Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Manado > Artikel
Belajar Integritas dari Syafruddin Prawiranegara Menteri Keuangan Ke 2 Republik Indnesia
Arip Budiyanto
Kamis, 26 Oktober 2023   |   5597 kali

Syafruddin Prawiranegara yang lahir di Serang, Banten, pada 28 Februari 1911. Sjafruddin lahir dari seorang ayah yang berprofesi jaksa. Tak heran bila ia kemudian memilih masuk Rechtshogeschool (RHS) usai menyelesaikan pendidikan di Algemeene Middelbare School (AMS) pada 1931. Pada 1939, Syafruddin meraih titel Meester in de Rechten (Mr). Menariknya, pria yang saat kecil akrab dipanggil Kuding itu justru berkarier di bidang lain. Sempat menjadi pegawai di radio swasta, ia lantas menjadi petugas Departemen Keuangan, baik pada akhir penjajahan Belanda maupun saat pendudukan Jepang. Setelah Indonesia merdeka, Syafruddin sempat menjabat menteri keuangan, perdana menteri, wakil perdana menteri, dan Gubernur Bank Indonesia. Saat terjadi Agresi Militer II yang dilancarkan Belanda pada 1948, Syafruddin dipercaya mengambil alih pemerintahan karena Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta ditangkap oleh Belanda. Pada 13 Juli 1949, Sjafruddin mengembalikan mandat kepada Presiden Soekarno. Pengabdian Syafruddin bagi negeri ini berakhir pada 15 Februari 1989. Dalam usia 77 tahun, ia berpulang ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa.

Beliau pernah menjadi Menteri Keuangan pada periode 2 Oktober 1946 – 26 Juni 1947 dan periode 20 Desember 1949 – 27 April 1951. Syafruddin Prawiranegara menjadi orang yang pertama kali mendesak Mohammad Hatta agar pemerintah RI segera menerbitkan mata uang sendiri sebagai atribut kemerdekaan Indonesia. Ia juga terkenal dengan kebijakan gunting Syafruddin. Gunting Syafruddin adalah kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Syafruddin PrawiranegaraMenteri Keuangan dalam Kabinet Hatta II, yang mulai berlaku pada jam 20.00 tanggal 10 Maret 1950. Kebijakan itu dikenal sebagai kebijakan berani yang ditetapkan Pemerintah Indonesia dengan cara menggunting fisik uang kertas. Ketika itu, ada tiga jenis mata uang yang beredar di Indonesia. Ketiga mata uang tersebut adalah Oeang Republik Indonesia (ORI), mata uang peninggalan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang dikeluarkan oleh De Javasche Bank, serta mata uang yang digunakan ketika NICA (Belanda) berada di Indonesia pasca-kemerdekaan atau selama masa revolusi fisik.

Menurut kebijakan itu, "uang merah" (uang NICA) dan uang De Javasche Bank dari pecahan Rp 5 ke atas digunting menjadi dua. Guntingan kiri tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai setengah dari nilai semula sampai tanggal 9 Agustus pukul 18.00. Mulai 22 Maret sampai 16 April, bagian kiri itu harus ditukarkan dengan uang kertas baru di bank dan tempat-tempat yang telah ditunjuk. Lebih dari tanggal tersebut, maka bagian kiri itu tidak berlaku lagi. Guntingan kanan dinyatakan tidak berlaku, tetapi dapat ditukar dengan obligasi negara sebesar setengah dari nilai semula, dan akan dibayar tiga puluh tahun kemudian dengan bunga 3% setahun. "Gunting Syafruddin" itu juga berlaku bagi simpanan di bank. Pecahan Rp 2,50 ke bawah tidak mengalami pengguntingan, demikian pula uang ORI (Oeang Republik Indonesia). Kebijakan ini dibuat untuk mengatasi situasi ekonomi Indonesia yang saat itu sedang terpuruk, utang menumpuk, inflasi tinggi, dan harga melambung. Dengan kebijaksanaan yang kontroversial itu, Sjafruddin bermaksud sekali pukul menembak beberapa sasaran: penggantian mata uang yang bermacam-macam dengan mata uang baru, mengurangi jumlah uang yang beredar untuk menekan inflasi dan dengan demikian menurunkan harga barang, dan mengisi kas pemerintah dengan pinjaman wajib yang besarnya diperkirakan akan mencapai Rp 1,5 miliar.

Sebagai bentuk penghargaan bangsa ini, Syafruddin Prawiranegara mendapatkan gelar Pahlawan Nasional pada tanggal 8 November 2011 yang dianugerahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Nama Syafruddin Prawiranegara juga diabadikan sebagai nama Gedung di Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia. Berikut beberapa cuplikan kisah hidup beliau terkait integritas agar kita dapat mengambil Pelajaran.

Sjafruddin Prawiranegara diakui banyak orang sebagai sosok amanah yang memegang teguh kesetiaan kepada negaranya. Saking setianya, dia bahkan tak membocorkan kebijakan penting kepada istrinya, Tengku Halimah. Pada 1950-an, Tengku Halimah terkejut saat menerima gaji sang suami. Pasalnya, gaji yang tak seberapa itu harus dipotong setengah. Itu sebagai akibat dari kebijakan menteri keuangan yang tak lain dari suaminya, Sjafruddin. Kebijakan itu menggariskan uang di atas Rp5 dipotong menjadi dua alias menjadi hanya setengahnya. Setengah bagian dipinjamkan kepada negara yang saat itu tengah kesulitan dana. Kebijakan kontroversial tersebut dikenal sebagai “Gunting Sjafruddin”. “Kok tidak bilang-bilang?” protes Tengku Halimah. Sjafruddin menjawab, “Kalau bilang-bilang, tidak rahasia, dong!” Demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari delapan anaknya, Tengku Halimah pun harus kas bon ke Kementerian Keuangan. Utang itu terus bertambah dan baru bisa dilunasi ketika Sjafruddin menjabat Presiden Direktur De Javasche Bank (Bank Indonesia) pada 1951.

Kisah lainnya, suatu hari pada 1948, seorang gadis kecil bercengkerama dengan ibunya. Sebuah pertanyaan lugu terlontar dari mulutnya. “Mengapa kita tidak minta bantuan saja pada Presiden Om Karno dan Wakil Presiden Om Hatta serta Om Hengky yang Raja Jawa, Bu?” kata dia. “Apakah ibu tidak malu (berjualan sukun goreng)? Ayah orang hebat, keluarga ayah dan ibu juga orang-orang hebat.” Sang ibu tersenyum simpul, lalu menjawab, “Iya, sayang... Ibu mengerti. Tapi, dengarkan, ya... Yang membuat kita boleh malu adalah kalau kita mengambil milik orang lain yang bukan hak kita, atau mengambil uang negara. Itu pencuri namanya. Orang-orang mungkin tidak tahu, tapi Allah tahu.” “Ayahmu sering mengatakan kepada ibu agar kita jangan bergantung pada orang lain. Kalau tidak penting sekali, jangan pernah meminjam uang. Jangan pernah berutang.” Si gadis kecil lugu itu bernama Icah, sementara sang ibunda adalah Tengku Halimah, istri Sjafruddin Prawiranegara. Seperti dikatakan Icah, Sjafruddin memang bukan orang sembarangan. Dia pernah menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia, menteri keuangan, menteri kemakmuran, wakil perdana menteri, dan Presiden Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Selama 207 hari, Sjafruddin memimpin PDRI demi mempertahankan kemerdekaan yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Selama 207 hari mendampingi suaminya menjalankan tugas itu, Tengku Halimah berjualan sukun goreng demi menghidupi empat anaknya yang masih kecil, yakni Icah, Vivi, Khalid, dan Farid. Demikianlah sekelumit kisah teladan dari Syafruddin Prawiranegara, seorang tokoh bangsa, agar kita dapat meneladaninya. (Arip Budiyanto Kepala Seksi Kepatuhan Internal KPKNL Manado).

 

Referensi :

Tim KPK (EBook). ORANGE JUICE FOR INTEGRITY Belajar Integritas kepada Tokoh Bangsa. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2014.

https://id.wikipedia.org/wiki/Syafruddin_Prawiranegara, diakses tanggal 26 Oktober 2023.

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini