Muhammad
Meirizky Ikhsan, S.E., M.P.A.
(Kantor
Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Palembang, Direktorat Jenderal Kekayaan
Negara, Kementerian Keuangan, 2020)
1. Latar Belakang
“Kekayaan alam Indonesia merupakan hak anak cucu kita” merupakan
ungkapan yang tepat dalam memulai tulisan ini. Kekayaan tersebut dapat
diartikan bahwa Indonesia memiliki keunggulan dalam aktifitas ekonomi yang
berkaitan dengan ketersediaannya akses terhadap sumber daya alam yang melimpah.
Sehingga menjadi wajar ketika dalam
konsep sustainable development,
manfaat terhadap kekayaan dimaksud tidak hanya dinikmati oleh generasi sekarang
melainkan generasi mendatang.
Namun
demikian, fenomena alam yang terjadi akhir-akhir ini menunjukkan bahwa alam
sudah lagi tidak bersahabat dengan kita. Banjir di wilayah Jabodetabek dan kota
– kota lain pada awal tahun 2020 tidak hanya menelan korban jiwa melainkan
kerugian materiil yang signifikan. Selain itu hasil penelitian Badan
Metereologi dan Geofisika tahun 2017 menyatakan bahwa salju abadi di puncak pegunungan
Jayawijaya tidak lagi abadi bahkan diprediksi hilang pada tahun 2020.
Hilangnya salju abadi bukan saja berarti hilangnya objek wisata ikonik di tanah
Papua, melainkan menyebabkan dampak sosial dan lingkungan, salah satunya adalah
berkurangnya sumber mata air yang merupakan sumber daya utama kehidupan
masyarakat sekitar pegunungan Jayawijaya.
Kegiatan
perekonomian dianggap sebagai salah satu faktor pemicu utama percepatan atas
menurunnya kualitas lingkungan hidup dan perubahan iklim. Penggunaan bahan
bakar fosil, konsumsi barang tidak ramah lingkungan, dan pengelolaan sampah
yang buruk merupakan faktor dominan yang terjadi secara masif namun belum
tersentuh oleh regulasi pemerintah secara komprehensif. Kementerian Keuangan
sebagai otoritas fiskal memiliki tanggung jawab dan kewenangan yang besar dalam
memastikan bahwa pembangunan saat ini tidak worsening
off future generation. Kementerian
Keuangan melalui salah satu peranannya sebagai Manajer Aset Negara dapat
melakukan rekayasa perilaku (behavioral
engineer) pada organisasi sektor publik maupun swasta dalam rangka adaptasi
dan mitigasi risiko perubahan iklim.
2. Dampak Perubahan Iklim
Pemerintah
negara-negara berkembang, seperti halnya Indonesia, menghadapi beberapa
permasalahan dalam memastikan agar pelaksanaan pembangunan dapat menghasilkan
kesejahteraan masyarakat. Belum tersedianya infrastruktur publik yang memadai
dan kebutuhan akan stabilitas daya beli masyarakat menyebabkan terbatasnya
pilihan pemerintah dalam memastikan pertumbuhan ekonomi yang positif namun
tidak menciptakan eksternalitas yang negatif terhadap lingkungan. Apabila
ditelaah kembali, konsumsi yang tidak terkendali atas kendaraan bermotor
berbahan bakar fosil misalnya, dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca sebagai
salah satu pemicu pemanasan global dan perubahan iklim. Penggunaan bahan bakal
fosil sebagai sumber penghasil energi berkontribusi sebesar 80% dari total
karbon yang dilepaskan ke alam. Belum lagi ditambah dengan pengalihan fungsi
lahan, pengelolaan sampah yang tidak mudah terurai, dan eksploitasi sumber daya
alam berlebihan yang berdampak buruk pada daya tahan lingkungan.
Tidak murah
memang menganggarkan infrastruktur atau kebijakan yang komprehensif dalam mengadaptasi
perubahan iklim. Namun membahas tingkat kemahalan menjadi relatif ketika untuk
subsidi penggunaan BBM tahun 2018 saja pemerintah mengeluarkan tidak kurang
dari Rp 97 triliun, naik hampir dari dua kali lipat dari pengeluaran tahun
sebelumnya. Jumlah tersebut lebih tinggi dibandingkan proyek Kereta Cepat
Jakarta-Bandung dengan nilai perkiraan investasi sebesar Rp81 triliun, yang
berpotensi mengurangi emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari kereta
konvensional maupun kendaraan pribadi yang lalu lalang Jakarta – Bandung. Nilai
tersebut juga lebih dari sepertiga nilai kebutuhan investasi pembangkit listrik
energi terbarukan yang ditargetkan mencapai bauran 23% total supply energi listrik tahun 2025.
Besarnya
sumber daya yang dibutuhkan untuk mengeluarkan kebijakan adaptasi dan mitigasi
risiko perubahan iklim merupakan salah satu faktor kurang gencarnya pemerintah
dalam mengeluarkan produk-produk kebijakan unggulan. Belum lagi ditambah trade-off atas alih fungsi penggunaan
energi atau bahan baku yang ramah lingkungan, misalnya pengendalian penggunaan
kantong plastik berpotensi menghilangkan sekitar 5000 tenaga kerja pada
industri kantong plastik. Dampak tersebut kemungkinan diperburuk dengan
beralihnya investor industri petrokimia penghasil bahan baku plastik karena
potensi berkurangnya demand.
Seolah
kebijakan ramah lingkungan sangatlah mahal, namun ketiadaan kebijakan yang
agresif dapat berdampak pada permasalahan yang jauh lebih destruktif dan multi-faktor
yang akan membebani pemerintah tidak hanya dari rupiah yang jauh lebih besar
melainkan kompleksitas masalah yang lebih masif. Sebagai permisalan, kelangkaan
air diakibatkan musim kemarau berkepanjangan sebagai dampak perubahan iklim berpotensi
menurunkan produksi pangan nasional, beban impor, hilangnya lapangan pekerjaan
sektor pertanian, urbanisasi, konflik horisontal karena perebutan sumber daya,
penurununan kualitas hidup masyarakat pedesaan, kesehatan, dan kemiskinan, yang
pada akhirnya dapat menurunkan tingkat ketahanan nasional. Contoh lainnya
adalah kenaikan permukaan air laut karena pemanasan global, berpotensi
menghilangkan pulau-pulau di Indonesia termasuk pulau terluar yang berujung
pada konflik internasional terkait batas wilayah negara.
3. Peran Manajer
Aset Negara dalam Mengendalikan Percepatan Perusakan Lingkungan dan Mitigasi
Perubahan Iklim
Sebagai
pembuat kebijakan, pemerintah memiliki peranan yang sangat penting dalam perang
suci melawan percepatan kerusakan lingkungan dan mitigasi risiko dampak
perubahan iklim. Dalam lingkup terbatas, paling tidak pemerintah dapat
menginisiasi dan mengimplementasikan perubahan perilaku menjadi lebih ramah
lingkungan pada organisasi sektor publik, pada tingkat pusat maupun daerah. Sebagai Manajer Aset Negara, Direktorat
Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) dapat melakukan upaya-upaya kontributif sesuai
kewenangannya dalam pengelolaan aset negara.
a) Pengelolaan Barang Milik Negara
Pada beberapa
waktu lalu tagline ‘diet kantong
plastik’ menjadi kalimat rujukan pada kantor lingkup kementerian keuangan.
Dimotori oleh Menteri Keuangan, yang meminta bahwa seluruh jajaran kantor dan
pegawai Kementerian Keuangan untuk tidak lagi menggunakan botol plastik, dirasa
cukup efektif dalam mengurangi bertambahnya jumlah sampah plastik dari hulunya.
Success story tersebut dapat
dijadikan inspirasi bagi DJKN dalam melakukan behavioural engineering terkait pengelolaan barang milik negara
baik berupa persediaan maupun aset tetap pada lingkup pemerintah pusat. DJKN
dapat lebih agresif dalam membuat kebijakan yang menyisipkan prinsip-prinsip ramah
lingkungan di dalamnya.
Persediaan
memegang peranan pokok dalam memastikan keberlangsungan kegiatan operasional
pemerintah dalam memberikan layanan publik. Pada tahun 2018, pemerintah mencatat
saldo sebesar Rp112 triliun pada persediaan, naik dari tahun sebelumnya yang
sebesar Rp 89 triliun, dengan beban persediaan lebih dari Rp 26 triliun selama
tiga tahun terakhir. Sifat alamiah dari persediaan yang habis pakai dan
kecenderungan pengadaan berulang, mengingat kelekatannya dengan layanan publik,
menciptakan ruang bagi Manajer Aset untuk melakukan intervensi pengelolaan
persediaan yang optimal dan efisien. Dari jenis aset tersebut pemerintah dapat
melakukan rekayasa perilaku pengelolaan persediaan pada seluruh fase
pengelolaan aset yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2014.
Misalkan saja
dalam fase perencanaan kebutuhan dan pengganggaran, Manajer Aset melalui
kewenangannya dalam melakukan penelahaan usulan rencana kebutuhan dan
penganggaran barang milik negara dapat melakukan assessment terhadap saldo persediaan yang tersisa sebelum melakukan
approval atas usulan pengadaan yang
baru. Dengan demikian pengadaan persediaan lebih optimal dan efisien (yang
diadakan adalah yang dibutuhkan) sehingga cakupan APBN menjadi lebih luas,
termasuk potensi tersedianya ruang pendanaan implementasi kebijakan risiko
perubahan iklim. Barang persediaan tahun lalu yang berlebihan, selain
menunjukkan adanya perencanaan yang kurang baik, juga dapat menimbulkan
kerugian hilangnya manfaat aset dikarenakan rusak/kadaluarsa/usang. Pengelolaan
persediaan yang baik dapat menciptakan ekstensifikasi postur APBN dan
mengurangi waste (limbah/sampah) yang
berasal dari penghapusan.
Sedangkan
untuk aset tetap, kontribusi Manajer Aset Negara dapat lebih signifikan lagi
dalam menyisipkan konsep ramah lingkungan dan adaptasi perubahan iklim pada
seluruh tahap pengelolaan aset. Dengan nilai belanja modal mencapai Rp184
triliun untuk tahun 2018 yang dipastikan akan menambah nilai aset tetap, maka
menjadi relevan bahwa aset-aset yang diadakan tersebut diharapkan tidak hanya
memiliki tingkat ketahanan (resilence)
terhadap dampak risiko perubahan iklim tetapi juga sudah mulai mengadopsi
unsur-unsur ramah lingkungan dalam pertimbangan pengadaannya. Lukito (2018)
dalam penelitiannya mengenai adaptasi perubahan iklim pada pengelolaan aset
negara di Indonesia menyatakan bahwa tidak adanya kerangka kerja dalam mengantisipasi
dampak perubahan iklim dapat menyebabkan berkurangnya masa manfaat suatu aset
dan bertambahnya beban APBN untuk pemeliharaan. Dalam rencana kebutuhan aset
tetap berupa pengadaan kendaraan dinas jabatan contohnya, Manajer Aset dapat
berperan memastikan bahwa pertimbangan pengadaan tidak hanya menyoal standar
kebutuhannya saja melainkan juga standar persyaratan kendaraan yang memenuhi tingkat
efisiensi, emisi, dan jenis bahan bakar yang ramah lingkungan (green vehicle).
b) Pengelolaan Kekayaan Negara Dipisahkan
Sebagai
Manajer Aset Negara, lingkup kewenangan DJKN terkait pengelolaan Kekayaan
Negara Dipisahkan menjadi salah satu strategic
channel dalam mengimplementasikan kombinasi antara pengelolaan aset yang
optimal dan berkelanjutan. Meskipun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) salah satu
tujuannya adalah menciptakan keuntungan melalui praktik korporasi yang berlaku
umum, namun BUMN juga dapat berperan sebagai champion dalam memitigasi risiko perubahan iklim.
Memiliki
fleksibilitas dalam beroperasi, BUMN di bawah supervisi Manajer Aset Negara dapat
menjadi katalisator dalam menerapkan prinsip-prinsip green business dan sustainable
development. Sebagai contoh PT. Sarana Multi Infrastruktur (PT. SMI) salah
satu BUMN di bawah Kementerian Keuangan yang memiliki bidang usaha pembiayaan
proyek infrastruktur, mencatat portfolio pembiayaan proyek infrastruktur yang
berwawasan lingkungan, seperti proyek pembangkit listrik tenaga non-fosil (gas,
air, sampah dan matahari), proyek transportasi publik yang dapat mengurangi
emisi karbon (MRT, LRT, dan Electric
Train), dan proyek pengolahan air bersih. Dengan adanya financing assistance dari PT. SMI,
tingkat keberhasilan implementasi proyek lingkungan pada lingkup pemerintah
pusat dan daerah menjadi meningkat. Untuk mengoptimalkan peranan PT. SMI
sebagai Special Vehicle Mission,
khususnya terkait isu pencegahan dampak perubahan iklim, DJKN dapat menetapkan
target peningkatan komposisi portfolio pembiayaan yang berorientasi lingkungan (green business) dalam Rencana Kerja dan
Anggaran Perusahaan. Perlu diketahui
BUMN/lembaga yang pembinaan dan pengawasannya berada langsung di bawah DJKN,
antara lain PT PII (Penjaminan Infrastruktur Indonesia), PT SMF (Sarana
Multigriya Finansial), PT Geo Dipa Energi serta LPEI (Lembaga Pembiayaan Ekspor
Indonesia) yang kesemuanya tersebut dapat dikolaborasikan untuk andil dalam
mendukung program pemerintah.
Kewenangan
Manajer Aset Negara dalam melakukan rekomendasi penyertaan modal negara (PMN)
pada BUMN merupakan strategic role
berikutnya yang dapat mempengaruhi perubahan perilaku pada BUMN. Dalam
melakukan kajian, DJKN dapat memberikan insentif berupa credit points dan dukungan bagi BUMN yang berpartisipasi dalam
mitigasi dampak perubahan iklim. Namun demikian, hal ini menjadi tantangan
tersendiri bagi DJKN, karena motivasi penambahan PMN bisa jadi bervariasi. Pemenuhan
kebutuhan PMN bagi BUMN yang sehat dan momentum tepat dapat meningkatkan
kemampuan BUMN dalam menghasilkan manfaat ekonomi dalam perekonomian. Pada
tahun 2019, pemerintah menyetujui PMN sebesar Rp 700 miliar kepada PT. Geo Dipa
Energi dalam rangka dukungan peningkatan ekuitas perusahaan sebagai prasyarat
dana pinjaman ADB untuk penggarapan proyek panas bumi senilai US$ 300 juta
dengan potensi tambahan kapasitas menjadi 270 Megawatt pada tahun 2023. Dukungan
PMN kepada PT. Geo Dipa Energi merupakan salah satu penanda signifikansi peran
Manajer Aset Negara dalam mewujudkan katalisator penyediaan energi alternatif
yang ramah lingkungan.
4. Kesimpulan
DJKN selaku
Manajer Aset Negara memiliki capital
policy yang sangat kuat untuk berkontribusi dalam pengarusutamaan agenda
adaptasi perubahan iklim dalam lingkup pengelolaan aset. Urgensi dari peranan Manajer
Aset tidak hanya untuk sekadar precautionary
acts dalam menghindari tergerusnya aset fisik sebagai dampak perubahan
iklim yang mungkin akan sangat membebani APBN pada masa yang akan datang,
melainkan menjadi katalisator perubahan perilaku pemangku kepentingan aset
negara untuk lebih adaptif serta kontributif dalam isu perubahan iklim. Intervensi yang dapat dilakukan DJKN terdiri
dari dua aspek utama:
Pertama, DJKN
dapat melakukan rekayasa perilaku organisasi sektor publik dalam pengelolaan
barang milik negara berupa persediaan dan aset tetap. Kebijakan pengelolaan
terkait aset dimaksud harus mampu mendorong kementerian/lembaga selaku pengguna
barang untuk lebih optimal dan efisien dalam mengimplementasikan siklus pengelolaan
aset dalam rangka penghematan APBN yang hasilnya dapat direalokasikan kepada
program prioritas lainnya. Kebijakan pengelolaan aset pun harus mampu mendorong
perubahan perilaku kementerian/lembaga untuk ikut serta ambil bagian dalam mengadaptasi
dampak perubahan iklim, seperti opsi pengadaan aset yang ramah lingkungan (green assets/infrastructures), perencanaan
kebutuhan aset yang optimal/zero waste
(reduce, reuse, recycle), dan meningkatkan
ketahanan (resilence) aset dalam
mendukung keberlangsungan layanan publik.
Kedua, peranan DJKN terkait aset berupa kekayaan negara dipisahkan juga dapat diutilisasi untuk menjadi katalisator sekaligus role-model partisipasi sektor non-pemerintah dalam mendukung kebijakan perubahan iklim. Peningkatan dukungan pendanaan melalui penyertaan modal pemerintah kepada BUMN yang bergerak di bidang energi terbarukan dan perluasan akses pembiayaan atas proyek infrastruktur ramah lingkungan baik di tingkat pusat maupun regional, merupakan sebagian contoh signfikansi Manajer Aset Negara dalam mendukung program pemerintah untuk mencapai target kebijakan adaptasi perubahan iklim.