1.
Latar Belakang
Optimalisasi
Kekayaan Negara berupa Barang Milik Negara (BMN) untuk mendukung penerimaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi isu yang menarik ditengah
harapan pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara. Kondisi pandemi Corona Virus Diseases 19
(Covid-19) dan perhatian yang begitu
besar terhadap pembangunan infrastruktur saat ini tentunya memerlukan
pembiayaan yang besar. Untuk itu sumber-sumber potensial untuk penerimaan
negara harus terus digali. Salah satu sumber potensial untuk penerimaan negara
adalah dari sisi optimalisasi atau pemanfaatan BMN. Hal ini tentu tidak mengherankan
mengingat besaran nilai BMN yang dimiliki oleh pemerintah seakan-akan belum
memberikan kontribusi positif bagi pemerintah khususnya pada sektor penerimaan
negara. Pemanfaatan BMN diharapkan dapat menjadi alternatif sumber penerimaan
negara yang memadai terhadap APBN.
Pemerintah
memiliki portofolio BMN sebagai salah satu bentuk kekayaan negara yang sangat
besar dan beragam, untuk itu pengelolaan kekayaan negara yang optimal
diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi penerimaan negara lebih banyak
lagi. Skema “pemanfaatan” BMN yang optimal dapat dikatakan sebagai salah satu
cara untuk meningkatkan penerimaan negara. Sewa merupakan salah satu bentuk
pemanfaatan BMN yang paling sering dijalankan oleh Kementerian/Lembaga dikarenakan
prosedurnya yang yang lebih sederhana jika dibandingkan dengan bentuk
pemanfaatan lainnnya. Pada umumnya objek sewa BMN yang ada selama ini diperuntukkan
bagi kantin, ruang ATM, antena telekomunikasi, aula atau ruang pertemuan, sarana
olahraga, dan lain-lainya.
Langkah pertama
yang harus dilakukan untuk memahami permasalahan yang mungkin saja dapat
mempengaruhi keberhasilan konsep revenue
center adalah dengan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap proses
pelaksanaan sewa. Ditengah kondisi perekonomian yang sedang menurun karena
pandemi covid-19 seringkali
persetujuan sewa yang telah ditetapkan, di kemudian hari ternyata tidak dapat
dilaksanakan atau tidak dibayar oleh calon penyewa. Tarif sewa yang terlalu
tinggi juga seringkali menjadi penyebab kegagalan atau tidak terlaksananya
penyewaan terhadap BMN.
Tarif sewa BMN
yang ditetapkan harusnya lebih kompetitif dan akomodatif terhadap kepentingan
para pihak yang terlibat di dalamnya. Pemerintah selaku pemilik sekaligus
pengelola BMN dan calon penyewa sebagai pihak ketiga harus duduk bersama untuk
menemukan titik temu guna optimalisasi pemanfaatan BMN. Tarif sewa yang
ditetapkan seharusnya tidak terlalu tinggi karena dapat menyebabkan opportunity loss yang diakibatkan oleh
mundurnya calon penyewa. Di sisi lain tarif sewa yang terlalu rendah tentu juga
akan merugikan negara dan bertentangan dengan semangat revenue center.
Untuk
menjembatani kepentingan Pemerintah selaku pemilik sekaligus pengelola BMN dan
Calon Penyewa selaku konsumen maka dibutuhkan suatu penilaian guna menentukan
nilai wajar atas sewa BMN. Akurasi dan akuntabilitas nilai yang dihasilkan oleh
Penilai menjadi perhatian mendalam oleh para pemangku kepentingan, kegagalan
proses sewa BMN ke tahap penandatangan perjanjian sewa seringkali di alamatkan
kepada nilai yang dihasilkan oleh Penilai dianggap terlalu tinggi dan tidak
memperhatikan kondisi pasar sesungguhnya. Proses pembentukan nilai oleh Penilai
selama ini sebagian besar menggunakan konsep pendekatan perbandingan data pasar
yang tentunya didasarkan pada data-data pembanding transaksi sewa di pasar yang
didapatkan saat survey lapangan oleh Penilai.
Permasalahan
yang sering terjadi adalah data pembanding yang diperoleh pada umumya
dikumpulkan secara insidentil pada saat ada penugasan dan seringkali jumlahnya
pun terbatas. Kondisi ini mengakibatkan sulit untuk dapat menyusun trend nilai serta menentukan pengaruh
masing-masing faktor terhadap nilai. Terjadinya multikolinearitas antar faktor
atau bahkan ada kemungkinan faktor-faktor utama yang berpengaruh terhadap nilai
yang belum dipertimbangkan juga menjadi permasalahan tersendiri. Perbedaan
nilai dapat pula disebabkan oleh belum akuratnya proses adjustment yang dilakukan oleh Penilai. Permasalahan yang telah
duraikan di atas tidak akan terjadi apabila Penilai dalam melakukan proses
penilaian berlandaskan pada basis data yang kuat dan analisis pasar yang
mendalam. Pembentukan basis data seharusnya menjadi prioritas utama meskipun
akan sangat berat untuk mewujudkannya. Langkah-langkah awal mungkin dapat
dilakukan untuk penetapan tarif sewa ATM adalah menghimpun data-data atas BMN
yang telah disewa oleh Pihak Ketiga khususnya terkait dengan penempatan mesin
ATM. Berdasarkan data pengelolaan BMN dimaksud akan diketahui berapa banyak
mesin ATM yang ditempatkan pada tanah dan atau bangunan kantor pemerintahan.
Namun demikian terkait dengan hal ini masih pihak pengguna BMN belum semuanya
melaporkan dan menyetorkan penerimaan Negara atas pemanfaatan BMN sebagaimana
dimaksud sehingga memerlukan analisis lebih lanjut terkait dengan penetapan
nilai sewa wajarnya.
2.
Pembahasan
Ada 3 (tiga)
tahapan penting dalam proses pembentukan basis data dan analisis pasar sewa
ATM, di antaranya adalah persiapan, survei lapangan dan verifikasi data, serta
yang paling utama adalah analisis pasar.
Tahapan
persiapan berupa pembentukan hipotesis awal yang didasarkan pada studi pustaka,
selanjutnya hipotesis awal tadi dilakukan pengujian berdasarkan data-data yang
didapatkan dari survey lapangan dan melalui wawancara baik dengan satuan kerja
selaku pihak pengguna BMN dengan calon konsumen dalam hal ini pihak perbankan.
Uji hipotesis awal melalui wawancara bertujuan untuk mendefinisikan secara
lebih akurat perspektif calon konsumen mengenai hal-hal apa yang mempengaruhi
calon penyewa dalam nenetukan tempat atau lokasi untuk penempatan mesin ATM.
Hal ini menjadi fakto-faktor awal yang membentuk demand sewa ATM.
Menurut
narasumber dari salah satu perbakan BUMN, perhitungan sewa ruang ATM
berdasarkan atas jumlah unit ATM terpasang dan bukan per meter persegi (m²)
luas ruang yang digunakan, kecuali pada area tertentu yang tarifnya ditetapkan
per m².
Berdasarkan
kondisi tersebut di atas setidaknya ada 2 (dua) poin penting yaitu unit
perbandingan yang digunakan adalah per unit mesin ATM dan bukan per m².
Kemudian luas objek bukanlah hal yang dipertimbangkan oleh konsumen sebagai
faktor pembentuk nilai mengingat pada umumnya masing- masing ruang ATM sudah
memenuhi kriteria luasan minimum. Disamping itu, lokasi ATM merupakan salah
satu pertimbangan utama bagi pihak bank dalam keputusan penempatan ATM.
Teori lokasi
adalah suatu pemikiran yang mendasari penentuan lokasi suatu objek dengan
mempertimbangkan aspek efesiensi tenaga manusia dan ekonomi. Pengaruh jarak
terhadap intensitas orang bepergian dari satu lokasi ke lokasi lainnya
merupakan salah satu kondisi yang banyak diulas di dalamnya.
Dari beberapa
teori lokasi yang kita kenal, teori Von Thunen merupakan teori lokasi klasik
yang menjadi pelopor teori penentuan lokasi secara ekonomi. Von Thunen dalam
kajiannya telah mengidentifikasi adanya perbedaan lokasi dari berbagai kegiatan
ekonomi didasarkan pada adanya perbedaan nilai sewa lahan. Lokasi yang lebih
dekat dengan pusat kota/pasar, maka dapat dipastikan harga sewa tanahnya
semakin mahal dan sebaliknya.
Setiawan (2018)
dalam penelitiannya di kota Jayapura memberikan kesimpulan bahwa model nilai
pasar sewa tanah dan/atau bangunan untuk ATM dipengaruhi oleh faktor populasi
pengguna dan aksesibilitas. Faktor tempat ATM tersebut ditempatkan, apakah di
tempat yang masuk kategori komersial atau kantor pemerintahan juga cukup
berpengaruh signifikan terhadap besaran nilai sewa lahan. Disamping itu faktor
keamanan juga relatif cukup signifikan mempengaruhi nilai pasar sewa untuk
penempaan mesin ATM. Faktor jarak ke Central
Business Districk (CBD), jangka waktu dan jenis ATM mempunyai pengaruh yang
kurang signifikan terhadap nilai sewa properti untuk penempatan ATM.
3.
Kesimpulan Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian, terdapat
beberapa hal yang menjadi kesimpulan di dalam penelitian ini, di antaranya
adalah:
1.
Faktor
yang mempengaruhi nilai sewa properti untuk penempatan mesin ATM di Kota Pekanbaru
terdapat 11 (sebelas) variabel independen yang terdiri dari yaitu jarak ke CBD, tahun transaksi sewa, jenis sewa,
posisi ATM, tipe ATM, periode sewa, peruntukan sekitar, kategori lokasi, waktu
akses ke ATM, aksesibiltas menuju lokasi ATM, dan lebar jalan.
2.
Terdapat
tambahan 1 (satu) variabel yang mempengaruhi terhadap nilai sewa ATM di kota
Pekanbaru yakni variabel jenis jalan. Jenis jalan dimaksud adalah lokasi ATM
berada dijalan arteri atau hanya berada dijalan konektor. Penempatan ATM pada
jalan arteri atau jalan konektor (penghubung) mempunyai pengaruh yang sangat
signifikan pada nilai sewa ATM (- Rp3.004.007,00).
3.
Sewa penempatan ATM
berbeda dengan sewa properti pada umumnya seperti perkantoran, kantin, tanah
kosong, dan lain sebagainya yang dipengaruhi oleh luas, pada sewa ATM luasan
tidak begitu berpengaruh terhadap nilai sewa.
4.
Sewa penempatan ATM pada
properti yang dimiliki masyarakat umum dan pada properti yang merupakan Barang
Milik Negara (BMN) tidak berpengaruh pada nilai sewa ATM.
***
Ditulis oleh : Agus Heru Pitoyo dan Gloria Kartika Simbolon