Seringkali
orang kesulitan untuk menetapkan batasan tentang dirinya, mereka takut bila
menyinggung perasaan orang lain ketika berbicara tentang apa yang membuatnya
kurang nyaman. Namun membuat batasan yang sehat sangat diperlukan. Kita harus
belajar untuk bilang ‘tidak’ pada hal yang tidak kita sukai tanpa perlu melukai
perasaan orang lain.
3 (tiga) hal penting dari buku ini :
Kita
sering mendengar bila komunikasi merupakan kunci hubungan yang sehat, itulah
mengapa berbicara dari hati ke hati sangatlah penting. Kita tidak dapat membuat
orang sekitar menyadari apa yang membuat kita tidak nyaman tanpa kita
menyampaikan hal tersebut. Idealnya saat kita mengutarakan apa yang kita tidak
sukai, maka barulah orang tersebut sadar apa yang salah. Tetapi kenyataannya
tidak semudah itu, kita sering kesulitan menetapkan batasan dengan orang lain.
Contohnya
kita ingin bilang ke teman kita agar ia berhenti curhat tentang masalah
hidupnya ketika kita baru saja pulang kerja karena kita sendiri pun sedang
dalam kondisi yang sangat lelah. Seringkali kita tidak memiliki ide bagaimana
cara menyampaikan hal tersebut ke teman kita, kita takut dianggap sebagai orang
yang kasar dan takut ia akan kecewa. Kita khawatir akan hal yang mungkin
terjadi setelah kita menetapkan batasan. Padahal cara terbaik menetapkan
batasan adalah memberitahu tentang apa yang kita sukai daripada apa masalahnya.
Misalnya,
daripada kita bilang ke teman kita dengan kalimat “Aku tidak suka mendengarmu
curhat tentang masalah hidupmu saat aku pulang kerja”, lebih baik kita katakan
dengan kalimat “Eh, sepertinya waktu pulang kerja seperti ini bukan waktu yang
pas buat ngomong topik yang berat deh, soalnya kepala saya juga masih penuh.
Bagaimana kalau kita ngobrol yang ringan dahulu baru nanti kamu memceritakan
apa yang kamu rasakan?”.
Seringkali
kita lupa kalau sebenarnya kita juga punya kata-kata yang ingin kita sampaikan.
Ada fakta yang menarik, bahwa sepanjang kita hidup kita belajar bahwa kita
tidak boleh punya batasan. Misalnya saat kita berusia 2 (dua) tahun, kita sudah
bisa bilang tidak untuk hal-hal yang tidak kita sukai. Sayangnya para orang
dewasa menganggap hal ini sebagai hal yang buruk. Sedari kecil kita diajarkan
untuk tidak boleh bilang tidak. Kadangkala kita tidak suka dipeluk, atau kita
tidak suka akan makanan tertentu atau ada hal-hal yang tidak nyaman kita
lakukan.
Saat
kita dewasa, sebaiknya jangan biarkan masa lalu kita menentukan hidup kita saat
ini. Kita berhak untuk mengambil alih lagi hidup kita dan sudah saatnya mulai
memikirkan hal apa yang disukai dan tidak disukai. Saat situasinya tidak
mendukung, kita berhak untuk bilang ‘tidak’. Perlu kita sadari tidak akan ada
batasan tanpa rasa bersalah. Saat kita membuat batasan, kita mengakui dan
merangkul bahwa rasa tidak bersalah itu merupakan bagian dari sebuah proses.
Jangan biarkan rasa bersalah itu menjadi sebuah halangan, tetapi tumbuhkan
kesadaran bahwa itu merupakan sebuah perasaan yang datang dan pergi.
Saat
kita mencoba membuat batasan, kita seringkali salah fokus karena kita hanya
berfokus pada masalahnya. Misalnya kita tidak suka seseorang memperlakukan kita
dengan cara tertentu, kita akan cenderung menyampaikan perbuatan mereka yang
tidak kita sukai dan membicarakan perasaan kita akan hal tersebut. Jarang
sekali kita secara tegas menyampaikan apa yang kita mau mereka lakukan dan
bagaimana mereka harus bersikap ke depannya. Bagian ini amat penting karena
orang harus mendengar dan benar-benar mengerti saat kita sedang membuat
batasan. Contohnya, kita tidak suka orang tiba-tiba datang ke rumah kita, maka
kita dapat menyampaikan ke orang tersebut untuk menelepon terlebih dahulu lain
kali, bukan dengan langsung menyampaikan padanya bahwa kita tidak suka ia
datang mendadak tanpa membuat janji.
Batasan
diperlukan untuk menjaga ekspektasi semua orang untuk merasa aman dan nyaman
ketika berinteraksi. Saat kita bilang ‘tidak’, itu bukanlah tanda kalau kita
egois tetapi merupakan tanda sayang kita kepada diri sendiri. Tanda-tanda yang
dapat dikenali saat kita membutuhkan batasan, misalnya saat kita merasa
kewalahan, merasa kesal pada orang lain yang meminta tolong pada kita, burn-out
dan lain sebagainya.
Untuk
lebih memahaminya, penulis buku membagi 3 (tiga) level batasan, yakni :
a.
POROUS BOUNDARIES
Porous boundaries merupakan keadaan saat kita tidak punya
batasan atau hanya memiliki batasan yang lemah. Batasan jenis ini dapat terjadi
karena kita tidak mengkomunikasikannya dengan baik atau kita tidak
menindaklanjuti batasan yang telah kita buat. Beberapa tanda saat kita berada
pada porous boundaries : selalu bilang ‘iya’, telalu banyak berbagi informasi
apapun, selalu berusaha menyenangkan orang lain dan sebagainya.
Contoh porous boundaries : Lina adalah pegawai pada sebuah
perusahaan yang menangani transaksi keuangan perusahaan. Lina merupakan pribadi
yang sering merasa tidak enakan terhadap orang lain, ia cerdas, tekun, dan
pandai tetapi selalu ragu untuk mengemukakan pendapat atau menyampaikan
keinginan-keinginannya. Ada suatu hari dimana ia begitu sibuk dikarenakan hari
itu merupakan hari deadline pelaporan keuangan, ia harus membukuan ribuan
transaksi keluar masuk uang perusahaan. Di saat bersamaan, Lina harus
mempersiapkan data-data yang diminta auditor yang sedang mengaudit keuangan
perusahaan tempat ia bekerja. Ia harus menyiapkan bahan rapat pimpinannya pula
di hari itu. Nahas untuk Lina, temannya, Ari meminta tolong untuk membuatkan
laporan perpajakan pribadinya yang memang sudah masuk periode pelaporan. Lina
tentu saja sudah keteteran, tetapi ia takut jika menolak permintaan bantuan Ari
tersebut, Ari akan tersinggung dan membuat hubungan pertemanan mereka menjadi
renggang. Lina pun dengan berat menyanggupi permintaan Ari, dengan konsekuensi
akan lembur dia hari itu dan burn-out pada pikiran Lina.
b.
RIGID BOUNDARIES
Rigid boundaries dapat dikatakan sebagai kutub yang
berlawanan dengan porous boundaries. Gampangnya, kita membuat jarak yang tidak
terlihat dengan orang lain. Ciri kalau
kita berada dalam rigid boundaries, misalnya memiliki aturan yang sangat ketat,
tidak pernah bercerita apapun kepada orang lain, ingin terlihat tangguh di
depan orang lain dan sebagainya.
Contoh rigid boundaries : Handi merupakan teman kerja Lina
di perusahaan yang sama. Handi memiliki kepribadian tertutup sejak kecil. Ia
berusaha sebisa mungkin untuk tidak bercerita kesulitan-kesulitan, kehidupan
pribadinya atau keinginan-keinginannya. Pun demikian ia menjaga jarak yang
menurutnya cukup lebar, agar orang lain tak banyak bercerita tentang kehidupan
mereka, yang menurut Handi itu membosankan, melelahkan untuk ia dengar, dan tak
sebanding dengan apa yang telah ia lalui. Menurutnya, terlalu banyak
berhubungan dengan orang lain akan amat merepotkan bagi Handi. Ia merasa
kehidupannya sudah cukup, dengan datang bekerja, mengerjakan bagiannya saja,
kemudian pulang ke rumah tanpa harus banyak berinteraksi dengan orang lain di
lingkungan pekerjaan atau di tempat yang lainnya.
c.
HEALTHY BOUNDARIES
Healthy boundaries merupakan pendekatan yang paling ideal.
Hal ini dapat terwujud ketika kita menyadari kapasitas emosional, mental dan
fisik kita disertai dengan komunikasi yang jelas. Kita belajar untuk dengan
nyaman bilang ‘tidak’, mendengarkan pendapat sendiri dan mempunyai percakapan
dengan orang yang dipercaya mengenai batasan yang kita buat. Di sisi lain, kita
sudah dapat pula menghargai batasan orang lain dan nyaman ketika orang lain
bilang ‘tidak’ tanpa harus merasa tersinggung.
Contoh healthy boundaries : Lina, pada contoh kasus porous
boundaries, akhirnya menyadari bahwa apa yang ia terapkan pada kehidupannya
merupakan sesuatu yang menyakiti mental dan fisiknya. Ia belajar dan mulai
paham akan artinya batasan yang sehat dalam lingkungan kehidupannya. Maka dalam
hari sibuk Lina yang lainnya, ketika Ari kembali meminta tolong suatu urusan
yang seharusnya merupakan urusan/pekerjaan pribadi Ari, Lina menyampaikan pada
Ari bahwa mungkin Ari dapat belajar terlebih dahulu agar dapat mengerjakan
urusannya sendiri sembari menunggu waktu lengang Lina. Dan jika sampai Lina
selesai mengerjakan pekerjaannya dan Ari belum juga dapat mengerjakan urusannya
sendiri, barulah Lina akan membantu mengajari Ari bagaimana mengerjakan hal
tersebut. Lina belajar bahwa rasa bersalah karena menolak permintaan bantuan
Ari adalah sebuah hal yang tak dapat dihindarinya, tetapi itu adalah hal
terbaik bagi kesehatannya sendiri.
3.
Menciptakan batasan dalam hubungan
Kita sering merasa bahwa membuat batasan itu cukup sulit.
Misalnya dalam lingkungan kerja, tidak akan ada namanya karyawan sempurna. Kita
bisa punya batasan dan sekaligus dapat menjadi karyawan yang baik. Kita perlu
mengingat, bahwa waktu yang kita habiskan dalam lingkungan pekerjaan rata-rata
adalah sepertiga dari waktu kita seharinya (rata-rata 7-8 jam waktu kerja di
kantor). Maka karena panjangnya waktu tersebut, kondisi kerja yang nyaman perlu
diciptakan. Bagaimana jika orang lain selalu melanggar batasan yang kita buat?
Pada dasarnya setiap orang pasti pernah melanggar batasan milik orang lain.
Yang paling penting adalah membangun konsistensi dan konsekuensi. Konsistensi
untuk terus menyampaikan batasan yang kita buat dan mengingatkan konsekuensi
apabila batasan itu dilanggar.
Membuat batasan bukan untuk membuat jarak antara diri kita
dengan orang lain, namun membuat batasan yang sehat adalah upaya untuk
menciptakan hubungan yang nyaman.
Disusun oleh : Ratih Prihatina / Pelaksana Seksi Hukum dan Informasi KPKNL Pekalongan
Sumber :
(1) Tawwab, Nedra Glover. 2021. Set Boundaries, Find Peace: A Guide to Reclaiming Yourself.
(2) “Cara
Membuat Batasan dengan Orang Lain II Set Boudaries”, diunggah oleh Si Kutu
Buku, 03 Februari 2022 (Video). https://youtu.be/Pel97YsxE3g.