Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Cara Sehat Membuat Batasan Dengan Orang Lain
Ratih Prihatina
Rabu, 23 Februari 2022   |   31149 kali

Seringkali orang kesulitan untuk menetapkan batasan tentang dirinya, mereka takut bila menyinggung perasaan orang lain ketika berbicara tentang apa yang membuatnya kurang nyaman. Namun membuat batasan yang sehat sangat diperlukan. Kita harus belajar untuk bilang ‘tidak’ pada hal yang tidak kita sukai tanpa perlu melukai perasaan orang lain.

3 (tiga) hal penting dari buku ini :

  1. Jangan takut untuk membuat batasan

Kita sering mendengar bila komunikasi merupakan kunci hubungan yang sehat, itulah mengapa berbicara dari hati ke hati sangatlah penting. Kita tidak dapat membuat orang sekitar menyadari apa yang membuat kita tidak nyaman tanpa kita menyampaikan hal tersebut. Idealnya saat kita mengutarakan apa yang kita tidak sukai, maka barulah orang tersebut sadar apa yang salah. Tetapi kenyataannya tidak semudah itu, kita sering kesulitan menetapkan batasan dengan orang lain.

Contohnya kita ingin bilang ke teman kita agar ia berhenti curhat tentang masalah hidupnya ketika kita baru saja pulang kerja karena kita sendiri pun sedang dalam kondisi yang sangat lelah. Seringkali kita tidak memiliki ide bagaimana cara menyampaikan hal tersebut ke teman kita, kita takut dianggap sebagai orang yang kasar dan takut ia akan kecewa. Kita khawatir akan hal yang mungkin terjadi setelah kita menetapkan batasan. Padahal cara terbaik menetapkan batasan adalah memberitahu tentang apa yang kita sukai daripada apa masalahnya.

Misalnya, daripada kita bilang ke teman kita dengan kalimat “Aku tidak suka mendengarmu curhat tentang masalah hidupmu saat aku pulang kerja”, lebih baik kita katakan dengan kalimat “Eh, sepertinya waktu pulang kerja seperti ini bukan waktu yang pas buat ngomong topik yang berat deh, soalnya kepala saya juga masih penuh. Bagaimana kalau kita ngobrol yang ringan dahulu baru nanti kamu memceritakan apa yang kamu rasakan?”.

Seringkali kita lupa kalau sebenarnya kita juga punya kata-kata yang ingin kita sampaikan. Ada fakta yang menarik, bahwa sepanjang kita hidup kita belajar bahwa kita tidak boleh punya batasan. Misalnya saat kita berusia 2 (dua) tahun, kita sudah bisa bilang tidak untuk hal-hal yang tidak kita sukai. Sayangnya para orang dewasa menganggap hal ini sebagai hal yang buruk. Sedari kecil kita diajarkan untuk tidak boleh bilang tidak. Kadangkala kita tidak suka dipeluk, atau kita tidak suka akan makanan tertentu atau ada hal-hal yang tidak nyaman kita lakukan.

Saat kita dewasa, sebaiknya jangan biarkan masa lalu kita menentukan hidup kita saat ini. Kita berhak untuk mengambil alih lagi hidup kita dan sudah saatnya mulai memikirkan hal apa yang disukai dan tidak disukai. Saat situasinya tidak mendukung, kita berhak untuk bilang ‘tidak’. Perlu kita sadari tidak akan ada batasan tanpa rasa bersalah. Saat kita membuat batasan, kita mengakui dan merangkul bahwa rasa tidak bersalah itu merupakan bagian dari sebuah proses. Jangan biarkan rasa bersalah itu menjadi sebuah halangan, tetapi tumbuhkan kesadaran bahwa itu merupakan sebuah perasaan yang datang dan pergi.

  1. Apakah batasan itu penting

Saat kita mencoba membuat batasan, kita seringkali salah fokus karena kita hanya berfokus pada masalahnya. Misalnya kita tidak suka seseorang memperlakukan kita dengan cara tertentu, kita akan cenderung menyampaikan perbuatan mereka yang tidak kita sukai dan membicarakan perasaan kita akan hal tersebut. Jarang sekali kita secara tegas menyampaikan apa yang kita mau mereka lakukan dan bagaimana mereka harus bersikap ke depannya. Bagian ini amat penting karena orang harus mendengar dan benar-benar mengerti saat kita sedang membuat batasan. Contohnya, kita tidak suka orang tiba-tiba datang ke rumah kita, maka kita dapat menyampaikan ke orang tersebut untuk menelepon terlebih dahulu lain kali, bukan dengan langsung menyampaikan padanya bahwa kita tidak suka ia datang mendadak tanpa membuat janji.

Batasan diperlukan untuk menjaga ekspektasi semua orang untuk merasa aman dan nyaman ketika berinteraksi. Saat kita bilang ‘tidak’, itu bukanlah tanda kalau kita egois tetapi merupakan tanda sayang kita kepada diri sendiri. Tanda-tanda yang dapat dikenali saat kita membutuhkan batasan, misalnya saat kita merasa kewalahan, merasa kesal pada orang lain yang meminta tolong pada kita, burn-out dan lain sebagainya.

Untuk lebih memahaminya, penulis buku membagi 3 (tiga) level batasan, yakni :

a.         POROUS BOUNDARIES

Porous boundaries merupakan keadaan saat kita tidak punya batasan atau hanya memiliki batasan yang lemah. Batasan jenis ini dapat terjadi karena kita tidak mengkomunikasikannya dengan baik atau kita tidak menindaklanjuti batasan yang telah kita buat. Beberapa tanda saat kita berada pada porous boundaries : selalu bilang ‘iya’, telalu banyak berbagi informasi apapun, selalu berusaha menyenangkan orang lain dan sebagainya.

Contoh porous boundaries : Lina adalah pegawai pada sebuah perusahaan yang menangani transaksi keuangan perusahaan. Lina merupakan pribadi yang sering merasa tidak enakan terhadap orang lain, ia cerdas, tekun, dan pandai tetapi selalu ragu untuk mengemukakan pendapat atau menyampaikan keinginan-keinginannya. Ada suatu hari dimana ia begitu sibuk dikarenakan hari itu merupakan hari deadline pelaporan keuangan, ia harus membukuan ribuan transaksi keluar masuk uang perusahaan. Di saat bersamaan, Lina harus mempersiapkan data-data yang diminta auditor yang sedang mengaudit keuangan perusahaan tempat ia bekerja. Ia harus menyiapkan bahan rapat pimpinannya pula di hari itu. Nahas untuk Lina, temannya, Ari meminta tolong untuk membuatkan laporan perpajakan pribadinya yang memang sudah masuk periode pelaporan. Lina tentu saja sudah keteteran, tetapi ia takut jika menolak permintaan bantuan Ari tersebut, Ari akan tersinggung dan membuat hubungan pertemanan mereka menjadi renggang. Lina pun dengan berat menyanggupi permintaan Ari, dengan konsekuensi akan lembur dia hari itu dan burn-out pada pikiran Lina.

b.        RIGID BOUNDARIES

Rigid boundaries dapat dikatakan sebagai kutub yang berlawanan dengan porous boundaries. Gampangnya, kita membuat jarak yang tidak terlihat dengan orang lain.  Ciri kalau kita berada dalam rigid boundaries, misalnya memiliki aturan yang sangat ketat, tidak pernah bercerita apapun kepada orang lain, ingin terlihat tangguh di depan orang lain dan sebagainya.

Contoh rigid boundaries : Handi merupakan teman kerja Lina di perusahaan yang sama. Handi memiliki kepribadian tertutup sejak kecil. Ia berusaha sebisa mungkin untuk tidak bercerita kesulitan-kesulitan, kehidupan pribadinya atau keinginan-keinginannya. Pun demikian ia menjaga jarak yang menurutnya cukup lebar, agar orang lain tak banyak bercerita tentang kehidupan mereka, yang menurut Handi itu membosankan, melelahkan untuk ia dengar, dan tak sebanding dengan apa yang telah ia lalui. Menurutnya, terlalu banyak berhubungan dengan orang lain akan amat merepotkan bagi Handi. Ia merasa kehidupannya sudah cukup, dengan datang bekerja, mengerjakan bagiannya saja, kemudian pulang ke rumah tanpa harus banyak berinteraksi dengan orang lain di lingkungan pekerjaan atau di tempat yang lainnya.

c.       HEALTHY BOUNDARIES

Healthy boundaries merupakan pendekatan yang paling ideal. Hal ini dapat terwujud ketika kita menyadari kapasitas emosional, mental dan fisik kita disertai dengan komunikasi yang jelas. Kita belajar untuk dengan nyaman bilang ‘tidak’, mendengarkan pendapat sendiri dan mempunyai percakapan dengan orang yang dipercaya mengenai batasan yang kita buat. Di sisi lain, kita sudah dapat pula menghargai batasan orang lain dan nyaman ketika orang lain bilang ‘tidak’ tanpa harus merasa tersinggung.

Contoh healthy boundaries : Lina, pada contoh kasus porous boundaries, akhirnya menyadari bahwa apa yang ia terapkan pada kehidupannya merupakan sesuatu yang menyakiti mental dan fisiknya. Ia belajar dan mulai paham akan artinya batasan yang sehat dalam lingkungan kehidupannya. Maka dalam hari sibuk Lina yang lainnya, ketika Ari kembali meminta tolong suatu urusan yang seharusnya merupakan urusan/pekerjaan pribadi Ari, Lina menyampaikan pada Ari bahwa mungkin Ari dapat belajar terlebih dahulu agar dapat mengerjakan urusannya sendiri sembari menunggu waktu lengang Lina. Dan jika sampai Lina selesai mengerjakan pekerjaannya dan Ari belum juga dapat mengerjakan urusannya sendiri, barulah Lina akan membantu mengajari Ari bagaimana mengerjakan hal tersebut. Lina belajar bahwa rasa bersalah karena menolak permintaan bantuan Ari adalah sebuah hal yang tak dapat dihindarinya, tetapi itu adalah hal terbaik bagi kesehatannya sendiri.

 

3.       Menciptakan batasan dalam hubungan

Kita sering merasa bahwa membuat batasan itu cukup sulit. Misalnya dalam lingkungan kerja, tidak akan ada namanya karyawan sempurna. Kita bisa punya batasan dan sekaligus dapat menjadi karyawan yang baik. Kita perlu mengingat, bahwa waktu yang kita habiskan dalam lingkungan pekerjaan rata-rata adalah sepertiga dari waktu kita seharinya (rata-rata 7-8 jam waktu kerja di kantor). Maka karena panjangnya waktu tersebut, kondisi kerja yang nyaman perlu diciptakan. Bagaimana jika orang lain selalu melanggar batasan yang kita buat? Pada dasarnya setiap orang pasti pernah melanggar batasan milik orang lain. Yang paling penting adalah membangun konsistensi dan konsekuensi. Konsistensi untuk terus menyampaikan batasan yang kita buat dan mengingatkan konsekuensi apabila batasan itu dilanggar.

Membuat batasan bukan untuk membuat jarak antara diri kita dengan orang lain, namun membuat batasan yang sehat adalah upaya untuk menciptakan hubungan yang nyaman.

 

Disusun oleh : Ratih Prihatina / Pelaksana Seksi Hukum dan Informasi KPKNL Pekalongan

Sumber :

(1)      Tawwab, Nedra Glover. 2021. Set Boundaries, Find Peace: A Guide to Reclaiming Yourself.

                    (2) “Cara Membuat Batasan dengan Orang Lain II Set Boudaries”, diunggah oleh Si Kutu Buku, 03 Februari 2022 (Video). https://youtu.be/Pel97YsxE3g.

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini