Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Palembang > Artikel
Pentingnya Nota Kesepakatan Pelaksanaan Tanggung Renteng Ganti Rugi Pasca Putusan Perkara Perdata Inkrah
Wahidin
Selasa, 14 September 2021   |   11902 kali

Pendahuluan


           Hubungan manusia dengan manusia (muamalah) dalam kehidupan sehari-hari tidak selamanya berjalan adem ayem, lancar, baik-baik saja tanpa gejolak satu sama lain. Selalu ada persoalan yang timbul di antara manusia (orang) baik selaku individu dengan individu, individu dengan kelompok, maupun kelompok dengan kelompok. Persoalan itu jelas terlihat dari tidak pernah sepinya kantor Pengadilan Negeri atau peradilan lainnya yang mengurusi persoalan mereka. Sebagai negara hukum, fungsi lembaga peradilan dimaksud tentunya representasi negara yang hadir untuk menjamin rakyatnya mendapatkan keadilan dan kepastian hukum atas permasalahan yang timbul sehingga tidak ada hukum rimba, martabat bangsa terjaga, dan kehidupan yang berperikemanusiaan serta berkeadilan dapat terwujud.


Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) sebagai suatu entitas subjek hukum, yang memiliki hak dan dapat melakukan perbuatan hukum sebagaimana manusia (orang), sering terlibat dalam persoalan keperdataan yang menyangkut subjek hukum lainLingkup keperdataan dimaksud adalah gugatan yang diajukan oleh pihak-pihak terkait pelaksanaan lelang. Akumulasi gugatan secara nasional sepanjang pelaksanaan lelang yang diselenggarakan KPKNL ada saja gugatan perdata dengan putusan KPKNL sebagai pihak terhukum.

Studi empiris dari pelaksanaan putusan perkara yang pernah dihadapi KPKNL Palembang dalam hal penyelesaian tanggung renteng ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Persoalan yang telah inkrah dalam waktu yang cukup lama membuat persoalan harus dicermati secara gradual dan dipelajari kembali dari gugatan, putusan tingkat pertama sampai titik inkrah, dan peristiwa-peristiwa setelah putusan dimaksud. Hal yang menariknya adalah putusan hakim terkait poin ganti rugi yang dibebankan secara tanggung renteng tidak merinci proporsi ganti rugi masing-masing terhukum, sehingga dalam pelaksanaanya menimbulkan polemik. Untuk itu, penulis mempunyai gagasan dan merasa perlu menyajikan dalam tulisan ini dengan tujuan : 1) Studi kasus tanggung renteng ganti rugi yang tidak terinci, 2) Pentingnya nota kesepakatan dalam tanggung renteng ganti rugi, dan 3) Pembelajaran pada kasus serupa di masa mendatang.  

Perikatan sebagai cikal bakal Prestasi dan Wanprestasi

Hukum perdata di Indonesia, yang mengatur hubungan antarorang yang satu dengan yang lain dengan menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan1), berpedoman pada Bugerlijk Wetboek atau dalam bahasa yang dimaklumi sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/KUHPer (Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23). Salah satu isi KUHPer terkait Perikatan (verbintenis) disajikan dalam BUKU KETIGA. Definisi Perikatan sendiri dalam BUKU KETIGA tersebut tidak di-declair secara nyata, hanya terlihat penjelasan umum pasal demi pasal. Pasal 1233 menyebutkan ‘Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang’. Selanjutnya dalam Pasal 1234 menyebutkan ‘Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu’.2)  Sementara ahli ilmu hukum Prof. Subekti, SH mendefiniskan perikatan sebagai suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. 3)

Merujuk pada pasal-pasal tersebut di atas, ada dua jenis perikatan dalam hukum perdata Indonesia yaitu ; Perikatan karena Perjanjian dan Perikatan karena Undang-undang. Contoh nyata dari perikatan yang lahir karena suatu perjanjian adalah Perjanjian Kredit yang dilakukan oleh Debitur (Nasabah) dengan Kreditur (Bank). Lazimnya suatu perjanjian kredit, maka hal yang terjadi sejak penandatanganan perjanjian (perbuatan hukum) oleh kedua pihak dan saksi-saksi adalah timbul hubungan hukum antara dua pihak tersebut. Hubungan hukum tersebut mengatur apa saja yang disepakati/diperjanjikan oleh kedua pihak dan berlaku mengikat keduanya sebagai undang-undang (pacta sun servanda). Merujuk pada pengertian perikatan Prof. Subekti, maka hubungan hukum kedua pihak dipresentasikan pihak Debitur sebagai pihak yang berhak atas sesuatu (uang kredit) dan Kreditur sebagai pihak yang berkewajiban memenuhi (uang/kredit) dimaksud. Tentunya tidak terbatas pada penyerahan uang sebagai hak debitur, tetapi juga kewajiban debitur menyerahkan jaminan (borgh) kepada kreditur dan pengaturan lain seperti cara pembayaran, batas waktu, dan sanksi bila tidakterpenuhinya perjanjian. Bilamana masing-masing pihak memenuhi semua yang diperjanjikan tanpa cacat, maka masing-masing pihak dinyatakan terlah menunaikan Prestasi. Namun sebaliknya, bila salah satu pihak tidak memenuhi klausul-klausul dalam perjanjian secara sempurna/penuh, maka pihak dimaksud dianggap telah melakukan Wanprestasi.

Jenis perikatan kedua adalah perikatan yang timbul karena undang-undang. Tentang perikatan jenis ini lebih spesifik disebutkan dalam Pasal 1352 KUHPer. Jelasnya, perikatan ini bisa timbul karena undang-undang itu sendiri atau karena perbuatan orang. Sedangkan ‘perbuatan orang’ dimaksud dapat berupa perbuatan yang sah, dan perbuatan yang melanggar hukum. Dalam kontek KPKNL sebagai subjek hukum, ketika KPKNL melaksanakan lelang (oleh Pejabat Lelang), maka KPKNL telah melakukan perbuatan hukum yang menimbulkan perikatan. Perikatan dimaksud adalah dikarenakan KPKNL Palembang melaksanakan lelang dengan segala ketentuan (perundang-undangan/turunannya) dan konsekuensi yang akan timbul (akibat hukum). Demikian juga apabila dalam pelaksanaan lelang (oleh Pejabat Lelang) KPKNL melakukan pelanggaran ketentuan lelang yang berakibat merugikan orang lain, hal itu dianggap sebagai Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang mana pihak yang dirugikan dapat menuntut ganti rugi walaupun tanpa adanya suatu perjanjian apapun dengan KPKNL sebelumnya.     


Subjek hukum yang dalam suatu gugatan dituntut karena telah melakukan wanprestasi terhadap klausul perjanjian mereka, atau ia dituntut karena melakukan Perbuatan Melawan Hukum terhadap suatu ketentuan hukum, ia akan menghadapi vonis (putusan) dari majelis hakim. Adakalanya putusan mengabulkan tuntutan Penggugat untuk membayar sejumlah ganti rugi baik materil maupun immateril. Dalam hal sejumlah ganti rugi dimaksud harus ditanggung oleh beberapa pihak yang kalah dalam berperkara, maka timbullah istilah tanggung renteng.

Tanggung Renteng Dalam Perkara Perdata

Tanggung renteng menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah Istilah hukum,  menanggung secara bersama-sama (tentang biaya yang harus dibayar dan sebagainya). KUHPer mengatur mengenai Tanggung Renteng atau Solider dalam Pasal 1278 s.d. 1295. Sebenarnya istilah tanggung renteng berlaku baik dalam perkara pidana maupun perdata, namun pengistilahan tersebut sering digunakan dalam perkara perdata. Ada dua jenis Tanggung Renteng yang sudah dikenal luas dalam ranah hukum yaitu : Tanggung Renteng Aktif, dan Tanggung Renteng Pasif.7)

Tanggung Renteng Aktif diilustrasikan apabila kreditur (Penggugat atau siapapun dia) lebih dari satu dan berhadapan dengan satu debitur. Contoh dari Tanggung Renteng Aktif yaitu perjanjian konsorsium untuk satu proyek besar milik PT. ABCD yang didanai oleh tiga kreditur (bank). Dalam perjanjian kredit, masing-masing bank tanggung renteng proposional menurut kemampuan masing-masing memberikan kredit kepada PT. ABCD. Bisa juga dalam suatu hal terjadi perkara kemudian diputuskan bahwa kreditur melakukan wanprestasi. Sehingga atas kerugian yang ditimbulkan, mereka harus membayar ganti rugi pada PT. ABCD. Tentunya ganti rugi tersebut akan ditanggung bersama (tanggung renteng) secara proporsional oleh ketiga Bank (Kreditur).

Sebaliknya, Tanggung Renteng Pasif yaitu apabila satu kreditur (Pengugat atau apapun namanya) berhadapan dengan lebih dari satu debitur. Contoh Tanggung Renteng Pasif diilustrasikan sebagai berilkut : Penggugat A menang atas gugatannya ke  pangadilan yang melibatkan Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat III. Dalam amar putusan, menghukum para Tergugat untuk membayar ganti rugi kepada Penggugat sejumlah Rp.XXX secara tanggung renteng. Sehingga ganti rugi tersebut sudah seharusnya dibebankan kepada masing-masing Tergugat. Menyelisihi bahwa tangung renteng harus dipikul bersama oleh terhukum, Pasal 1280 KUHPer membolehkan salah satunya saja.

Di pihak para debitur terjadi suatu perikatan tanggung-menanggung, manakala mereka semua wajib melaksanakan satu hal yang sama, sedemikian rupa sehingga salah satu dapat dituntut untuk seluruhnya, dan pelunasan oleh salah satu dapat membebaskan debitur lainnya terhadap kreditur.    

Artinya, apabila salah satu debitur saja bisa melunasi ganti rugi secara keseluruhan, maka sudah menggugurkan kewajiban debitur lain untuk membayar ganti rugi dimaksud. Permasalahan kemudian timbul apabila masing-masing bersikukuh membayar menurut bagiannya. Hakim dalam amar putusan juga tidak merinci bagian masing-masing tergugat yang wajib dibayarkan kepada Penggugat. Bagaimana penyelesaiannya ?


Permasalahan Tanggung Renteng Dalam Pembebanan Ganti Rugi

          Ganti Rugi merupakan hak bagi siapa saja yang merasa dirugikan akibat perbuatan orang lain. Dalam literatur KUHPer disebutkan dalam Pasal 1365 “Tiap perbuatan yangmelanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.”  Mekanisme mendapatkan ganti rugi dalam ranah lembaga peradilan tentunya harus melalui suatu putusan hakim terlebih dahulu, apakah dikabulkan ataukah tidak. Harapannya tentu mereka yang datang ke pengadilan akan mendapatkan kepastian penyelesaian permasalahan dan mendapatkan putusan yang seadil-adilnya. Mengutip tulisan Fence M. Wantu4) bahwa :

Untuk menerapkan kepastian hukum, putusan haruslah sesuai tujuan dari suatu pengadilan yaitu : Pertama, melakukan solusi autoritatif, artinya memberikan jalan keluar dari masalah hukum yang dihadapi oleh para pihak (Penggugat dan Tergugat);  Kedua, efisiensi, artinya dalam proses harus cepat, sederhana, dan biaya ringan;  Ketiga, sesuai dengan tujuan undang-undang yang dijadikan dasar putusan hakim tersebut;  Keempat, mengandung aspek stabilitas yaitu dapat memberikan rasa tertib dan rasa aman dalam masyarakat; Kelima, mengandung equality yaitu memberikan kesempatan yang sama bagi pihak yang berperkara.

          Terkait solusi autoritatif, sudah sewajarnya putusan inkrah mengakhiri segala polemik para pihak. Namun hal tersebut bisa saja tidak terjadi, dalam artian timbul masalah baru dalam pelaksanaan putusan. Contoh pada perkara Nomor 34/PDT.G/2010/PN.Plg (Jo. Nomor 319PK/PDT/ 2014). Pada perkara tersebut, hakim pada tingkat pertama sampai pada Peninjauan Kembali tidak merinci berupa rupiah ganti rugi yang harus ditanggung masing-masing Tergugat I, II, III, dan IV. Hal ini kemudian menjadi persoalan dalam pelaksanaanya. Bandingkan dengan putusan atas perkara Nomor 126/Pdt.G/2003/PN.Cbn (Jo. Nomor 957 K/Pdt/2006), dikutip dari tulisan Dr. Widodo Tresno Novianto, S.H., M.Hum.5).

Putusan Pengadilan Cibinong Nomor 126/Pdt.G/2003/PN.Cbn (1) Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian; (2) Menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang diletakkan dalam perkara ini dengan berita acara sita jaminan Nomor 24/CB/Pdt/2004/PN. Cbn; (3) Menyatakan Tergugat I telah melakukan perbuatan melawan hukum dan Tergugat II turut bertanggung jawab atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan Tergugat I; (4) Menghukum Tergugat I dan Tergugat II secara tanggung renteng untuk membayar ganti rugi material dan immaterial sebesar Rp.520.825.375,- (lima ratus dua puluh juta delapan ratus dua puluh lima ribu tiga ratus tujuh puluh lima rupiah) dengan perincian 70 persen kewajiban Tergugat I dan 30 persen kewajiban Tergugat II; (5) Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya, dst.

Dua keputusan yang menyangkut tanggung renteng ganti rugi ; yang satu perkara tanpa rincian beban ganti rugi masing-masing terhukum, dan satu lainnya menerapkan rincian (proporsi) untuk masing-masing terhukum. Anehnya, perkara Nomor 126/Pdt.G/2003/PN.Cbn pada Pengadilan Negeri Cibinong terjadi dan diputus tahun 2006, artinya yurisprudensi (putusan hakim) telah ada lebih dahulu daripada putusan perkara Nomor 34/PDT.G/2010/PN.Plg pada Pengadilan Negeri Palembang. Seharusnya pembagian proporsi ganti rugi dalam putusan Nomor 34/PDT.G/20210/PN.Plg juga bisa disebutkan proporsinya. Namun demikian, pertimbangan hakim tidak dapat kita ketahui dan sudah menjadi wewenangnya.

Jika telah terjadi demikian, putusan yang seharusnya memberikan solusi autoritatif dan efisien akhirnya tidak terwujud. Maka sependapat dengan apa yang disampaikan Rai Mantili6) bahwa :   

Permasalahan eksekusi ganti kerugian tanggung renteng pada perbuatan melawan hukum tidak sesederhana dapat dilakukan dalam praktik. Juru Sita yang akan mengeksekusi putusan majelis hakim, pasti akan sulit melakukan eksekusi apabila para tergugat menolak memberikan pembayaran ganti kerugian. Pasalnya, majelis hakim tidak menetapkan jumlah yang harus ditanggung oleh masing-masing tergugat sehingga Juru Sita tidak mempunyai acuan yang jelas dalam menentukan berapa prosentasi ganti kerugian yang harus dibayar oleh masing-masing tergugat.

          Kesulitan Juru Sita menurut Rai di atas juga bisa ditambahkan, bagaimana jika tergugat (terhukum) adalah institusi pemerintah, apakah bisa dilakukan eksekusi untuk penggantian kerugian Penggugat ?

Nota Kesepakatan Dalam Tanggung Renteng Ganti Rugi

Kesepakatan merupakan cara terbaik dalam penyelesaian masalah mengingat di dalamnya terdapat unsur sukarela dan kesiapan untuk melaksanakannya. Kesepakatan juga berarti janji di antara para pihak, dengan demikian janji yang tertuang semestinya berlaku sebagai undang-undang juga buat mereka. Sehubungan dengan putusan hakim yang menghukum ganti rugi secara tanggung renteng yang tidak disebutkan proporsi untuk masing-masing terhukum, kesepakatan yang dibuat haruslah benar-benar mengakomodasi proporsi tanggung renteng dimaksud. Untuk itu, menurut hemat Penulis dalam perumusan kesepakatan sangat penting diperhatikan hal-hal sebagai berikut :

1.    Ada tidaknya pernyataan tertulis dalam perjanjian/kegiatan yang dilaksanakan sebelum adanya suatu gugatan. Bagi KPKNL yang melaksanakan tugas dan fungsi pelelangan, adanya syarat tertulis bahwa Pemohon Lelang bersedia menanggung segala risiko dari terlaksananya lelang objek yang dimohonkan lelangnya dan tidak akan menyertakan KPKNL dalam suatu perkara/gugatan yang timbul di kemudian hari merupakan senjata untuk melepaskan tanggung rentengnya kepada pemohon lelang.

2.   Memperhatikan kontribusi kelalaian/kecerobohan yang menyebabkan kerugian. Sama dengan pertimbangan hakim, dalam menentukan besar kecilnya tanggung renteng tentunya harus dipertimbangkan pula kontribusi kelalaian dan/atau pelanggaran hukum yang ditimbulkan dari perbuatan para terhukum. Melihat dalam putusan perkara Nomor 126/Pdt.G/2003/ PN.Cbn, hakim menyatakan Tergugat I telah melakukan perbuatan melawan hukum dan Tergugat II turut bertanggung jawab atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan Tergugat I. Menjatuhkan hukuman dengan perincian 70 persen kewajiban Tergugat I (dokter) dan 30 persen kewajiban Tergugat II (Rumah Sakit).

3.   Nota kesepakatan dibuat secara bersama-sama (adanya kehadiran secara nyata) dan dituangkan dalam akta yang sama. Maksud dari poin ini adalah untuk menghindari Penggugat membuat kesepakatan secara parsial dengan masing-masing tergugat. Hal tersebut tidak sejalan dengan subjek kesepakatan yang semestinya hak internal para terhukum, dan juga tidak selaras asas keterbukaan.

4.   Idealnya nota kesepakatan berawal dari inisiatif para pihak terhukum, namun mengumpulkan para pihak terhukum dan siapa yang mengawalinya bukanlah hal yang mudah. Untuk itu, adanya aanmaning/teguran haruslah dimanfaatkan sebaik mungkin sebagai peluang menyelesaikan persoalan bersama secara efisien.

 

Kesimpulan

          Nota Kesepakatan sangat penting diadakan dalam menyikapi putusan hakim atas suatu perkara yang menghukum ganti rugi secara tanggung renteng namun tidak ada rincian proporsi masing-masing terhukum. Adanya nota kesepakatan justru inisiatif dalam rangka turut mewujudkan tujuan dari suatu pengadilan dari sisi solusi autoritatif dan efisiensi. [Gsw]

______________________________

Penulis: Wahidin (Kasi Hukum dan Informasi KPKNL Palembang)

Referensi:

1. C.S.T. Kansil. (1989). Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. (2019). Pustaka Mahardika.

3) P.N.H. Simanjuntak . (2009). Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia. Jakarta: Djambatan.

4) Wantu, M. Fence. (2012). Mewujudkan Kepastian Hukum, Keadailan dan Kemanfaatan dalam putusan hakim di Peradilan Perdata. Jurnal Dinamika Hukum. 12(3), 483.

5) Novianto, Widodo Tresno. (2017). Sengketa Medik Pergulatan Hukum dalam Menentukan Unsur Kelalaian Medik. Surakarta: UNS Press. 109

6) Mantili, Rai. (2009). Tanggung Jawab Renteng Ganti Kerugian Immateril atas Perbuatan Melawan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum. Jurnal Bina Mulia Hukum. 4(1), 108.

7) Asnawi, M. Natsir. (2019). Hukum Acara Perdata Teori, Praktik dan Permasalahannya di Peradilan Umum Dan Peradilan Agama. Yogyakarta:UII Press. 


Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini