Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Mamuju > Artikel
Menuju Pengelolaan BMN Masa Depan: Mengukur Keberhasilan Pengelolaan Barang Milik Negara (atau Daerah)
Ida Kade Sukesa
Senin, 04 Desember 2023   |   574 kali

Pengukuran keberhasilan atau kemajuan sudah menjadi hal penting sejak lama, sebab hasil pengukuran itu dapat menjadi panduan bagi berbagai pihak dengan berbagai tujuan untuk mengukur keberhasilan (mengevaluasi kinerja) suatu entitas seperti negara, pemerintah dan lainnya (termasuk suatu program atau kegiatan), dan kemudian bertindak (mengambil kebijakan atau pilihan) berdasarkan itu. Dalam ekonomi makro kita mengenal pengukuran kesejahteraan dan kemajuan dengan penggunaan berbagai macam model atau indeks pengukuran.

Gross Domestic Product (GDP) adalah salah satu pengukuran dalam bidang makro ekonomi yang paling populer digunakan dalam mengukur kesejahteraan. GDP dapat memberikan informasi mengenai ukuran ekonomi dan kinerjanya, dan pertumbuhan dari real GDP dapat menjadi indikasi kesehatan suatu perekonomian (Callen, n.d.). Secara umum pertumbuhan positif dari real GDP dianggap sebagai pertanda baik. Namun dengan kepopulerannya itu pengukuran menggunakan GDP juga banyak menuai kritik (Stiglitz, 2020). Sebab pada kenyataannya seringkali produktivitas, pendapatan atau pengeluaran penduduk sebagaimana yang di-capture oleh GDP per kapita tidak merefleksikan secara akurat kesejahteraan (general well-being) karena dihitung menggunakan rata-rata, sehingga gagal memperlihatkan adanya kesenjangan dan seterusnya. Untuk mengatasi permasalahan ini pengukuran kesejahteraan dengan GDP per-kapita atau pertumbuhannya, dilengkapi dengan pengukuran inequality, angka pengangguran, angka kemiskinan, dan seterusnya. Namun pengukuran-pengukuran itu masih berkutat hanya pada aspek pendapatan, sehingga mulailah dimasukkan aspek-aspek lainnya dan muncul pengukuran yang lebih rumit seperti indeks pembangunan manusia (IPM), indeks kebahagiaan dan seterusnya. Bahkan Negara seperti Bhutan bersikukuh menggunakan pengukurannya sendiri dengan indeks kebahagiaan  (OPHI, 2023). Ekonom-ekonom dunia pun berusaha mencari alternatif-alternatif pengukuran baru (Stiglitz, Sen, & Fitoussi, 2011).

Kendati muncul berbagai model pengukuran kesejahteraan dan kemajuan, sampai sejauh ini kebanyakan orang atau ahli (bahkan) cenderung tetap menggunakan pengukuran GDP, dengan tentu tetap membawa komplemennya seperti pengukuran inequality, angka pengangguran, dan angka kemiskinan. Pilihan ini, terasa sangat wajar mengingat GDP, yang dapat memberikan gambaran ukuran perekonomian, memiliki tingkat keabstrakannya yang rendah dibandingkan dengan indeks-indeks yang rumit, sehingga mudah diimajinasikan oleh khalayak pada umumnya (bukan hanya oleh akademisi), dan dengan menggunakan secara bersama-sama dengan pengukuran lain, potensi bias dan misleading dalam memahaminya relatif kecil. Dalam kondisi itu, dan di tengah berbagai kritik terhadapnya GDP dan pertumbuhannya, dengan berbagai varian bentuknya (termasuk per kapita atau secara agregat, dan nominal atau real) tetap menjadi pilihan paling popular ketika dihadapkan pada kebutuhan untuk mengukur kesejahteraan.

Kondisi di atas menggambarkan bagaimana rumitnya membangun sebuah pengukuran. Satu pengukuran saja tidak cukup, karena seringkali pengukuran yang ada tidak merefleksikan kenyataan jika tidak dipahami dengan benar atau tanpa ada pengukuran lainnya sebagai pelengkap. Lantas bagaimana dengan Barang Milik Negara (BMN)? Ada dua hal yang harus dipahami disini, yang pertama layaknya kesejahteraan dan kemajuan ukuran keberhasilan pengelolaan BMN juga sangat diperlukan. Ukuran keberhasilan itu dapat menjadi bahan evaluasi kinerja pengelolaan yang dapat digunakan dalam berbagai keperluan termasuk pengambilan kebijakan yang efektif dan efisien. Selanjutnya yang kedua bagaimana membangun pengukuran yang benar-benar bisa merefleksikan kondisi nyata pengelolaan BMN dan dapat memperlihatkan kemajuan pengelolaan BMN dari waktu ke waktu.

Dalam tulisan ini penulis mencoba melihat model-model pengukuran keberhasilan pengelolaan BMN yang sudah ada, dan selanjutnya mencoba menentukan model mana yang kiranya sesuai untuk pengelolaan BMN (atau juga bisa digunakan untuk pengukuran keberhasi pengelolaan Barang Milik Daerah (BMD)), sebagaimana layaknya GDP dan pertumbuhannya untuk perekonomian/kesejahteraan/kemajuan.

Evaluasi Kinerja BMN Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 349/KM.6/2018

Yang partama dibahas dalam tulisan ini adalah evaluasi kinerja BMN dengan aplikasi SIMAN Portofolio Aset. Pelaksanaan evaluasi kinerja BMN ini dimulai dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 349/KM.6/2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Evaluasi Kinerja Barang Milik Negara. Dengan adanya pengukuran kinerja BMN ini diharapkan terjadi shifting pengelolaan BMN dari asset administrator menjadi asset manager, yang mana konsep ini diharapkan menjadi tulang punggung dalam fase ketiga dari rezim pengelolaan BMN yaitu pengukuran kinerja BMN. Meskipun diharapkan pelaksanaan pengukuran kinerja aset dilaksanakan pada semua portofolio aset pemerintah, namun Keputusan Menteri Keuangan Nomor 349/KM.6/2018 hanya berfokus pada BMN yang memiliki signifikansi tinggi yaitu tanah dan bangunan.

Evaluasi kinerja BMN dilakukan secara langsung pada BMN dan dimensinya dengan menggunakan enam indikator pengukuran yaitu kepentingan umum, manfaat sosial, tingkat kepuasan pengguna, potensi penggunaan masa depan, kelayakan finansial/ekonomi, dan kondisi teknis. Indikator-indikator itu dibagi lagi menjadi sub indikator, yang mana skor yang diberikan memperhitungkan sejumlah sub indikator yang digabungkan dengan metode yang ditetapkan.

Dalam pelaksanaannya indikator-indikator yang dipakai dapat tidak berlaku atau tidak digunakan. Indikator tidak berlaku dalam hal tidak sesuai dengan kondisi aset, sementara tidak digunakan karena alasan tertentu seperti indikator income generating tidak digunakan apabila BMN tidak menghasilkan PNBP. Untuk mendapatkan skor tertentu setiap unsur harus dipenuhi dan jika hanya sebagian yang terpenuhi maka mendapat skor yang lebih rendah, yang berarti indikator yang diukur menunjukkan kinerja yang rendah atau tidak ada sama sekali. Selanjutnya hasil penilaian tidak ditampilkan dalam bentuk angka melainnya warna pada tampilan aplikasi, warna hijau menandakan kinerja aset yang baik, sementara warna merah menandakan kinerja di bawah yang diharapkan.

Menurut hemat penulis, untuk dapat menjadi ukuran keberhasilan pengelolaan BMN layaknya GDP dengan tingkat keabstrakan yang rendah, kelemahan dari evaluasi kinerja BMN ini terletak kekuatannya yaitu keluasannya, karena mencoba untuk menangkap semua fenomena pengelolaan BMN dari berbagai dimensi. Dari sudut pandang ini, portofolio aset sepertinya dirancang untuk mengukur aset secara individual atau setidaknya tidak dimaksudkan untuk mendapat gambaran secara agregat seluruh BMN yang diukur, misalnya gambaran kinerja aset di suatu Kabupaten, Provinsi atau secara keseluruhan Negara, atau suatu Kanwil DJKN, KPKNL atau seluruh DJKN. Lebih lanjut, dengan batasan adanya kemungkinan permasalahan indikator yang tidak berlaku dan tidak digunakan, serta ketiadaan unsur tertentu mempengaruhi nilai, maka jika dilakukan proses pengabungan kemungkinan akan menghasilkan nilai yang bias dan misleading sangatlah besar.

Yang menurut hemat penulis cukup problematik juga adalah terkait dengan pengukuran manfaat sosial, terutama mengenai apakah ada dasar yang kuat mengenai relasi antara BMN dengan indikator-indikator kesejahteraan, sementara dalam berbagai penelitian di berbagai negara berkembang, pertumbuhan infrastruktur seringkali tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan indikator kesejahteraan (Sukesa, 2020). Selain itu penggunaan indikator kesejahteraan per se (bukan pertumbuhannya) juga menurut hemat penulis bermasalah. Sebagai contoh apabila pemerintah membangun rumah sakit yang memiliki concern terhadap kesehatan ibu dan anak (penanganan isu stunting) di daerah tertinggal berdasarkan indikator kesejahteraan (dengan angka stunting yang tinggi) maka hasil pengukuran akan menunjukkan skor yang rendah, sementara faktanya manfaat sosial dari rumah sakit itu kemungkinan sangat tinggi. Begitu pula sebaliknya, jika rumah sakit itu dibangun di Jakarta dengan indikator kesejahteraan tinggi maka hasil pengukurannya mendapatkan skor yang maksimal. Di sini barangkali perlu dipertimbangkan penggunaan variabel pertumbuhan dari unsur IPM atau indeks mutu hidup (IMH), yang dapat menangkap dampak perubahan pasca dibangun, atau barangkali dihitung dengan mempertimbangan adanya lag waktu dari dampak suatu pembangunan aset terhadap indikator-indikator kesejahteraan.

Indeks Pengelolaan Aset (IPA)

Pengukuran kedua yang dibahas di sini adalah IPA. IPA merupakan indeks kualitas dan kinerja pengelolaan BMN dengan mengukur empat sasaran strategis, yang secara keseluruhan menggunakan delapan parameter (Dhaniarto & Pranawengrum, 2022). Sasaran strategis pertama yaitu pengelolaan BMN yang akuntabel dan produktif, yang diukur menggunakan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) terkait BMN pada Kementerian/Lembaga (K/L) dan realisasi Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari pengelolaan aset. Sasaran strategis kedua yaitu kepatuhan pengelolaan BMN terhadap Peraturan Perundangan yang diukur menggunakan parameter ketepatan waktu penyampaian laporan dan Rencana Kebutuhan BMN (RKBMN) dan asuransi BMN. Sasaran strategis ketiga adalah pengawasan dan pengendalian BMN yang efektif, yang diukur dengan parameter  persentase tindak lanjut temuan BPK terkait BMN, dan tindak lanjut pengelolaan BMN. Terakhir, sasaran strategis keempat administrasi BMN yang andal, yang diukur menggunakan parameter persentase BMN memiliki dokumen kepemilikan, dan penggunaan BMN yang sesuai ketentuan. Setiap parameter diukur dengan skala 1 sampai dengan 4.

Jika dicermati, sebagian besar pengukuran yang dilakukan tidak secara langsung kepada BMN-nya, melainkan kinerja pengelolaan BMN didekati secara tidak langsung melalui proxy lain yaitu produk-produk terkait pengelolaan BMN seperti hasil audit dan produk administrasi seperti pelaporan, sehingga untuk memahaminya perlu langkah yang lebih dalam karena tidak secara konkret menggambarkan BMN. Gambaran yang didapatkan juga menjadi problematik, yang sangat tergantung pada produk-produk itu seperti akurasi hasil audit, besaran realisasi PNBP yang seringkali tergantung pada lokasi, waktu penyampaian laporan yang seringkali tidak merefleksikan kualitas laporan dan apa yang dilaporkan dan seterusnya. Kondisi ini menurut hemat penulis menyebabkan IPA sulit menjadi indikator pengelolaan yang sustainable, yang dapat menggambarkan kualitas pengelolaan BMN secara real dan akurat, termasuk di dalamnya kemajuannya jika dilihat dari perubahannya dari satu periode ke periode lainnya.

Pengukuran Kesesuaian Penggunaan BMN dengan Standar Barang dan Standar Kebutuhan (SBSK)

Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 172/PMK.6/2020 tentang Standar Barang dan Standar Kebutuhan Barang Milik Negara, Pemerintah menetapkan suatu standar mengenai Barang Milik Negara yang terbagi menjadi dua bentuk. Yang pertama adalah standar barang (SB) yang berdasarkan ketentuan itu didefinisikan sebagai standar spesifikasi barang yang ditetapkan sebagai acuan perhitungan pengadaan dan penggunaan BMN dalam Perencanaan Kebutuhan Kementerian/Lembaga. Selanjutnya yang kedua adalah standar kebutuhan (SK) yaitu satuan jumlah barang yang dibutuhkan sebagai acuan perhitungan pengadaan dan penggunaan BMN dalam perencanaan kebutuhan Kementerian/Lembaga. Dalam ketentuan tersebut diatur SBSK untuk BMN berupa tanah dan/atau bangunan gedung perkantoran, tanah dan/atau bangunan rumah negara, tanah dan/atau bangunan pendidikan, tanah dan/atau bangunan tempat persidangan, tanah dan/atau bangunan ruang tahanan, kendaraan jabatan, dan kendaraan operasional.

Pada mulanya standar ini dibuat untuk keperluan perencanaan kebutuhan BMN sehingga dapat dilakukan dengan lebih akurat sesuai dengan standar yang baku dan seragam. Belakangan, pengukuran ini digunakan juga untuk mengukur kinerja pengelolaan BMN, selain sesuai dengan tujuan awalnya. Sama halnya dengan pengukuran portofolio aset pengukuran yang dilakukan dengan membandingkan penggunaan BMN dengan SBSK ini dilakukan secara langsung pada masing-masing BMN dengan berbagai kriteria. Sebagai contoh untuk gedung perkantoran terdapat klasifikasi bangunan yang dikelompokkan ke dalam 4 tipe yaitu tipe A, B, C, dan D berdasarkan level jabatan penggunanya seperti Lembaga Negara, Menteri, Eselon 1 dan seterusnya. Selanjutnya, standar ketinggian yaitu jumlah lantai gedung yang disesuikan dengan klasifikasinya. Standar kebutuhan unit juga disesuaikan dengan klasifikasinya. Standar luas bangunan dan standar luas ruang kerja yang dihitung dengan menjumlahkan kebutuhan ruang setiap pegawai yang ada berdasarkan level jabatannya, ruang penunjang seperti ruang pertemuan dan seterusnya. Selanjutnya, ruang pelayanan luasannya ditentukan berdasarkan jumlah pengunjung setiap hari. Lebih lanjut, dalam ketentuan itu diatur juga mengenai standar luas tanah.

Permasalahan pengukuran kesesuaian penggunaan BMN dengan SBSK yang ada saat ini sebagai pengukuran keberhasilan pengelolaan BMN secara umum adalah pengukuran ini sifatnya sangat spesifik hanya dihitung berdasarkan indikator standar barang dan standar kebutuhan tanpa mempertimbangkan dimensi lain dari pengelolaan BMN (namun kesederhanaan ini justru menjadi kekuatan dari pengukuran kesesuaian penggunaan BMN dengan SBSK, sepanjang standar kebutuhan dan standar barang disusun secara akurat maka akan menghasilkan perhitungan yang dapat dipahami secara konkret tanpa dibutuhkan imajinasi yang berlebihan dengan tingkat keabstrakan yang rendah). Selanjutnya, pengaturan mengenai SBSK juga masih terbatas pada jenis BMN tertentu. Permasalahan lain dari SBSK adalah perhitungan SBSK hanya dapat menangkap kelebihan ruang/lahan, apabila terjadi kekurangan ruang maka skor akan dikunci di nilai 100 persen. Persoalan lainnya adanya kemungkinan fenomena expert adjusment, dengan penetapan target berdasarkan skor akhir dari pengukuran dimungkinkannya menyebabkan adanya usaha untuk menghasilkan nilai yang tinggi. Misalnya dengan menaikkan nilai unsur tertentu sehingga luasan yang dibutuhkan dapat tersesuaikan, atau pemakaian BMN yang tidak terpakai sehingga tidak ter-capture sebagai masalah.

Menuju Pengukuran Masa Depan

Dari ketiga pengukuran yang sudah ada sepertinya pengukuran kesesuaian penggunaan BMN dengan SBSK yang paling memungkinkan untuk menjadi pengukuran keberhasilan pengelolaan BMN, layaknya GDP untuk pengukuran kesejahteraan. Setidaknya ada dua hal yang menjadi alasan: 1) pengukuran kesesuaian penggunaan BMN dengan SBSK secara langsung mengukur BMN tanpa harus menggunakan proxy lain seperti laporan atau hasil audit sebagai variabel yang diukur; 2) perhitungan sederhana dan konkret dengan tingkat keabstrakan yang rendah sehingga potensi bias dan misleading dapat ditekan, serta mudah dipahami maknanya. Tentu sebagaimana GDP yang begitu banyak menerima kritik, SBSK juga memiliki kelemahan yang harus dicermati terutama sifat kekhususannya yang hanya mempertimbangkan standar barang dan standar kebutuhan.

Selanjutnya, terdapat beberapa permasalahan-permasalahan dalam pengukuran kesesuaian penggunaan BMN dengan SBSK yang cukup krusial untuk diselesaikan. Pertama, standar barang dan standar kebutuhan hendaknya disesuaikan terlebih dahulu dengan new ways of working dengan model flexible working space dan non-dedicated seat dalam kaitannya dengan disrupsi teknologi di dunia kerja, sehingga relevansi hasil pengukurannya dapat dipertahankan. Fenomena adanya banyak ruangan kosong di beberapa kantor pemerintah pasca penerapan new ways of working sepertinya harus dipertimbangkan.

Kedua, kekurangan ruang seharusnya mempengaruhi nilai hasil pengukuran, sehingga seluruh permasalahan BMN dapat ditangkap (termasuk ketidakseimbangan alokasi aset). Jika dari hasil perhitungan sebelum dinormalkan menjadi 100 persen dihasilkan 120 persen, maka nilai 20 persen hendaknya menjadi faktor pengurang atau skornya menjadi 80 persen, hal ini penting karena 2 hal: 1) agar proses penggabungan nanti tidak terjadi hasil yang misleading, semisal nilai yang digunakan 100 persen maka kekurangan ruang tidak ter-capture, apabila  nilai dipaksakan 120 persen maka jika suatu entitas memiliki tiga BMN yang diukur dengan masing-masing nilainya 80 persen, 100 persen, dan 120 persen maka hasil rata-ratanya menjadi 100 persen, sehingga terkesan sempurna; dan 2) pada prinsipnya kekurangan ruang juga adalah masalah.

Ketiga, dilakukan pemisahan antara pengukuran kinerja BMN dengan pelaksanaan tindak lanjutnya untuk menjaga akurasi hasil berdasarkan kenyataan dan menghindari adjusment dari petugas pengukur (expert adjusment). Hal ini dapat dilakukan dengan menetapkan target bukan dari hasil pengukuran melainkan jumlah aset yang diukur. Menghasilkan data yang akurat sangat penting untuk memastikan hasilnya dapat merefleksikan kenyataan sehingga treatment kebijakan terhadapnya benar-benar bisa efektif.

Keempat, agar diciptakan juga pengukuran kinerja komplementer seperti angka kekurangan ruang/luasan, ada angka kelebihan ruang/luasan, angka pemanfaatan ruang/luasan (pemanfaatan BMN), dan angka kebutuhan ruang/luasan, layaknya angka pengangguran, kemiskinan, inequality dan lain-lain bagi GDP. Dengan adanya angka kekurangan ruang dan kelebihan ruang, dikombinasi dengan ter-capture-nya kekurangan dan kelebihan ruang dalam nilai SBSK maka upaya untuk penguatan fungsi pengelola barang sebagai akumulator dan alokator sumber daya yang diwujudkan dalam redistribusi aset dapat dilakukan dengan terarah dengan hasil yang dapat diukur secara akurat. Di sini nilai pengukuran kesesuaian penggunaan BMN dengan SBSK dan angka pemanfaatan ruang hendaknya dipayakan meningkat. Sementara angka kelebihan dan kekurangan ruang ditekan dengan dilakukan redistribusi aset dan pengalokasian aset secara lebih efesien untuk memaksimalkan manfaat bagi negara.

Kelima, terkait dengan terbatasnya pengukuran hanya terhadap BMN yang diatur SBSK-nya, menurut hemat penulis setidaknya terdapat dua pilihan. Yang pertama adalah dibuatkan SBSK-nya, yang tentu saja akan sangat sulit mengingat aset tertentu seperti infrastruktur memiliki karakteristik yang sangat berbeda. Yang kedua adalah dibuatkan pengukuran terpisah dengan menyesuaikan dengan karakteristik BMN tertentu itu, tentu pada akhirnya pengukuran kesesuaian pengalokasian aset dengan SBSK tetap akan menjangkau jumlah BMN yang sangat signifikan dan sangat menentukan langkah-langkah pengelolaan BMN masa depan.

Selanjutnya, dengan pengukuran yang akurat pilihan-pilihan untuk memaksimalkan manfaat bagi negara, tentunya dengan pengalokasian aset yang efisien dan efektif menjadi terbuka lebar. Seperti penyatuan lokasi kantor apabila ternyata terdapat banyak kelebihan ruang di daerah yang sama. Selanjutnya, pemanfaatan atau bahkan pelepasan aset yang berlebih jika dirasa angka kebutuhan ruang telah terpenuhi secara efisien (tentu sebagai efek dari pengalokasian secara efisien tadi). Kemungkinan penggabungan seluruh pengelolaan rumah negara ke dalam satu unit khusus, tentu dengan pertimbangan misalnya: 1) bahwa terdapat rumah negara di instansi tertentu yang tidak dimanfaatkan secara optimal, sementara di saat yang sama terdapat instansi yang membutuhkan, tentu gambaran ini didapat dari angka kekurangan dan kelebihan ruang rumah negara; 2) kemungkinan pengalokasian yang lebih efisien jika satu unit khusus mengelola rumah negara dengan jumlah yang banyak; 3) pembangunan baru dalam bentuk lebih efisien seperti model rumah susun dapat dilakukan dengan mudah tanpa kendala permasalahan arogansi sektoral; 4) pemeliharaan dapat dilakukan dengan lebih efisien karena dapat dilakukan sekaligus dalam jumlah yang banyak sehinga dapat berdampak pada hampir semua komponen biaya pemeliharaan; dan 5) pemanfaatan rumah negara juga dapat dilakukan dengan lebih efesien (tentu dengan mempertimbangkan model-model pengelolaan baru).

Dengan model pengukuran kesuaian pengalokasian BMN sesuai SBSK ini, dengan dilengkapi pengkukuran-pengukuran pelengkap lainnya, kita, Pemerintah, Negara, Masyarakat dapat memiliki ukuran keberhasilan BMN sehingga kemajuan tata kelola dapat diukur dengan suatu ukuran yang akurat. Pengukuran ini atau penyempurnaan dari ini pun bisa secara bersamaan digunakan untuk mengukur keberhasilan pengelolaan BMD. Dengan jumlah 514 kabupaten/kota dan 38 provinsi, data yang ada akan sangat besar dan bermanfaat untuk perumusan kebijakan yang efektif dan efisien, suatu kebijakan dalam pengelolaan BMN dapat dievaluasi secara ilmiah.

Terakhir, tulisan ini tentu masih sangat mentah dengan analisa yang masih sempit dan dangkal, sehingga perlu pendalaman dan perluasan disana-sini. Seperti apakah perbaikannya cukup itu saja (tentu menurut hemat penulis masih sangat terbuka untuk perbaikan – termasuk bagaimana menciptakan pengukuran yang layak untuk yang belum diatur SBSK-nya). Bagi penulis tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai kritik namun sebagai trigger untuk sebuah diskusi menuju perbaikan terus-menerus.

References

Callen, T. (n.d.). BACK T O BASICS COMPILATION. Retrieved from www.imf.org: https://www.imf.org/en/Publications/fandd/issues/Series/Back-to-Basics/gross-domestic-product-GDP#

Dhaniarto, A. Y., & Pranawengrum, R. (2022, October 28). Implementasi Indeks Pengelolaan Aset (IPA) sebagai Penguatan Good Governance dalam Pengelolaan BMN. Retrieved from www.djkn.kemenkeu.go.id: https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/15584/Implementasi-Indeks-Pengelolaan-Aset-IPA-sebagai-Penguatan-Good-Governance-dalam-Pengelolaan-BMN.html

OPHI. (2023). Bhutan’s Gross National Happiness Index. Retrieved from Oxford Poverty and Human Development Initiative (OPHI): https://ophi.org.uk/policy/bhutan-gnh-index/

Stiglitz, J. E. (2020, August). GDP Is the Wrong Tool for Measuring What Matters. Retrieved from www.scientificamerican.com: https://www.scientificamerican.com/article/gdp-is-the-wrong-tool-for-measuring-what-matters/

Stiglitz, J. E., Sen, A., & Fitoussi, J.-P. (2011). Mengukur Kesejahteraan. Jakarta: Marjin Kiri.

Sukesa, I. K. (2020, December 18). The Nexus Between Economic Growth and Transport Infrastructure in Indonesia. Retrieved from Erasmus University Thesis Repository: https://thesis.eur.nl/pub/56051

Ditulis oleh: Ida Kade Sukesa/Kepala Seksi Hukum dan Informasi KPKNL Mamuju

Catatan:

Artikel ini merupakan artikel kesebelas dari serial artikel khusus KPKNL Mamuju yang digunakan untuk menyebarkan informasi/pengetahuan mengenai pengelolaan BMN kepada pengguna jasa yang bertajuk Merindu BMN yaitu Media Ruang Informasi dan Edukasi Barang Milik Negara. 

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini