Syafruddin Prawiranegara yang lahir di
Serang, Banten, pada 28 Februari 1911. Sjafruddin lahir dari seorang ayah yang
berprofesi jaksa. Tak heran bila ia kemudian memilih masuk Rechtshogeschool
(RHS) usai menyelesaikan pendidikan di Algemeene Middelbare School (AMS) pada
1931. Pada 1939, Syafruddin meraih titel Meester in de Rechten (Mr).
Menariknya, pria yang saat kecil akrab dipanggil Kuding itu justru berkarier di
bidang lain. Sempat menjadi pegawai di radio swasta, ia lantas menjadi petugas
Departemen Keuangan, baik pada akhir penjajahan Belanda maupun saat pendudukan
Jepang. Setelah Indonesia merdeka, Syafruddin sempat menjabat menteri keuangan,
perdana menteri, wakil perdana menteri, dan Gubernur Bank Indonesia. Saat
terjadi Agresi Militer II yang dilancarkan Belanda pada 1948, Syafruddin
dipercaya mengambil alih pemerintahan karena Presiden Soekarno dan Wakil
Presiden Moh. Hatta ditangkap oleh Belanda. Pada 13 Juli 1949, Sjafruddin
mengembalikan mandat kepada Presiden Soekarno. Pengabdian Syafruddin bagi
negeri ini berakhir pada 15 Februari 1989. Dalam usia 77 tahun, ia berpulang ke
hadirat Tuhan Yang Maha Esa.
Beliau pernah menjadi Menteri Keuangan pada periode 2 Oktober 1946 – 26 Juni 1947 dan periode 20
Desember 1949 – 27 April 1951. Syafruddin Prawiranegara menjadi orang yang pertama kali mendesak
Mohammad Hatta agar pemerintah RI segera menerbitkan mata uang sendiri sebagai
atribut kemerdekaan Indonesia. Ia juga terkenal dengan kebijakan gunting
Syafruddin. Gunting
Syafruddin adalah kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Syafruddin Prawiranegara, Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta II, yang
mulai berlaku pada jam 20.00 tanggal 10 Maret 1950. Kebijakan itu dikenal sebagai kebijakan berani yang
ditetapkan Pemerintah Indonesia dengan cara menggunting fisik uang kertas. Ketika
itu, ada tiga jenis mata uang yang beredar di Indonesia. Ketiga mata uang
tersebut adalah Oeang Republik Indonesia (ORI), mata uang peninggalan
pemerintah kolonial Hindia Belanda yang dikeluarkan oleh De Javasche Bank,
serta mata uang yang digunakan ketika NICA (Belanda) berada di Indonesia
pasca-kemerdekaan atau selama masa revolusi fisik.
Menurut kebijakan itu, "uang merah" (uang NICA) dan uang De Javasche Bank dari
pecahan Rp 5 ke atas digunting menjadi dua. Guntingan kiri tetap berlaku
sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai setengah dari nilai semula sampai
tanggal 9 Agustus pukul
18.00. Mulai 22 Maret sampai 16 April, bagian kiri itu harus ditukarkan dengan
uang kertas baru di bank dan tempat-tempat yang telah ditunjuk. Lebih dari
tanggal tersebut, maka bagian kiri itu tidak berlaku lagi. Guntingan kanan
dinyatakan tidak berlaku, tetapi dapat ditukar dengan obligasi negara sebesar setengah dari nilai semula, dan
akan dibayar tiga puluh tahun kemudian dengan bunga 3% setahun. "Gunting Syafruddin"
itu juga berlaku bagi simpanan di bank. Pecahan Rp 2,50 ke bawah tidak mengalami pengguntingan,
demikian pula uang ORI (Oeang Republik Indonesia). Kebijakan ini dibuat untuk
mengatasi situasi ekonomi Indonesia yang
saat itu sedang terpuruk, utang menumpuk, inflasi tinggi, dan harga melambung. Dengan
kebijaksanaan yang kontroversial itu, Sjafruddin bermaksud sekali pukul
menembak beberapa sasaran: penggantian mata uang yang bermacam-macam dengan
mata uang baru, mengurangi jumlah uang yang beredar untuk menekan inflasi dan
dengan demikian menurunkan harga barang, dan mengisi kas pemerintah dengan
pinjaman wajib yang besarnya diperkirakan akan mencapai Rp 1,5 miliar.
Sebagai bentuk penghargaan bangsa ini, Syafruddin Prawiranegara mendapatkan
gelar Pahlawan Nasional pada tanggal 8 November 2011 yang dianugerahkan oleh
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Nama Syafruddin Prawiranegara juga
diabadikan sebagai nama Gedung di Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia.
Berikut beberapa cuplikan kisah hidup beliau terkait integritas agar kita dapat
mengambil Pelajaran.
Sjafruddin Prawiranegara diakui banyak orang sebagai sosok amanah
yang memegang teguh kesetiaan kepada negaranya. Saking setianya, dia bahkan tak
membocorkan kebijakan penting kepada istrinya, Tengku Halimah. Pada 1950-an,
Tengku Halimah terkejut saat menerima gaji sang suami. Pasalnya, gaji yang tak
seberapa itu harus dipotong setengah. Itu sebagai akibat dari kebijakan menteri
keuangan yang tak lain dari suaminya, Sjafruddin. Kebijakan itu menggariskan
uang di atas Rp5 dipotong menjadi dua alias menjadi hanya setengahnya. Setengah
bagian dipinjamkan kepada negara yang saat itu tengah kesulitan dana. Kebijakan
kontroversial tersebut dikenal sebagai “Gunting Sjafruddin”. “Kok tidak
bilang-bilang?” protes Tengku Halimah. Sjafruddin menjawab, “Kalau
bilang-bilang, tidak rahasia, dong!” Demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
delapan anaknya, Tengku Halimah pun harus kas bon ke Kementerian Keuangan.
Utang itu terus bertambah dan baru bisa dilunasi ketika Sjafruddin menjabat
Presiden Direktur De Javasche Bank (Bank Indonesia) pada 1951.
Kisah lainnya, suatu hari pada 1948, seorang gadis kecil
bercengkerama dengan ibunya. Sebuah pertanyaan lugu terlontar dari mulutnya.
“Mengapa kita tidak minta bantuan saja pada Presiden Om Karno dan Wakil
Presiden Om Hatta serta Om Hengky yang Raja Jawa, Bu?” kata dia. “Apakah ibu
tidak malu (berjualan sukun goreng)? Ayah orang hebat, keluarga ayah dan ibu
juga orang-orang hebat.” Sang ibu tersenyum simpul, lalu menjawab, “Iya,
sayang... Ibu mengerti. Tapi, dengarkan, ya... Yang membuat kita boleh malu
adalah kalau kita mengambil milik orang lain yang bukan hak kita, atau
mengambil uang negara. Itu pencuri namanya. Orang-orang mungkin tidak tahu,
tapi Allah tahu.” “Ayahmu sering mengatakan kepada ibu agar kita jangan
bergantung pada orang lain. Kalau tidak penting sekali, jangan pernah meminjam
uang. Jangan pernah berutang.” Si gadis kecil lugu itu bernama Icah, sementara
sang ibunda adalah Tengku Halimah, istri Sjafruddin Prawiranegara. Seperti
dikatakan Icah, Sjafruddin memang bukan orang sembarangan. Dia pernah menjabat
sebagai Gubernur Bank Indonesia, menteri keuangan, menteri kemakmuran, wakil
perdana menteri, dan Presiden Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Selama 207 hari, Sjafruddin memimpin PDRI demi mempertahankan kemerdekaan yang
diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Selama 207 hari mendampingi suaminya
menjalankan tugas itu, Tengku Halimah berjualan sukun goreng demi menghidupi
empat anaknya yang masih kecil, yakni Icah, Vivi, Khalid, dan Farid.
Demikianlah sekelumit kisah teladan dari Syafruddin Prawiranegara, seorang
tokoh bangsa, agar kita dapat meneladaninya. (Arip Budiyanto Kepala Seksi
Kepatuhan Internal KPKNL Manado).
Referensi :
Tim
KPK (EBook). ORANGE JUICE FOR INTEGRITY Belajar Integritas kepada Tokoh
Bangsa. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2014.
https://id.wikipedia.org/wiki/Syafruddin_Prawiranegara, diakses tanggal 26 Oktober 2023.