“Jokowi Larang
Kementerian dan Lembaga Bikin Aplikasi Baru” merupakan salah satu judul berita
yang muncul di Kompas.com pada 13 Juni 2023. Berita-berita senada juga muncul
dibeberapa platform berita online terkait hasil rapat Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi bersama Presiden, yang
salah satunya membahas mengenai sistem terintegrasi Sistem Pemerintah Berbasis Elektronik
(SPBE).
Sejujurnya,
berita ini sedikit mengurangi rasa bersalah saya ketika saya harus menyatakan
salah satu inovasi dari Tim Inovasi Kantor Pelayanan Kekayaan Negara (KPKNL)
Pekalongan tahun 2020 sebagai “tidak aktif”. Awal tahun 2023, Kantor Pusat
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) meminta monitoring terhadap
pengembangan sistem aplikasi secara mandiri di unit kerja. Berdasarkan hasil
monitoring penggunaan inovasi KPKNL Pekalongan dari tahun 2021 hingga awal 2023, terdapat
satu aplikasi digitalisasi layanan yang tidak pernah digunakan oleh stakeholder. Sebuah aplikasi yang dibuat
dengan tujuan baik, dikembangkan dengan sumber daya yang tidak sedikit, tetapi
akhirnya tidak dimanfaatkan oleh pengguna layanan.
Inovasi terkait digitalisasi layanan publik, merupakan
bentuk
perwujudan dari amanat Instruksi
Presiden Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Kebijakan dan Strategi Nasional
Pengembangan e-government yang memungkinkan masyarakat luas dapat
mengakses semua informasi pemerintah dan layanan secara daring. Perpres No.95 Tahun 2018 Tentang Sistem Pemerintahan
Berbasis Elektronik disebutkan bahwa Sistem Pemerintahan Berbasis
Elektronik (SPBE) adalah penyelenggaraan pemerintahan yang memanfaatkan
teknologi informasi dan komunikasi untuk memberikan layanan kepada Pengguna
SPBE.
Bukan hanya kantor pusat DJKN, saat ini dari tujuh belas
unit Kantor Wilayah (Kanwil) DJKN dan 77 unit KPKNL, terdapat lebih dari 170
aplikasi inovasi terkait pemanfaatan teknologi informasi yang menggunakan end user computing. Namun, dari sekian
banyak inovasi dalam bentuk aplikasi tersebut, dari survei mandiri yang saya
lakukan dengan bertanya kepada para kolega tempat aplikasi-aplikasi itu
dibentuk, sebagian aplikasi tersebut jarang dimanfaatkan oleh stakeholder. Para stakeholder lebih memilih untuk melakukan permohonan secara luring,
baik tatap muka langsung dengan bertemu di kantor maupun bersurat. Mengabaikan
aplikasi yang telah dibuat dengan mengerahkan sumber daya yang tidak sedikit.
Kebutuhan, atau lebih tepatnya, tuntutan akan
digitalisasi layanan publik merupakan sebuah keniscayaan yang harus dihadapi
oleh Pemerintah Indonesia secara umum dan DJKN secara khusus. Sebagai
organisasi yang ingin menjadi Distinguished Asset Manager, sentralisasi digitalisasi
layanan publik merupakan salah satu sarana untuk menunjukkan proses pengelolaan aset
negara yang handal. Saat ini beberapa negara sudah mulai menerapkan integrasi digitalisasi
layanannya, bahkan 300 layanan publik di Korea Selatan sudah dapat diakses
melalui ponsel. Untuk Indonesia sendiri, pengembangan sedang dilakukan di bawah
Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Integrasi e-government
yang berhasil akan memudahkan masyarakat dalam memperoleh pelayanan publik yang
dibutuhkan, sehingga kesejahteraan rakyat diharapkan dapat meningkat.
E-governmet pelayanan publik DJKN dapat menjadi sarana keterbukaan informasi
mengenai pengelolaan kekayaan negara dan lelang yang dapat meningkatkan
kepercayaan publik kepada DJKN maupun Kementerian Keuangan. Sebaliknya,
pembangunan sistem informasi/aplikasi yang tidak efektif dan tidak dimanfaatkan
oleh stakeholder tentunya menjadi sebuah pemborosan sumber daya milik
pemerintah.
Menurut Matias Daub dalam jurnal “Digital public services: How to achieve fast transformation at Scale”,
untuk menciptakan kelancaran penggunaan pelayanan publik melalui e-government, pemerintah harus melakukan
transformasi administrasi publik secara menyeluruh. Ada banyak hal
yang harus diperhatikan agar aplikasi-aplikasi yang dibuat benar-benar
dimanfaatkan oleh masyarakat
tanpa rasa bingung, sehingga aplikasi tidak mati suri dan menjadi bagian dari
pemborosan sumber daya.
Dalam jurnal “Digital
divide in ASEAN member state: analyzing the critical factors for succesful
e-government programs” menyebutkan faktor-faktor kegagalan atau keberhasilan
dari implementasi e-goverment. Faktor-faktor tersebut, yaitu kelembagaan,
kepemimpinan, sumber daya, faktor dalam organisasi dan antar organisasi.
Dalam hal kelembagaan, diperlukan komitmen untuk memprioritaskan
pengembangan dan penerapan e-government.
Stabilitas kelembagaan juga menjadi poin penting agar pengembangan digitalisasi
layanan publik dapat dilakukan secara berkelanjutan.
Faktor pimpinan, yaitu: (a) kemauan politik; (b) menyusun
visi yang jelas; (c) fokus pada tren baru dan tujuan strategis; (d)
memanfaatkan sumber untuk tujuan strategis; (e) menjamin implementasi rencana
organisasi, dan (f) menyediakan umpan balik dan motivasi. Ketika pemimpin
menunjukkan kemauan untuk mengadopsi dan memprioritaskan e-goverment, maka proses digitalisasi layanan digital akan berjalan
lebih mudah.
Sumber daya, baik finansial maupun sumber daya manusia,
akan sangat mempengaruhi adopsi dan implementasi e-government. Pembangunan infrastruktur yang merata ke seluruh
daerah untuk memastikan pengembangan digitalisasi dapat dinikmati oleh semua
masyarakat merupakan hal yang penting. Selain itu, kemampuan sumber daya
manusia yang akan menjadi operator juga adalah bagian yang tidak terpisahkan
dari pengembangan sebuah aplikasi.
Jika dalam sebuah organisasi memiliki: (a) rencana strategis
digitalisasi layanan; (b) struktur organisasi dan distribusi pengambilan
keputusan; (c) pengelolaan personel, maka sebuah organisasi lebih mungkin
melakukan percepatan penerapan e-government.
Dalam pengembangan sebuah sistem, struktur organisasi yang lebih fleksibel dan
pengambilan keputusan yang terdesentralisasi akan memudahkan eksekutor dalam
mengembangkan aplikasi.
Pengembangan e-government
memerlukan integrasi sistem antar kementerian dan lembaga. Tanpa diikuti oleh
rencana strategis gabungan, inovasi-inovasi yang sudah dikembangkan tidak akan
memberikan manfaat dan kemudahan yang optimal kepada masyarakat. Kementerian
sebagai unit teknis pelaksana, harus dapat bersinergi bersama Kementerian
PAN-RB dalam koordinasi Kementerian Kominfo.
Saat ini sudah terdapat beberapa aplikasi yang tersedia
dan terus dimanfaatkan untuk mendukung pelayanan di KPKNL. Namun,
aplikasi-aplikasi tersebut belum bersinergi dengan optimal. Aplikasi-aplikasi
tersebut juga belum mampu mengemas seluruh proses pelayanan yang dimulai dari
permohonan hingga produk dari pelayanan. Oleh karena itu, perlu peningkatan efektivitas
aplikasi-aplikasi sebagai salah satu bentuk dari e-government yang dapat masyarakat gunakan dari awal hingga akhir. Sehingga masyarakat tidak memerlukan terlalu
banyak aplikasi jika membutuhkan pelayanan dari KPKNL.
Salah satu mimpi penulis, ketika e-government berhasil
memberikan pelayanan terintegrasi adalah seseorang dapat melakukan
pembelian aset melalui lelang hingga mengurus balik nama aset tersebut, cukup
menggunakan satu akun dalam satu aplikasi sesuai dengan Nomor Induk
Kependudukan (NIK). Untuk bisa melakukan hal itu, aplikasi tersebut harus bisa
menyatukan beberapa proses bisnis dari beberapa unit, antara lain tetapi tidak
terbatas pada:
1.
DJKN untuk proses lelangnya;
2.
Perbankan untuk proses pembayarannya;
3.
DJP untuk proses kewajiban perpajakannya;
4.
SAMSAT/BPN untuk proses balik namanya.
Perlu koordinasi dari beberapa unit serta menekan ego
sektoral untuk menghasilkan e-government
yang seamless dan memudahkan pengguna. Oleh karena itu, kolaborasi
dengan unit-unit lain dalam menciptakan e-government
yang mampu mengakomodasi kepentingan tiap instansi untuk tujuan bersama, yaitu
kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Daftar Pustaka:
Apriliyanti
dkk. (2021). Digital divide in ASEAN
member state: analyzing the critical factors for succesful e-government
programs. Emerald Insight Vol. 45 No. 2.
Daub dkk. (2020). Digital
public services: How to achieve fast transformation at Scal. McKinsey &
Company: Public Sector Practice.