Pengukuran keberhasilan atau kemajuan sudah menjadi hal
penting sejak lama, sebab hasil pengukuran itu
dapat menjadi panduan bagi berbagai pihak dengan berbagai tujuan untuk mengukur
keberhasilan (mengevaluasi kinerja) suatu entitas seperti negara,
pemerintah dan lainnya (termasuk suatu program atau kegiatan), dan kemudian bertindak (mengambil kebijakan atau pilihan)
berdasarkan itu. Dalam
ekonomi makro kita mengenal pengukuran kesejahteraan dan kemajuan
dengan penggunaan berbagai macam model atau indeks pengukuran.
Gross Domestic
Product
(GDP) adalah salah satu pengukuran dalam
bidang makro ekonomi yang paling populer digunakan dalam mengukur
kesejahteraan. GDP dapat memberikan informasi mengenai ukuran ekonomi dan
kinerjanya, dan pertumbuhan dari real GDP dapat menjadi indikasi kesehatan
suatu perekonomian
Kendati muncul berbagai model pengukuran kesejahteraan dan
kemajuan, sampai sejauh ini kebanyakan orang atau ahli (bahkan)
cenderung tetap menggunakan pengukuran GDP, dengan tentu
tetap membawa komplemennya seperti pengukuran inequality, angka pengangguran, dan angka kemiskinan. Pilihan ini, terasa sangat wajar mengingat GDP, yang dapat memberikan gambaran ukuran perekonomian, memiliki
tingkat keabstrakannya yang rendah dibandingkan dengan
indeks-indeks yang rumit, sehingga mudah diimajinasikan
oleh khalayak pada umumnya (bukan hanya oleh akademisi), dan dengan menggunakan
secara bersama-sama dengan pengukuran lain, potensi bias dan misleading dalam
memahaminya relatif kecil. Dalam kondisi itu, dan di tengah berbagai kritik terhadapnya GDP dan
pertumbuhannya, dengan berbagai varian bentuknya (termasuk per kapita atau
secara agregat, dan nominal atau real) tetap menjadi pilihan
paling popular ketika dihadapkan pada kebutuhan untuk mengukur kesejahteraan.
Kondisi di
atas menggambarkan bagaimana rumitnya membangun sebuah pengukuran. Satu
pengukuran saja tidak cukup, karena seringkali pengukuran yang ada tidak
merefleksikan kenyataan jika tidak dipahami dengan benar atau tanpa ada
pengukuran lainnya sebagai pelengkap. Lantas bagaimana dengan Barang Milik
Negara (BMN)? Ada dua hal yang harus dipahami disini, yang pertama layaknya
kesejahteraan dan kemajuan ukuran keberhasilan pengelolaan BMN juga sangat
diperlukan. Ukuran keberhasilan itu dapat menjadi bahan evaluasi kinerja
pengelolaan yang dapat digunakan dalam berbagai keperluan termasuk pengambilan
kebijakan yang efektif dan efisien. Selanjutnya yang kedua bagaimana membangun
pengukuran yang benar-benar bisa merefleksikan kondisi nyata pengelolaan BMN
dan dapat memperlihatkan kemajuan pengelolaan BMN dari waktu ke waktu.
Dalam
tulisan ini penulis mencoba melihat model-model pengukuran keberhasilan
pengelolaan BMN yang sudah ada, dan selanjutnya mencoba menentukan model mana
yang kiranya sesuai untuk pengelolaan BMN (atau juga bisa digunakan untuk
pengukuran keberhasi pengelolaan Barang Milik Daerah (BMD)), sebagaimana
layaknya GDP dan pertumbuhannya untuk perekonomian/kesejahteraan/kemajuan.
Evaluasi Kinerja BMN Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 349/KM.6/2018
Yang
partama dibahas dalam tulisan ini adalah evaluasi kinerja BMN dengan aplikasi
SIMAN Portofolio Aset. Pelaksanaan evaluasi kinerja BMN ini dimulai dengan
diterbitkannya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 349/KM.6/2018 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Evaluasi Kinerja Barang Milik Negara. Dengan adanya pengukuran
kinerja BMN ini diharapkan terjadi shifting
pengelolaan BMN dari asset administrator
menjadi asset manager, yang mana
konsep ini diharapkan menjadi tulang punggung dalam fase ketiga dari rezim pengelolaan
BMN yaitu pengukuran kinerja BMN. Meskipun diharapkan pelaksanaan pengukuran
kinerja aset dilaksanakan pada semua portofolio aset pemerintah, namun
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 349/KM.6/2018 hanya berfokus pada BMN yang
memiliki signifikansi tinggi yaitu tanah dan bangunan.
Evaluasi
kinerja BMN dilakukan secara langsung pada BMN dan dimensinya dengan menggunakan
enam indikator pengukuran yaitu kepentingan umum, manfaat sosial, tingkat
kepuasan pengguna, potensi penggunaan masa depan, kelayakan finansial/ekonomi,
dan kondisi teknis. Indikator-indikator itu dibagi lagi menjadi sub indikator,
yang mana skor yang diberikan memperhitungkan sejumlah sub indikator yang
digabungkan dengan metode yang ditetapkan.
Dalam
pelaksanaannya indikator-indikator yang dipakai dapat tidak berlaku atau tidak digunakan.
Indikator tidak berlaku dalam hal tidak sesuai dengan kondisi aset, sementara
tidak digunakan karena alasan tertentu seperti indikator income generating tidak digunakan apabila BMN tidak menghasilkan
PNBP. Untuk mendapatkan skor tertentu setiap unsur harus dipenuhi dan jika
hanya sebagian yang terpenuhi maka mendapat skor yang lebih rendah, yang
berarti indikator yang diukur menunjukkan kinerja yang rendah atau tidak ada
sama sekali. Selanjutnya hasil penilaian tidak ditampilkan dalam bentuk angka
melainnya warna pada tampilan aplikasi, warna hijau menandakan kinerja aset
yang baik, sementara warna merah menandakan kinerja di bawah yang diharapkan.
Menurut
hemat penulis, untuk dapat menjadi ukuran keberhasilan pengelolaan BMN layaknya
GDP dengan tingkat keabstrakan yang rendah, kelemahan dari evaluasi kinerja BMN
ini terletak kekuatannya yaitu keluasannya, karena mencoba untuk menangkap
semua fenomena pengelolaan BMN dari berbagai dimensi. Dari sudut pandang ini, portofolio
aset sepertinya dirancang untuk mengukur aset secara individual atau setidaknya
tidak dimaksudkan untuk mendapat gambaran secara agregat seluruh BMN yang
diukur, misalnya gambaran kinerja aset di suatu Kabupaten, Provinsi atau secara
keseluruhan Negara, atau suatu Kanwil DJKN, KPKNL atau seluruh DJKN. Lebih
lanjut, dengan batasan adanya kemungkinan permasalahan indikator yang tidak
berlaku dan tidak digunakan, serta ketiadaan unsur tertentu mempengaruhi nilai,
maka jika dilakukan proses pengabungan kemungkinan akan menghasilkan nilai yang
bias dan misleading sangatlah besar.
Yang menurut
hemat penulis cukup problematik juga adalah terkait dengan pengukuran manfaat
sosial, terutama mengenai apakah ada dasar yang kuat mengenai relasi antara BMN
dengan indikator-indikator kesejahteraan, sementara dalam berbagai penelitian
di berbagai negara berkembang, pertumbuhan infrastruktur seringkali tidak memiliki
hubungan yang signifikan dengan indikator kesejahteraan
Indeks Pengelolaan
Aset (IPA)
Pengukuran
kedua yang dibahas di sini adalah IPA. IPA merupakan indeks kualitas dan kinerja
pengelolaan BMN dengan mengukur empat sasaran strategis, yang secara keseluruhan
menggunakan delapan parameter
Jika dicermati, sebagian besar pengukuran yang dilakukan tidak secara langsung kepada BMN-nya,
melainkan kinerja pengelolaan BMN didekati secara tidak langsung
melalui proxy lain yaitu produk-produk terkait
pengelolaan BMN seperti
hasil audit dan produk administrasi seperti pelaporan, sehingga untuk
memahaminya perlu langkah yang lebih dalam karena tidak secara konkret
menggambarkan BMN. Gambaran yang didapatkan juga menjadi problematik, yang sangat tergantung pada produk-produk itu seperti akurasi hasil audit, besaran realisasi
PNBP yang seringkali tergantung pada lokasi, waktu penyampaian laporan yang
seringkali tidak merefleksikan kualitas laporan dan apa yang dilaporkan dan
seterusnya. Kondisi ini menurut hemat penulis menyebabkan IPA sulit menjadi
indikator pengelolaan yang sustainable, yang dapat menggambarkan kualitas pengelolaan BMN secara
real dan akurat, termasuk di dalamnya kemajuannya jika dilihat dari
perubahannya dari satu periode ke periode lainnya.
Pengukuran Kesesuaian Penggunaan BMN dengan Standar Barang
dan Standar Kebutuhan (SBSK)
Sesuai
dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 172/PMK.6/2020 tentang Standar Barang
dan Standar Kebutuhan Barang Milik Negara, Pemerintah menetapkan suatu standar
mengenai Barang Milik Negara yang terbagi menjadi dua bentuk. Yang pertama adalah
standar barang (SB) yang berdasarkan ketentuan itu didefinisikan sebagai standar
spesifikasi barang yang ditetapkan sebagai acuan perhitungan pengadaan dan penggunaan
BMN dalam Perencanaan Kebutuhan Kementerian/Lembaga. Selanjutnya yang kedua
adalah standar kebutuhan (SK) yaitu satuan jumlah barang yang dibutuhkan
sebagai acuan perhitungan pengadaan dan penggunaan BMN dalam perencanaan kebutuhan
Kementerian/Lembaga. Dalam ketentuan tersebut diatur SBSK untuk BMN berupa tanah
dan/atau bangunan gedung perkantoran, tanah dan/atau bangunan rumah negara,
tanah dan/atau bangunan pendidikan, tanah dan/atau bangunan tempat persidangan,
tanah dan/atau bangunan ruang tahanan, kendaraan jabatan, dan kendaraan
operasional.
Pada
mulanya standar ini dibuat untuk keperluan perencanaan kebutuhan BMN sehingga
dapat dilakukan dengan lebih akurat sesuai dengan standar yang baku dan
seragam. Belakangan, pengukuran ini digunakan juga untuk mengukur kinerja
pengelolaan BMN, selain sesuai dengan tujuan awalnya. Sama halnya dengan
pengukuran portofolio aset pengukuran yang dilakukan dengan membandingkan
penggunaan BMN dengan SBSK ini dilakukan secara langsung pada masing-masing BMN
dengan berbagai kriteria. Sebagai contoh untuk gedung perkantoran terdapat klasifikasi
bangunan yang dikelompokkan ke dalam 4 tipe yaitu tipe A, B, C, dan D
berdasarkan level jabatan penggunanya seperti Lembaga Negara, Menteri, Eselon 1
dan seterusnya. Selanjutnya, standar ketinggian yaitu jumlah lantai gedung yang
disesuikan dengan klasifikasinya. Standar kebutuhan unit juga disesuaikan
dengan klasifikasinya. Standar luas bangunan dan standar luas ruang kerja yang
dihitung dengan menjumlahkan kebutuhan ruang setiap pegawai yang ada
berdasarkan level jabatannya, ruang penunjang seperti ruang pertemuan dan
seterusnya. Selanjutnya, ruang pelayanan luasannya ditentukan berdasarkan
jumlah pengunjung setiap hari. Lebih lanjut, dalam ketentuan itu diatur juga mengenai
standar luas tanah.
Permasalahan
pengukuran kesesuaian penggunaan BMN dengan SBSK yang ada saat ini sebagai
pengukuran keberhasilan pengelolaan BMN secara umum adalah pengukuran ini
sifatnya sangat spesifik hanya dihitung berdasarkan indikator standar barang
dan standar kebutuhan tanpa mempertimbangkan dimensi lain dari pengelolaan BMN
(namun kesederhanaan ini justru menjadi kekuatan dari pengukuran kesesuaian penggunaan
BMN dengan SBSK, sepanjang standar kebutuhan dan standar barang disusun secara
akurat maka akan menghasilkan perhitungan yang dapat dipahami secara konkret
tanpa dibutuhkan imajinasi yang berlebihan dengan tingkat keabstrakan yang
rendah). Selanjutnya, pengaturan mengenai SBSK juga masih terbatas pada jenis
BMN tertentu. Permasalahan lain dari SBSK adalah perhitungan SBSK hanya dapat menangkap
kelebihan ruang/lahan, apabila terjadi kekurangan ruang maka skor akan dikunci
di nilai 100 persen. Persoalan lainnya adanya kemungkinan fenomena expert adjusment, dengan penetapan
target berdasarkan skor akhir dari pengukuran dimungkinkannya menyebabkan
adanya usaha untuk menghasilkan nilai yang tinggi. Misalnya dengan menaikkan nilai
unsur tertentu sehingga luasan yang dibutuhkan dapat tersesuaikan, atau pemakaian
BMN yang tidak terpakai sehingga tidak ter-capture
sebagai masalah.
Menuju Pengukuran Masa Depan
Dari ketiga
pengukuran yang sudah ada sepertinya pengukuran kesesuaian penggunaan BMN
dengan SBSK yang paling memungkinkan untuk menjadi pengukuran keberhasilan
pengelolaan BMN, layaknya GDP untuk pengukuran kesejahteraan. Setidaknya ada
dua hal yang menjadi alasan: 1) pengukuran kesesuaian penggunaan BMN dengan SBSK
secara langsung mengukur BMN tanpa harus menggunakan proxy lain seperti laporan atau hasil audit sebagai variabel yang
diukur; 2) perhitungan sederhana dan konkret dengan tingkat keabstrakan yang
rendah sehingga potensi bias dan misleading dapat ditekan, serta mudah
dipahami maknanya. Tentu sebagaimana GDP yang begitu banyak menerima kritik,
SBSK juga memiliki kelemahan yang harus dicermati terutama sifat kekhususannya
yang hanya mempertimbangkan standar barang dan standar kebutuhan.
Selanjutnya,
terdapat beberapa permasalahan-permasalahan dalam pengukuran kesesuaian penggunaan
BMN dengan SBSK yang cukup krusial untuk diselesaikan. Pertama, standar barang
dan standar kebutuhan hendaknya disesuaikan terlebih dahulu dengan new ways of working dengan model flexible working space dan non-dedicated seat dalam kaitannya
dengan disrupsi teknologi di dunia kerja, sehingga relevansi hasil
pengukurannya dapat dipertahankan. Fenomena adanya banyak ruangan kosong di
beberapa kantor pemerintah pasca penerapan new
ways of working sepertinya harus dipertimbangkan.
Kedua, kekurangan
ruang seharusnya mempengaruhi nilai hasil pengukuran, sehingga seluruh
permasalahan BMN dapat ditangkap (termasuk ketidakseimbangan alokasi aset). Jika
dari hasil perhitungan sebelum dinormalkan menjadi 100 persen dihasilkan 120
persen, maka nilai 20 persen hendaknya menjadi faktor pengurang atau skornya
menjadi 80 persen, hal ini penting karena 2 hal: 1) agar proses penggabungan
nanti tidak terjadi hasil yang misleading,
semisal nilai yang digunakan 100 persen maka kekurangan ruang tidak ter-capture, apabila nilai dipaksakan 120 persen maka jika suatu
entitas memiliki tiga BMN yang diukur dengan masing-masing nilainya 80 persen,
100 persen, dan 120 persen maka hasil rata-ratanya menjadi 100 persen, sehingga
terkesan sempurna; dan 2) pada prinsipnya kekurangan ruang juga adalah masalah.
Ketiga, dilakukan
pemisahan antara pengukuran kinerja BMN dengan pelaksanaan tindak lanjutnya
untuk menjaga akurasi hasil berdasarkan kenyataan dan menghindari adjusment
dari petugas pengukur (expert adjusment).
Hal ini dapat dilakukan dengan menetapkan target bukan dari hasil pengukuran
melainkan jumlah aset yang diukur. Menghasilkan data yang akurat sangat penting
untuk memastikan hasilnya dapat merefleksikan kenyataan sehingga treatment kebijakan terhadapnya
benar-benar bisa efektif.
Keempat,
agar diciptakan juga pengukuran kinerja komplementer seperti angka kekurangan
ruang/luasan, ada angka kelebihan ruang/luasan, angka pemanfaatan ruang/luasan
(pemanfaatan BMN), dan angka kebutuhan ruang/luasan, layaknya angka
pengangguran, kemiskinan, inequality dan lain-lain bagi GDP. Dengan adanya angka
kekurangan ruang dan kelebihan ruang, dikombinasi dengan ter-capture-nya kekurangan dan kelebihan ruang
dalam nilai SBSK maka upaya untuk penguatan fungsi pengelola barang sebagai
akumulator dan alokator sumber daya yang diwujudkan dalam redistribusi aset
dapat dilakukan dengan terarah dengan hasil yang dapat diukur secara akurat. Di
sini nilai pengukuran kesesuaian penggunaan BMN dengan SBSK dan angka pemanfaatan
ruang hendaknya dipayakan meningkat. Sementara angka kelebihan dan kekurangan
ruang ditekan dengan dilakukan redistribusi aset dan pengalokasian aset secara
lebih efesien untuk memaksimalkan manfaat bagi negara.
Kelima,
terkait dengan terbatasnya pengukuran hanya terhadap BMN yang diatur SBSK-nya,
menurut hemat penulis setidaknya terdapat dua pilihan. Yang pertama adalah
dibuatkan SBSK-nya, yang tentu saja akan sangat sulit mengingat aset tertentu
seperti infrastruktur memiliki karakteristik yang sangat berbeda. Yang kedua
adalah dibuatkan pengukuran terpisah dengan menyesuaikan dengan karakteristik
BMN tertentu itu, tentu pada akhirnya pengukuran kesesuaian pengalokasian aset
dengan SBSK tetap akan menjangkau jumlah BMN yang sangat signifikan dan sangat
menentukan langkah-langkah pengelolaan BMN masa depan.
Selanjutnya,
dengan pengukuran yang akurat pilihan-pilihan untuk memaksimalkan manfaat bagi
negara, tentunya dengan pengalokasian aset yang efisien dan efektif menjadi
terbuka lebar. Seperti penyatuan lokasi kantor apabila ternyata terdapat banyak
kelebihan ruang di daerah yang sama. Selanjutnya, pemanfaatan atau bahkan
pelepasan aset yang berlebih jika dirasa angka kebutuhan ruang telah terpenuhi
secara efisien (tentu sebagai efek dari pengalokasian secara efisien tadi). Kemungkinan
penggabungan seluruh pengelolaan rumah negara ke dalam satu unit khusus, tentu
dengan pertimbangan misalnya: 1) bahwa terdapat rumah negara di instansi
tertentu yang tidak dimanfaatkan secara optimal, sementara di saat yang sama
terdapat instansi yang membutuhkan, tentu gambaran ini didapat dari angka
kekurangan dan kelebihan ruang rumah negara; 2) kemungkinan pengalokasian yang
lebih efisien jika satu unit khusus mengelola rumah negara dengan jumlah yang
banyak; 3) pembangunan baru dalam bentuk lebih efisien seperti model rumah
susun dapat dilakukan dengan mudah tanpa kendala permasalahan arogansi sektoral;
4) pemeliharaan dapat dilakukan dengan lebih efisien karena dapat dilakukan
sekaligus dalam jumlah yang banyak sehinga dapat berdampak pada hampir semua
komponen biaya pemeliharaan; dan 5) pemanfaatan rumah negara juga dapat
dilakukan dengan lebih efesien (tentu dengan mempertimbangkan model-model
pengelolaan baru).
Dengan
model pengukuran kesuaian pengalokasian BMN sesuai SBSK ini, dengan dilengkapi
pengkukuran-pengukuran pelengkap lainnya, kita, Pemerintah, Negara, Masyarakat
dapat memiliki ukuran keberhasilan BMN sehingga kemajuan tata kelola dapat
diukur dengan suatu ukuran yang akurat. Pengukuran ini atau penyempurnaan dari
ini pun bisa secara bersamaan digunakan untuk mengukur keberhasilan pengelolaan
BMD. Dengan jumlah 514 kabupaten/kota dan 38 provinsi, data yang ada akan
sangat besar dan bermanfaat untuk perumusan kebijakan yang efektif dan efisien,
suatu kebijakan dalam pengelolaan BMN dapat dievaluasi secara ilmiah.
Terakhir,
tulisan ini tentu masih sangat mentah dengan analisa yang masih sempit dan dangkal,
sehingga perlu pendalaman dan perluasan disana-sini. Seperti apakah
perbaikannya cukup itu saja (tentu menurut hemat penulis masih sangat terbuka
untuk perbaikan – termasuk bagaimana menciptakan pengukuran yang layak untuk
yang belum diatur SBSK-nya). Bagi penulis tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai
kritik namun sebagai trigger untuk
sebuah diskusi menuju perbaikan terus-menerus.
Callen, T. (n.d.). BACK T O BASICS COMPILATION.
Retrieved from www.imf.org: https://www.imf.org/en/Publications/fandd/issues/Series/Back-to-Basics/gross-domestic-product-GDP#
Dhaniarto, A. Y., &
Pranawengrum, R. (2022, October 28). Implementasi Indeks Pengelolaan Aset
(IPA) sebagai Penguatan Good Governance dalam Pengelolaan BMN. Retrieved
from www.djkn.kemenkeu.go.id:
https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/15584/Implementasi-Indeks-Pengelolaan-Aset-IPA-sebagai-Penguatan-Good-Governance-dalam-Pengelolaan-BMN.html
OPHI. (2023). Bhutan’s
Gross National Happiness Index. Retrieved from Oxford Poverty and Human
Development Initiative (OPHI): https://ophi.org.uk/policy/bhutan-gnh-index/
Stiglitz, J. E. (2020,
August). GDP Is the Wrong Tool for Measuring What Matters. Retrieved
from www.scientificamerican.com: https://www.scientificamerican.com/article/gdp-is-the-wrong-tool-for-measuring-what-matters/
Stiglitz, J. E., Sen, A.,
& Fitoussi, J.-P. (2011). Mengukur Kesejahteraan. Jakarta: Marjin
Kiri.
Sukesa, I. K. (2020,
December 18). The Nexus Between Economic Growth and Transport Infrastructure
in Indonesia. Retrieved from Erasmus University Thesis Repository:
https://thesis.eur.nl/pub/56051
Ditulis oleh: Ida Kade Sukesa/Kepala Seksi Hukum dan Informasi KPKNL Mamuju
Catatan: