Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Palopo > Artikel
Putusan Serta Merta (Uitvoerbaar Bij Voorraad), Antara Manfaat dan Mudharat
Rahmat Ibnu Wibowo
Jum'at, 24 September 2021   |   32236 kali

Interaksi antar manusia di dalam masyarakat, maupun interaksi antara masyarakat dengan n

egara, diatur dan dibatasi oleh seperangkat peraturan atau ketentuan hukum. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari komitmen para founding fathers negara kita, bahwa Indonesia adalah negara yang berlandaskan aturan hukum “Rechtsstaat” sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

Bahwa salah satu bagian dari aturan hukum tersebut adalah hukum perdata, dimana hukum perdata mengatur hubungan hukum antara orang atau badan hukum yang satu dengan orang atau badan hukum yang lain, sehingga disebut juga sebagai hukum privat. Hukum perdata mengatur substansi hak dan kewajiban pihak-pihak dalam hubungan hukum, atau disebut juga dengan hukum perdata materiil.

Adapun peraturan hukum yang berfungsi mempertahankan berlakunya hukum perdata, diatur dalam hukum acara perdata. Hukum acara perdata dirumuskan sebagai peraturan hukum yang mengatur proses penyelesaian perkara perdata melalui pengadilan, sejak diajukan gugatan sampai dengan pelaksanaan putusan pengadilan. (Abdulkadir Muhammad. 2008. Hukum Acara Perdata Indonesia).

Dalam hukum acara perdata, pada dasarnya hakim dilarang memutus hal-hal yang tidak diminta atau mengabulkan lebih daripada yang digugat oleh penggugat. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 189 ayat (3) Rechts Reglement Voor de Buitengewesten (RBg) dan Pasal 178 ayat (2) Herziene Inlandsch Reglement (H.I.R). Terlihat bahwa kebebasan bagi seorang hakim, hanya meliputi kewenangan untuk menyelesaikan sengketa yang dikemukakan oleh para pihak, kemudian menjatuhkan putusan. Namun demikian, dalam perkembangannya asas hakim pasif tersebut, telah mengalami pergeseran sebagaimana tampak pada yurisprudensi berikut:

1.    Putusan Mahkamah Agung RI No. 964 K/Pdt/1986 tanggal 1 Desember 1988. (Hakim dalam mengadili perkara perdata dapat memberikan amar atau diktum putusan melebihi petitum asal tidak melebihi posita gugatan).

2.    Putusan Mahkamah Agung RI No. 556 K/Sip/1971 tanggal 8 Januari 1972. (Pengadilan dapat mengabulkan lebih dari yang digugat asal masih sesuai dengan kejadian material).

3.    Putusan Mahkamah Agung RI No. 425 K/Sip/1975 tanggal 15 Juli 1975. (Mengabulkan lebih dari petitum diizinkan, asal saja sesuai dengan posita).

(Sulaiman, Alfin SH, MH. 2017. “Pergeseran Asas “Hakim Bersifat Pasif” dalam Hukum Acara Perdata”, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5779f8461e551/pergeseran-asas-hakim-bersifat-pasif-dalam-hukum-acara-perdata, diakses pada 15 September 2021, pukul 16:38 WITA).

Suatu putusan dalam persidangan perdata adalah puncak dari suatu proses pencarian kebenaran hukum yang dilakukan hakim berdasarkan prinsip-prinsip dan asas-asas hukum acara perdata. Putusan yang merupakan puncak dari perkara perdata, yang diajukan oleh pihak yang bersangkutan kepada pengadilan, memiliki tujuan untuk mendapat pemecahan atau penyelesaian atas suatu perkara.

Mengacu pada Pasal 206 dan 207 RBg atau Pasal 195 dan 196 H.I.R, pemenuhan suatu putusan, baru dapat dilaksanakan baik secara sukarela maupun secara paksa melalui eksekusi, apabila putusan pengadilan tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Pelaksanaan putusan Hakim, harus menunggu sampai seluruh putusan mempunyai kekuatan hukum tetap, meskipun salah satu pihak (Tergugat), tidak mengajukan banding atau kasasi. Pelaksanaan putusan pada dasarnya harus menunggu sampai dengan berakhirnya tenggang waktu (daluarsa) untuk melakukan upaya hukum, hingga akhirnya putusan itu mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Suatu putusan, untuk memperoleh kekuatan hukum tetap, seringkali harus menunggu waktu yang lama, bahkan hingga bertahun-tahun, terutama bila para pihak yang berperkara mengajukan upaya hukum baik berupa perlawanan, banding maupun kasasi.

Pengecualian dari prinsip tersebut adalah dengan adanya putusan serta merta (uitvoerbaar bij voorraad), yaitu bahwa putusan serta merta dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun masih ada upaya hukum baik perlawanan, banding maupun kasasi. Putusan serta merta merupakan terobosan sebagai upaya perwujudan dari asas “Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan” yang merupakan salah satu asas penting hukum acara, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (4) Undang - Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Permintaan putusan serta merta dalam suatu gugatan pada dasarnya adalah hak penggugat. Artinya, setiap orang yang mengajukan gugatan di pengadilan berhak untuk meminta kepada majelis hakim agar permintaan putusan serta merta-nya (uitvoerbaar bij voorraad) dapat dikabulkan. Namun, apakah permintaan tersebut akan dikabulkan atau tidak, tergantung pada hakim yang memutus perkara tersebut nantinya.

Pengaturan putusan serta merta dari waktu ke waktu.

Dasar hukum putusan serta merta (uitvoerbaar bij voorraad) tersebut antara lain Pasal 180 ayat (1) HIR, Pasal 191 ayat (1) Rbg dan Pasal 332 Rv.

Bunyi Pasal-nya adalah sebagai berikut :

  1. Pengadilan Negeri boleh memerintahkan supaya keputusan dijalankan dahulu, walaupun keputusan itu dibantah atau diminta banding, jika ada surat yang sah, satu surat tulisan yang menurut peraturan yang laku (berlaku) untuk itu berkekuatan bukti, atau jika ada hukuman dahulu dengan keputusan yang sudah mendapat kekuatan keputusan yang pasti, demikian juga jika tuntutan sementara dikabulkan, tambahan pula dalam perselisihan hak.
  2. Akan tetapi hal menjalankan keputusan dahulu tidak boleh diluluskan sampai kepada penyandraan.

Dalam perkembangannya, untuk membatasi banyaknya putusan serta merta, maka Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.13 tahun 1964 yang pada prinsipnya melarang penerapan putusan serta merta.

“….maka dengan ini Mahkamah Agung sekali lagi menginstruksikan agar sedapat mungkin jangan memberikan Putusan yang dapat dijalankan lebih dahulu, atau apabila benar-benar dipandang perlu memberikan Putusan serupa itu, pelaksanaannya harus mendapatkan persetujuan lebih dahulu dari Mahkamah Agung.”

Tidak berlangsung lama, pada tahun 1969  dikeluarkan kembali Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.5 tahun 1969, yang intinya menyerahkan kebijaksanaan permintaan pelaksanaan Putusan serta merta yang sesuai SEMA No. 13/1964  harus mendapatkan persetujuan dari Mahkamah Agung (MA) kepada Pengadilan Tinggi.

Dalam perkembangan berikutnya, akhirnya Putusan serta merta kembali dapat dilaksanakan setelah SEMA No.13 Tahun 1964 dan SEMA No.5 Tahun 1969 dicabut dengan SEMA No.3 Tahun 1971 yang menyebutkan :

“Surat-surat Edaran tersebut (SEMA No.13 Tahun 1964 dan SEMA No.5 Tahun 1969), dikeluarkan berdasarkan kenyataan bahwa sementara Hakim hakim pada Pengadilan Negeri tidak atau kurang memperhatikan syarat-syarat yang ditentukan dalam Undang- Undang mengenai lembaga “Uitvoerbaar bij voorraad” seperti diuraikan dalam pasal 180 (1) HIR dan pasal191 (1) Rbg.

“Keadaan itu sudah barang tentu tidak dapat dipertahankan terus menerus dan Mahkamah Agung memandang sudah tiba saatnya untuk mengakhiri keadaan itu dengan mempercayakan penetrapan Lembaga ”Uitvoerbaar bij voorraad” kepada Pengadilan Negeri sebagaimana ditentukan oleh undang-undang.”

“Maka dengan ini, Mahkamah Agung menyatakan Mencabut Surat Edaran No.13/1964 dan No.5/1969.”

Pada tahun 1975  kembali dikeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 6 Tahun 1975 tanggal 1 Desember 1975 yang pada prinsipnya menambah persyaratan dalam memberikan putusan uitvoerbaar bij vooraad.

“Dimana dalam perundang-undangan (Pasal 180 ayat 1) diberikan kewenangan diskretioner kepada Hakim yang tidak imperatif sifatnya, maka dengan ini diminta kepada Saudara, agar supaya Saudara tidak menjatuhkan keputusan walaupun syarat-syarat dalam pasal 180 ayat (1) HIR/191 ayat (1) RBG telah dipenuhi.

“Hanya dalam hal-hal yang tidak dapat dihindarkan, keputusan demikian yang sangat exceptionil silatnya dapat dijatuhkan.”

Pemberlakukan putusan serta merta saat Ini.

Dasar dalam melaksanakan putusan serta merta yang berlaku saat ini adalah:

1.    SEMA No. 3 Tahun 2000 tentang Putusan Serta Merta (Uitvoerbaar Bij Vooraad) dan Provisional.

2.    SEMA No. 4 Tahun 2001 tentang Permasalahan Putusan Serta Merta (Uitvoerbaar Bij Vooraad) dan Provisional.

Berdasarkan   Surat Edaran Mahkamah Agung No.3 Tahun 2000, putusan serta merta dapat dikeluarkan jika:

a.    gugatan berdasarkan pada bukti surat autentik atau surat tulisan tangan yang tidak dibantah kebenaran tentang isi dan tanda tangannya oleh pihak lawan;

b.    gugatan tentang utang piutang yang jumlahnya sudah pasti dan tidak dibantah;

c.    gugatan tentang sewa menyewa tanah, rumah, gudang, dan lain-lain dimana hubungan sewa menyewa sudah habis/lampau atau penyewa terbukti melalaikan kewajibannya sebagai penyewa beritikad baik;

d.    gugatan mengenai pembagian harta perkawinan (gono gini) setelah putusan mengenai gugatan cerai mempunyai kekuatan hukum tetap;

e.    dikabulkannya gugatan provisionil dengan pertimbangan hukum yang tegas dan jelas serta memenuhi Pasal 332 Rv;

f.     gugatan berdasarkan Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracth van gewijsde) dan mempunyai hubungan dengan pokok gugatan yang diajukan; dan

g.    pokok sengketa mengenai bezitsrecht.

Lebih lanjut dalam Poin 6 dan 7 SEMA No. 3 Tahun 2000 disebutkan beberapa hal-hal yang perlu diperhatikan ketika ingin melaksanakan putusan serta merta tersebut, yaitu :

1.    Apabila Penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan Agama agar Putusan Serta Merta dan Putusan Provisionil dilaksanakan, maka permohonan tersebut beserta berkas perkara selengkapnya dikirim ke Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Tinggi Agama disertai pendapat dari Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan Agama yang bersangkutan.

2.    Adanya pemberian jaminan yang nilainya sama dengan nilai barang/objek eksekusi, sehingga tidak menimbulkan kerugian pada pihak lain, apabila ternyata di kemudian hari dijatuhkan putusan yang membatalkan putusan Pengadilan Tingkat Pertama.

Adanya pemberian jaminan tersebut dikuatkan dalam SEMA No. 4 Tahun 2001 yang menyebutkan :

Setiap kali akan melaksanakan putusan serta merta (Uitvoerbaar bij Voorraad), harus disertai penetapan sebagaimana diatur dalam butir 7 SEMA No. 3 tahun 2000 yang menyatakan:

“Adanya pemberian jaminan yang nilainya sama dengan nilai barang/objek eksekusi sehingga tidak menimbulkan kerugian pada pihak lain apabila ternyata dikemudikan hari dijatuhkan putusan yang membatalkan putusan Pengadilan Tingkat Pertama”

Tanpa jaminan tersebut, tidak boleh ada pelaksanaan putusan serta merta. Selanjutnya apabila Majelis akan mengabulkan permohonan serta merta, harus memberitahukan kepada Ketua Pengadilan.

(Redaksi, 2020. “Memahami Putusan Serta Merta (Uitvoerbaar Bij Voorraad)”, https://doktorhukum.com/memahami-putusan-serta-merta-uitvoerbarr-bij-voorraad/, diakses pada 17 September 2021, pukul 18:55 WITA).

Dengan demikan, agar putusan serta merta dapat dikabulkan dan dilaksanakan, maka Penggugat berkewajiban memberikan jaminan yang menutupi nilai barang atau objek perselisihan dengan jumlah yang cukup untuk menutup kerugian yang mungkin diterima oleh tergugat, mengantisipasi apabila dikemudian hari ternyata putusan serta merta tersebut, dianulir oleh putusan pengadilan yang lebih tinggi. Majelis Hakim yang akan mengabulkan permohonan serta merta, juga harus memberitahukan kepada Ketua Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama, yang selanjutnya pendapat dari Ketua Pengadilan Negeri atau Ketua Pengadilan Agama tersebut, dikirim ke Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Tinggi Agama beserta berkas perkara secara lengkap.

Berdasarkan uraian yang telah penulis sampaikan, penulis berpendapat bahwa adanya pelaksanaan putusan serta merta, hakikatnya didasari adanya kebutuhan akan pemenuhan asas “Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan” yang merupakan salah satu asas mendasar dalam beracara, sehingga putusan serta merta dianggap sebagai shortcut bagi para pencari keadilan, untuk bisa segera mendapatkan haknya, meskipun ada upaya hukum yang sedang dilaksanakan oleh pihak lain, baik perlawanan, banding maupun kasasi, dimana kondisi tersebut dilatar belakangi fakta bahwa suatu putusan, untuk memperoleh kekuatan hukum tetap, seringkali harus menunggu waktu yang cukup lama, bahkan hingga bertahun-tahun, terutama bila para pihak yang berperkara mengajukan upaya hukum baik perlawanan, banding, maupun kasasi.

Namun demikian, solusi tersebut rupanya belum mencerminkan sebuah kondisi yang ideal, belum menggambarkan seperti apa yang menjadi motto salah satu BUMN negeri ini yaitu “menyelesaikan masalah tanpa masalah”. Permasalahan yang seringkali timbul utamanya apabila putusan banding atau kasasi, ternyata bertentangan dengan putusan serta merta di tingkat pertama, sehingga harus dilaksanakan eksekusi untuk mengembalikan atau memulihkan kembali kepada kondisi semula, sebelum diadakan pelaksanaan putusan (restitutio in integrum). Misalkan saja objek sengketa yang telah dieksekusi berdasarkan putusan serta merta tersebut, telah pula dialihkan kepemilikannya kepada pihak ketiga, tentu restitutio in integrum tidaklah mudah, ada potensi gugatan balik dari pihak ketiga yang merasa telah beritikad baik dalam melaksanakan pembelian atas objek sengketa (apalagi bila pihak ketiga tidak cukup mengetahui bahwa objek yang dibeli merupakan objek sengketa).

Bahwa adanya kewajiban pemberian jaminan yang nilainya sama dengan nilai barang/objek eksekusi, juga bukan merupakan sebuah solusi yang tanpa masalah. Seringkali menjadi pertanyaan, apakah nilai jaminan, benar-benar sama dengan nilai barang/objek eksekusi? siapa yang berhak atau memiliki kapabilitas untuk menenetukan atau menguji nilai barang jaminan? Belum lagi soal teknis, semisal permasalahan penyimpanan dan pengamanan, baik sertipikat-sertipikat kepemilikan, maupun fisik aset (yang menjadi jaminan) selama perkara belum memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).

Bahkan salah seorang hakim senior yang pernah menjabat sebagai Ketua Mahkamah Agung yaitu Prof. Bagir Manan pernah meminta para hakim untuk tidak gegabah membuat putusan serta merta, karena putusan serta merta lebih banyak membawa masalah daripada manfaat. Prof. Bagir Manan mengungkapkan permintaan itu pada acara pelantikan lima kepala pengadilan tinggi di Gedung Mahkamah Agung, Jalan Merdeka Utara, Jakarta, Selasa (26/3).

(Hukumonline, 2007. “Seputar Gagasan Menghapus Putusan Serta Merta”, https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol16473/seputar-gagasan-menghapus-putusan-serta-merta, diakses pada 23 September 2021, pukul 15:45 WITA).

Pada sisi yang lain, adanya kewajiban bagi Majelis Hakim (yang akan mengabulkan permohonan serta merta), untuk memberitahukan kepada Ketua Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama, menurut hemat penulis, sedikit “mengganggu” prinsip kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara sebagaimana diatur dalam Pasal 24 UUD 1945 jo. Pasal 39 ayat (4) UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Dengan demikian kesimpulan dalam pandangan penulis adalah, bahwa putusan serta merta (Uitvoerbaar Bij Vooraad), sebagai sebuah solusi atas berlarut larutnya suatu proses perkara perdata, dalam mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum tetap, kiranya hanya dilaksanakan untuk kondisi tertentu yang sangat urgent dan telah memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam SEMA No. 3 Tahun 2000 dan SEMA No. 4 Tahun 2001. Adapun yang seyogiayanya kita dorong bersama sebagai warga Negara adalah reformasi birokrasi secara menyeluruh pada lembaga peradilan, guna mewujudkan prinsip “peradilan dilaksanakan secara sederhana, cepat, dan biaya ringan”, dimana hal tersebut saat ini relatif mulai nampak dengan adanya berbagai upaya perbaikan dalam layanan beracara oleh lembaga peradilan. Apabila tren perbaikan layanan beracara oleh lembaga peradilan tersebut, dapat terlaksana secara massif dan konsisten, maka cita-cita Negara Indonesia sebagai Negara Hukum yang mengayomi seluruh lapisan masyarakat, kiranya dapat benar-benar terwujud, dan tegaknya keadilan dapat dirasakan kehadirannya di tengah-tengah seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian, keberadaan putusan serta merta, dengan sendirinya tidak lagi dianggap sebagai sebuah kebutuhan.

 

Penulis : Rahmat Ibnu Wibowo (Kepala Seksi Hukum dan Informasi KPKNL Palopo)

 

Referensi :

Undang – Undang Dasar Tahun 1945

Rechtsreglement Voor de Buitengewesten (RBg) dan Herziene Inlandsch Reglement (H.I.R)

Undang - Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.13 tahun 1964

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.5 tahun 1969

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA)  No.3 Tahun 1971

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 6 Tahun 1975

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 3 Tahun 2000

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4 Tahun 2001

Abdulkadir Muhammad. 2008. Hukum Acara Perdata Indonesia

Hukumonline, 2007. “Seputar Gagasan Menghapus Putusan Serta Merta”, https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol16473/seputar-gagasan-menghapus-putusan-serta-merta

Redaksi, 2020. “Memahami Putusan Serta Merta (Uitvoerbaar Bij Voorraad)”, https://doktorhukum.com/memahami-putusan-serta-merta-uitvoerbarr-bij-voorraad/

Sulaiman, Alfin SH, MH. 2017. “Pergeseran Asas “Hakim Bersifat Pasif” dalam Hukum Acara Perdata”, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5779f8461e551/pergeseran-asas-hakim-bersifat-pasif-dalam-hukum-acara-perdata

 

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini