Interaksi antar manusia di dalam masyarakat, maupun interaksi antara masyarakat dengan n
egara, diatur dan dibatasi oleh seperangkat
peraturan atau ketentuan hukum. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari komitmen
para founding fathers negara kita, bahwa
Indonesia adalah negara yang berlandaskan aturan hukum “Rechtsstaat”
sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa
Negara Indonesia adalah Negara Hukum.
Bahwa salah satu bagian dari aturan hukum tersebut adalah
hukum perdata, dimana hukum perdata mengatur hubungan hukum antara orang atau badan
hukum yang satu dengan orang atau badan hukum yang lain, sehingga disebut juga sebagai
hukum privat. Hukum perdata mengatur substansi hak dan kewajiban pihak-pihak
dalam hubungan hukum, atau disebut juga dengan hukum perdata materiil.
Adapun peraturan hukum yang berfungsi mempertahankan
berlakunya hukum perdata, diatur dalam hukum acara perdata. Hukum acara perdata
dirumuskan sebagai peraturan hukum yang mengatur proses penyelesaian perkara
perdata melalui pengadilan, sejak diajukan gugatan sampai dengan pelaksanaan
putusan pengadilan. (Abdulkadir
Muhammad. 2008. Hukum Acara Perdata Indonesia).
Dalam hukum acara perdata, pada dasarnya hakim dilarang
memutus hal-hal yang tidak diminta atau mengabulkan lebih daripada yang digugat
oleh penggugat. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 189 ayat (3) Rechts Reglement Voor de Buitengewesten (RBg) dan Pasal 178 ayat (2) Herziene Inlandsch Reglement (H.I.R). Terlihat bahwa kebebasan
bagi seorang hakim, hanya meliputi kewenangan untuk menyelesaikan sengketa yang
dikemukakan oleh para pihak, kemudian menjatuhkan putusan. Namun demikian,
dalam perkembangannya asas hakim pasif tersebut, telah mengalami
pergeseran sebagaimana tampak pada yurisprudensi berikut:
1.
Putusan Mahkamah Agung RI No.
964 K/Pdt/1986 tanggal 1 Desember 1988. (Hakim
dalam mengadili perkara perdata dapat memberikan amar atau diktum putusan
melebihi petitum asal tidak melebihi posita gugatan).
2.
Putusan Mahkamah
Agung RI No. 556 K/Sip/1971 tanggal 8 Januari 1972. (Pengadilan
dapat mengabulkan lebih dari yang digugat asal masih sesuai dengan kejadian
material).
3. Putusan Mahkamah Agung RI No. 425 K/Sip/1975 tanggal
15 Juli 1975. (Mengabulkan
lebih dari petitum diizinkan, asal saja sesuai dengan posita).
(Sulaiman, Alfin SH,
MH. 2017. “Pergeseran Asas “Hakim Bersifat Pasif” dalam Hukum Acara Perdata”, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5779f8461e551/pergeseran-asas-hakim-bersifat-pasif-dalam-hukum-acara-perdata, diakses pada 15 September 2021, pukul
16:38 WITA).
Suatu putusan dalam persidangan perdata adalah puncak
dari suatu proses pencarian kebenaran hukum yang dilakukan hakim berdasarkan
prinsip-prinsip dan asas-asas hukum acara perdata. Putusan yang merupakan
puncak dari perkara perdata, yang diajukan oleh pihak yang bersangkutan kepada
pengadilan, memiliki tujuan untuk mendapat pemecahan atau penyelesaian atas suatu
perkara.
Mengacu pada Pasal 206 dan 207 RBg atau Pasal 195 dan 196
H.I.R, pemenuhan suatu putusan, baru dapat dilaksanakan baik secara sukarela
maupun secara paksa melalui eksekusi, apabila putusan pengadilan tersebut telah
memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht
van gewijsde). Pelaksanaan putusan Hakim, harus menunggu sampai seluruh
putusan mempunyai kekuatan hukum tetap, meskipun salah satu pihak (Tergugat), tidak
mengajukan banding atau kasasi. Pelaksanaan putusan pada dasarnya harus
menunggu sampai dengan berakhirnya tenggang waktu (daluarsa) untuk melakukan
upaya hukum, hingga akhirnya putusan itu mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Suatu putusan, untuk
memperoleh kekuatan hukum tetap, seringkali harus menunggu waktu yang lama,
bahkan hingga bertahun-tahun, terutama bila para pihak yang berperkara mengajukan
upaya hukum baik berupa perlawanan, banding maupun kasasi.
Pengecualian dari prinsip tersebut adalah dengan adanya putusan
serta merta (uitvoerbaar bij voorraad),
yaitu bahwa putusan serta merta dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun
masih ada upaya hukum baik perlawanan, banding maupun kasasi. Putusan serta
merta merupakan terobosan sebagai upaya perwujudan dari asas “Peradilan
dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan” yang merupakan salah satu
asas penting hukum acara, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (4) Undang - Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Permintaan
putusan serta merta dalam suatu gugatan pada dasarnya adalah hak penggugat.
Artinya, setiap orang yang mengajukan gugatan di pengadilan berhak untuk meminta
kepada majelis hakim agar permintaan putusan serta merta-nya (uitvoerbaar
bij voorraad) dapat dikabulkan. Namun, apakah permintaan tersebut akan
dikabulkan atau tidak, tergantung pada hakim yang memutus perkara tersebut
nantinya.
Pengaturan putusan serta merta
dari waktu ke waktu.
Dasar hukum putusan serta merta (uitvoerbaar bij voorraad) tersebut
antara lain Pasal 180 ayat (1) HIR, Pasal 191 ayat (1) Rbg dan Pasal 332 Rv.
Bunyi Pasal-nya adalah sebagai berikut :
Dalam perkembangannya, untuk
membatasi banyaknya putusan serta merta, maka Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.13 tahun 1964 yang pada prinsipnya
melarang penerapan putusan serta merta.
“….maka dengan ini Mahkamah
Agung sekali lagi menginstruksikan agar sedapat mungkin jangan memberikan
Putusan yang dapat dijalankan lebih dahulu, atau apabila benar-benar dipandang
perlu memberikan Putusan serupa itu, pelaksanaannya harus mendapatkan
persetujuan lebih dahulu dari Mahkamah Agung.”
Tidak berlangsung lama, pada
tahun 1969 dikeluarkan kembali Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.5
tahun 1969, yang intinya menyerahkan kebijaksanaan permintaan pelaksanaan
Putusan serta merta yang sesuai SEMA No. 13/1964 harus mendapatkan
persetujuan dari Mahkamah Agung (MA) kepada Pengadilan Tinggi.
Dalam perkembangan berikutnya,
akhirnya Putusan serta merta kembali dapat dilaksanakan setelah SEMA No.13
Tahun 1964 dan SEMA No.5 Tahun 1969 dicabut dengan SEMA No.3 Tahun 1971 yang
menyebutkan :
“Surat-surat Edaran tersebut (SEMA No.13 Tahun 1964 dan SEMA
No.5 Tahun 1969), dikeluarkan berdasarkan kenyataan
bahwa sementara Hakim hakim pada Pengadilan Negeri tidak atau kurang
memperhatikan syarat-syarat yang ditentukan dalam Undang- Undang mengenai
lembaga “Uitvoerbaar bij voorraad” seperti diuraikan dalam pasal 180 (1) HIR
dan pasal191 (1) Rbg.
“Keadaan itu sudah barang tentu
tidak dapat dipertahankan terus menerus dan Mahkamah Agung memandang sudah tiba
saatnya untuk mengakhiri keadaan itu dengan mempercayakan penetrapan Lembaga ”Uitvoerbaar
bij voorraad” kepada Pengadilan Negeri sebagaimana ditentukan oleh
undang-undang.”
“Maka dengan ini, Mahkamah
Agung menyatakan Mencabut Surat Edaran No.13/1964 dan No.5/1969.”
Pada tahun 1975 kembali
dikeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 6 Tahun 1975 tanggal 1
Desember 1975 yang pada prinsipnya menambah persyaratan dalam memberikan
putusan uitvoerbaar bij vooraad.
“Dimana dalam
perundang-undangan (Pasal 180 ayat 1) diberikan kewenangan diskretioner kepada
Hakim yang tidak imperatif sifatnya, maka dengan ini diminta kepada Saudara,
agar supaya Saudara tidak menjatuhkan keputusan walaupun syarat-syarat dalam
pasal 180 ayat (1) HIR/191 ayat (1) RBG telah dipenuhi.
“Hanya dalam hal-hal yang tidak
dapat dihindarkan, keputusan demikian yang sangat exceptionil silatnya dapat dijatuhkan.”
Pemberlakukan putusan serta
merta saat Ini.
Dasar dalam melaksanakan putusan
serta merta yang berlaku saat ini adalah:
1. SEMA No. 3 Tahun 2000 tentang Putusan Serta Merta (Uitvoerbaar Bij Vooraad) dan
Provisional.
2. SEMA No. 4 Tahun 2001 tentang Permasalahan Putusan
Serta Merta (Uitvoerbaar Bij Vooraad)
dan Provisional.
Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No.3 Tahun 2000,
putusan serta merta dapat dikeluarkan jika:
a. gugatan berdasarkan pada bukti surat
autentik atau surat tulisan tangan yang tidak dibantah kebenaran tentang isi
dan tanda tangannya oleh pihak lawan;
b. gugatan tentang utang piutang yang
jumlahnya sudah pasti dan tidak dibantah;
c. gugatan tentang sewa menyewa tanah,
rumah, gudang, dan lain-lain dimana hubungan sewa menyewa sudah habis/lampau
atau penyewa terbukti melalaikan kewajibannya sebagai penyewa beritikad baik;
d. gugatan mengenai pembagian harta
perkawinan (gono gini) setelah putusan mengenai gugatan cerai mempunyai
kekuatan hukum tetap;
e. dikabulkannya gugatan provisionil
dengan pertimbangan hukum yang tegas dan jelas serta memenuhi Pasal 332 Rv;
f. gugatan berdasarkan Putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracth
van gewijsde) dan mempunyai hubungan dengan pokok gugatan yang diajukan;
dan
g. pokok sengketa mengenai bezitsrecht.
Lebih lanjut dalam Poin 6 dan 7
SEMA No. 3 Tahun 2000 disebutkan beberapa hal-hal yang perlu diperhatikan
ketika ingin melaksanakan putusan serta merta tersebut, yaitu :
1. Apabila
Penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua
Pengadilan Agama agar Putusan Serta Merta dan Putusan Provisionil dilaksanakan,
maka permohonan tersebut beserta berkas perkara selengkapnya dikirim ke Pengadilan
Tinggi dan Pengadilan Tinggi Agama disertai pendapat dari Ketua Pengadilan
Negeri dan Ketua Pengadilan Agama yang bersangkutan.
2. Adanya pemberian jaminan yang nilainya sama dengan
nilai barang/objek eksekusi, sehingga tidak menimbulkan
kerugian pada pihak lain, apabila ternyata di kemudian hari dijatuhkan putusan
yang membatalkan putusan Pengadilan Tingkat Pertama.
Adanya pemberian jaminan
tersebut dikuatkan dalam SEMA No. 4 Tahun 2001 yang menyebutkan :
Setiap kali akan melaksanakan
putusan serta merta (Uitvoerbaar bij Voorraad), harus disertai penetapan
sebagaimana diatur dalam butir 7 SEMA No. 3 tahun 2000 yang menyatakan:
“Adanya pemberian jaminan yang nilainya sama dengan nilai barang/objek
eksekusi sehingga tidak menimbulkan kerugian pada pihak lain
apabila ternyata dikemudikan hari dijatuhkan putusan yang membatalkan putusan
Pengadilan Tingkat Pertama”
Tanpa jaminan tersebut, tidak
boleh ada pelaksanaan putusan serta merta. Selanjutnya apabila Majelis akan
mengabulkan permohonan serta merta, harus memberitahukan kepada Ketua
Pengadilan.
(Redaksi,
2020. “Memahami Putusan Serta Merta (Uitvoerbaar Bij Voorraad)”, https://doktorhukum.com/memahami-putusan-serta-merta-uitvoerbarr-bij-voorraad/,
diakses pada 17 September 2021, pukul 18:55 WITA).
Dengan demikan, agar putusan
serta merta dapat dikabulkan dan dilaksanakan, maka Penggugat berkewajiban
memberikan jaminan yang menutupi nilai barang atau objek perselisihan dengan
jumlah yang cukup untuk menutup kerugian yang mungkin diterima oleh tergugat, mengantisipasi
apabila dikemudian hari ternyata putusan serta merta tersebut, dianulir oleh
putusan pengadilan yang lebih tinggi. Majelis
Hakim yang akan mengabulkan permohonan serta merta, juga harus memberitahukan
kepada Ketua Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama, yang selanjutnya pendapat
dari Ketua Pengadilan Negeri atau Ketua Pengadilan Agama tersebut, dikirim ke
Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Tinggi Agama beserta berkas perkara secara
lengkap.
Berdasarkan uraian yang telah
penulis sampaikan, penulis berpendapat bahwa adanya pelaksanaan putusan serta
merta, hakikatnya didasari adanya kebutuhan akan pemenuhan asas “Peradilan dilakukan dengan sederhana,
cepat, dan biaya ringan” yang merupakan salah satu asas mendasar dalam
beracara, sehingga putusan serta merta dianggap sebagai shortcut bagi para pencari keadilan, untuk bisa segera mendapatkan
haknya, meskipun ada upaya hukum yang sedang dilaksanakan oleh pihak lain, baik
perlawanan, banding maupun kasasi, dimana kondisi tersebut dilatar belakangi
fakta bahwa suatu putusan, untuk memperoleh kekuatan hukum tetap, seringkali
harus menunggu waktu yang cukup lama, bahkan hingga bertahun-tahun, terutama
bila para pihak yang berperkara mengajukan upaya hukum baik perlawanan,
banding, maupun kasasi.
Namun
demikian, solusi tersebut rupanya
belum mencerminkan sebuah kondisi yang ideal, belum menggambarkan seperti apa
yang menjadi motto salah satu BUMN negeri ini yaitu “menyelesaikan masalah
tanpa masalah”. Permasalahan yang seringkali timbul utamanya apabila putusan
banding atau kasasi, ternyata bertentangan dengan putusan serta merta di
tingkat pertama, sehingga harus dilaksanakan eksekusi untuk mengembalikan atau
memulihkan kembali kepada kondisi semula, sebelum diadakan pelaksanaan putusan
(restitutio in integrum). Misalkan
saja objek sengketa yang telah dieksekusi berdasarkan putusan serta merta
tersebut, telah pula dialihkan kepemilikannya kepada pihak ketiga, tentu restitutio in integrum tidaklah mudah,
ada potensi gugatan balik dari pihak ketiga yang merasa telah beritikad baik
dalam melaksanakan pembelian atas objek sengketa (apalagi bila pihak ketiga
tidak cukup mengetahui bahwa objek yang dibeli merupakan objek sengketa).
Bahwa adanya kewajiban pemberian
jaminan yang nilainya sama dengan nilai barang/objek eksekusi, juga bukan
merupakan sebuah solusi yang tanpa masalah. Seringkali menjadi pertanyaan,
apakah nilai jaminan, benar-benar sama dengan nilai barang/objek eksekusi? siapa
yang berhak atau memiliki kapabilitas untuk menenetukan atau menguji nilai
barang jaminan? Belum lagi soal teknis, semisal permasalahan penyimpanan dan
pengamanan, baik sertipikat-sertipikat kepemilikan, maupun fisik aset (yang menjadi
jaminan) selama perkara belum memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap
(inkracht van gewijsde).
Bahkan salah
seorang hakim senior yang pernah menjabat sebagai Ketua Mahkamah Agung yaitu
Prof. Bagir Manan pernah meminta para
hakim untuk tidak gegabah membuat putusan serta merta, karena putusan serta merta lebih banyak membawa
masalah daripada manfaat. Prof. Bagir Manan mengungkapkan permintaan itu
pada acara pelantikan lima kepala pengadilan tinggi di Gedung Mahkamah Agung,
Jalan Merdeka Utara, Jakarta, Selasa (26/3).
(Hukumonline,
2007. “Seputar Gagasan Menghapus Putusan Serta Merta”, https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol16473/seputar-gagasan-menghapus-putusan-serta-merta,
diakses pada 23 September 2021, pukul 15:45 WITA).
Pada sisi yang lain, adanya kewajiban bagi Majelis Hakim (yang akan mengabulkan permohonan
serta merta), untuk memberitahukan kepada Ketua Pengadilan Negeri atau
Pengadilan Agama, menurut hemat penulis, sedikit “mengganggu” prinsip kebebasan
hakim dalam memeriksa dan memutus perkara sebagaimana diatur dalam Pasal 24 UUD
1945 jo. Pasal 39 ayat (4) UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dengan
demikian kesimpulan dalam pandangan penulis adalah, bahwa putusan serta merta (Uitvoerbaar
Bij Vooraad), sebagai
sebuah solusi atas berlarut larutnya suatu proses perkara perdata, dalam
mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum tetap, kiranya hanya dilaksanakan
untuk kondisi tertentu yang sangat urgent dan telah memenuhi ketentuan
sebagaimana diatur dalam SEMA
No. 3 Tahun 2000 dan SEMA No. 4 Tahun 2001. Adapun yang seyogiayanya kita
dorong bersama sebagai warga Negara adalah reformasi birokrasi secara
menyeluruh pada lembaga peradilan, guna mewujudkan prinsip “peradilan dilaksanakan secara sederhana,
cepat, dan biaya ringan”, dimana hal tersebut saat ini relatif mulai nampak dengan
adanya berbagai upaya perbaikan dalam layanan beracara oleh lembaga peradilan. Apabila
tren perbaikan layanan beracara oleh lembaga peradilan tersebut, dapat terlaksana
secara massif dan konsisten, maka cita-cita Negara Indonesia sebagai Negara
Hukum yang mengayomi seluruh lapisan masyarakat, kiranya dapat benar-benar
terwujud, dan tegaknya keadilan dapat dirasakan kehadirannya di tengah-tengah
seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian, keberadaan putusan serta merta, dengan
sendirinya tidak lagi dianggap sebagai sebuah kebutuhan.
Penulis : Rahmat Ibnu Wibowo (Kepala Seksi
Hukum dan Informasi KPKNL Palopo)
Referensi :
Undang – Undang Dasar Tahun
1945
Rechtsreglement Voor de Buitengewesten (RBg) dan Herziene Inlandsch Reglement (H.I.R)
Undang - Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Surat
Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.13 tahun 1964
Surat
Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.5 tahun 1969
Surat
Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.3 Tahun
1971
Surat
Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 6 Tahun 1975
Surat
Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 3
Tahun 2000
Surat
Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4
Tahun 2001
Abdulkadir
Muhammad. 2008. Hukum Acara Perdata Indonesia
Hukumonline,
2007. “Seputar Gagasan Menghapus Putusan Serta Merta”, https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol16473/seputar-gagasan-menghapus-putusan-serta-merta
Redaksi,
2020. “Memahami Putusan Serta Merta (Uitvoerbaar Bij Voorraad)”, https://doktorhukum.com/memahami-putusan-serta-merta-uitvoerbarr-bij-voorraad/
Sulaiman,
Alfin SH, MH. 2017. “Pergeseran Asas “Hakim Bersifat Pasif” dalam Hukum Acara Perdata”, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5779f8461e551/pergeseran-asas-hakim-bersifat-pasif-dalam-hukum-acara-perdata