mengatasi penyebab tidak langsung stunting, yang hanya mencapai 0,47 persen. Jika hanya melihat data anggaran tersebut, dalam jangka pendek terdapat kecenderungan bahwa intervensi spesifik lebih efektif mengatasi kasus stunting dibandingkan intervensi sensitif. Namun, untuk menyimpulkannya tentu diperlukan penelitian yang mendalam, sehingga penulis belum sampai pada tahap menjustifikasi bahwa intervensi spesifik menjadi faktor determinan.

Sementara itu, jika kita menilik dokumen “Ringkasan Rincian Output Kementerian/Lembaga Tahun Anggaran 2022 yang Mendukung Percepatan Penurunan Stunting” yang dirilis Bappenas dan Kementerian Keuangan. Kita akan mengetahui seberapa besar komitmen yang dimiliki oleh kementerian/lembaga terhadap penurunan stunting. Dalam dokumen tersebut disebutkan jika terdapat 17 kementerian/lembaga yang mengalokasikan anggaran untuk bergotong-royong mencapai target RPJMN, bahwa di tahun 2024 prevalensi stunting harus berada di angka 14 persen. Total alokasi anggaran itu mencapai Rp 34,1 triliun yang dibagi menjadi dua dengan pola yang sama seperti kebanyakan pemerintah provinsi, yakni lebih besar alokasi anggaran untuk intervensi spesifik dibandingkan dengan intervensi sensitif. Sebanyak Rp 29,2 triliun anggaran dialokasikan untuk intervensi sensitif, sisanya dialokasikan untuk intervensi spesifik.

Intervensi sensitif yang banyak menggunakan anggaran tersebut, misalnya program penyediaan air bersih dan air minum serta penyediaan akses sanitasi yang layak. Program ini merupakan kolaborasi antara Kementerian Kesehatan, Kementerian PUPR, dan Kementerian Desa PDTT. Contoh lainnya adalah  penyediaan akses jaminan kesehatan, penyediaan akses bantuan uang tunai bersyarat untuk keluarga kurang mampu, serta penyediaan akses layanan kesehatan dan keluarga berencana, yang merupakan kolaborasi antara Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, dan BKKBN.

Pada konteks ini, dengan adanya instrumen yang memperkuat kerja-kerja penurunan stunting, seperti regulasi dan anggaran. Semestinya, target pada tahun 2024 sebagaimana yang sudah tertuang di dalam RPJMN dapat tercapai. Berdasarkan data SSGI di tahun 2022 tingkat prevalensi stunting di Indonesia masih berada di atas ambang batas yang ditetapkan oleh WHO, yakni mencapai 21,6 persen. Artinya, kita harus memangkas jarak sebesar 7,6 persen untuk mencapai target RPJMN tersebut. Hal ini tentu bukan hal yang sulit dengan instrumen yang sudah kita miliki, tetapi juga bukanlah hal yang mudah dilakukan jika masih terdapat ego sektoral, baik antar kementerian/lembaga, maupun antara pemerintah pusat dan daerah. Sebab, permasalahan stunting ini bukan tanggung jawab Kementerian Kesehatan atau BKKBN semata, tetapi merupakan permasalahan kolektif, karena ini menyangkut regenerasi bangsa kita.

Lebih lanjut, penulis ingin menggaris bawahi hal penting yang harus diperhatikan oleh para pembuat kebijakan, baik dari level tertinggi hingga terendah pada street level birokrasi adalah memastikan kebijakannya berpihak kepada tujuan bersama untuk menurunkan stunting. Bagian terpenting dari poin ini adalah menghadirkan dukungan kepada ibu bayi secara penuh melalui penyediaan waktu dan fasilitas khusus agar dapat memberikan asi eksklusif, sebagaimana amanat Pasal 128 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pembuat kebijakan yang tidak menaruh perhatian dan mendukung hal ini, sama halnya mengkhianati cita-cita negara kita sebagaimana yang tertuang di dalam pembukaan UUD 1945.


(Ditulis oleh Febrina Nuur Lathiifah, Pelaksana di Seksi Pengelolaan Kekayaan Negara)

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini