Besar dan kecilnya penyelesaian perkara di depan
pengadilan, bukan dilihat pada hasil akhir putusan yang dijatuhkan. Tetapi
harus dinilai sejak awal proses pemeriksaan perkara dimulai. Apakah sejak tahap
awal ditangani, pengadilan memberi pelayanan sesuai dengan ketentuan hukum atau
tidak. Dengan kata lain, apakah proses pemeriksaan perkara sejak awal sampai
akhir, benar-benar due process of law atau undue process. Apabila
sejak awal sampai putusan dijatuhkan, proses pemeriksaan dilakukan sesuai
dengan ketentuan hukum acara berarti pengadilan telah melaksanakan dan
menegakkan ideologi fair trial yang
dicita-citakan negara hukum dan masyarakat demokratis.
Dalam rangka tegaknya ideologi fair trial yaitu
cita-cita proses peradilan yang jujur sejak awal sampai akhir, serta
terwujudnya prinsip due process rights yang memberi hak kepada setiap
orang untuk diperlakukan secara adil dalam proses pemeriksaan, dalam hal ini
peradilan perdata, diperlukan pemahaman dan pengertian yang luas secara aktual
dan konstektual mengenai ruang lingkup hukum acara baik dari segi teori dan
praktik.
Tahapan persidangan perkara perdata
1.
Tahap
Pertama, UPAYA DAMAI (MEDIASI)
Secara umum, mediasi adalah salah satu alternatif penyelesaian sengketa. Mediasi
yang berada di dalam pengadilan diatur oleh Peraturan Mahkamah Agung (PERMA)
No. 1 Tahun 2008 yang mewajibkan ditempuhnya proses mediasi sebelum pemeriksaan
pokok perkara perdata dengan mediator terdiri dari hakim-hakim Pengadilan
Negeri tersebut yang tidak menangani perkaranya. Penggunaan mediator hakim dan
penyelenggaraan mediasi di salah satu ruang pengadilan tingkat pertama tidak
dikenakan biaya. Proses mediasi pada dasarnya tidak terbuka untuk umum, kecuali
para pihak menghendaki lain. Majelis Hakim
akan berusaha menasehati para pihak untuk berdamai.
2.
Tahap
Kedua, Pembacaan Gugatan/Permohonan
Bila upaya
damai tidak berhasil, Majelis Hakim akan memulai pemeriksaan perkara dengan
membacakan gugatan/permohonan Penggugat/Pemohon. Gugatan harus diajukan dengan
surat gugat yang ditandatangani oleh Penggugat atau kuasanya yang sah dan
ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Gugatan disampaikan kepada Pengadilan
Negeri, kemudian akan diberi nomor dan didaftarkan dalam buku Register setelah
penggugat membayar panjar biaya perkara, yang besarnya ditentukan oleh
Pengadilan Negeri (pasal 121 HIR). Bagi Penggugat yang benar-benar tidak mampu
membayar biaya perkara, harus di buktikan dengan surat keterangan dari Kepala
Desa yang bersangkutan dan dapat mengajukan gugatannya secara prodeo. Penggugat
yang tidak bisa menulis dapat mengajukan gugatannya secara lisan dihadapan
Ketua Pengadilan Negeri, yang akan menyuruh mencatat gugatan tersebut (pasal
120 HIR).
3. Tahap Ketiga, Jawaban Tergugat/Termohon
Kesempatan
Tergugat/Termohon untuk menjawab gugatan/permohonan Penggugat/Pemohon, baik
secara lisan maupun tertulis. Jawaban
atas gugatan adalah
satu tahapan dalam
proses pemeriksaan perkara
perdata dan dilakukan setelah gugatan dibacakan Penggugat dalam persidangan. Jawaban atas gugatan Penggugat
merupakan upaya bagi Tergugat untuk
mempertahankan hak- haknya terhadap
dalih dan dalil Penggugat. Tidak
jauh berbeda dengan
membuat gugatan, bagaimana bentuk
dan susunan dari
jawaban gugatan dan
eksepsi dalam perkara perdata tidak diatur oleh peraturan
perundang-undangan, kecuali hanya disebutkan bahwa gugatan harus memenuhi
syarat formal dan materil. Pada dasarnya, jawaban bukanlah suatu kewajiban
Tergugat di persidangan, melainkan adalah hak
Tergugat untuk membantah dalil-dalil yang Penggugat sampaikan dalam gugatannya. Hakikatnya pemberian hak bagi Tergugat mengajukan jawaban
ini sesuai dengan asas audi alteram partem atau auditur
et altera pars, yaitu pemberian hak yang sama kepada Tergugat untuk
mengajukan pembelaan kepentingannya.
4.
Tahap
Keempat, Replik
Replik
yaitu jawaban Penggugat baik tertulis
maupun lisan terhadap jawaban Tergugat atas gugatannya. Replik diajukan Penggugat untuk meneguhkan gugatannya,
dengan mematahkan alasan-alasan penolakan yang dikemukakan Tergugat dalam
jawabannya. Replik
merupakan pemberian hak kepada pihak Penggugat untuk menanggapi jawaban yang
diajukan oleh Tergugat.
5.
Tahap
Kelima, Duplik
Duplik
merupakan jawaban Tergugat terhadap replik yang diajukan oleh pihak Penggugat.
Sama dengan replik, duplik ini pun dapat diajukan tertulis maupun lisan. Duplik
diajukan Tergugat untuk mempertahankan jawaban gugatan atau eksepsi yang telah
diajukan sebelumnya, yang secara umum berisi bantahan terhadap gugatan yang
diajukan oleh Penggugat. Tergugat dalam duplik dapat saja membenarkan dalil
atau tuntutan yang diajukan oleh Penggugat dalam replik, namun tidak pula
menutup kemungkinan Tergugat menyampaikan dalil-dalil baru yang dapat
menguatkan bantahan atas replik. Duplik biasanya memuat bantahan atau pembelaan
atas dalil-dalil atau pernyataan yang diajukan oleh penggugat dalam replik,
yang tentunya disertai dengan uraian bukti-bukti yang dapat menguatkan bantahan
atau pembelaan tersebut dan tidak bertentangan dengan dalil-dalil yang telah
dibuat dalam jawaban gugatan atau eksepsi.
6.
Tahap
Keenam, Pembuktian
Pada tahap
ini baik Penggugat/Pemohon akan dimintakan bukti untuk menguatkan dalil-dalil
gugatan/permohonannya dan Tergugat/Termohon akan dimintakan bukti untuk
menguatkan bantahannya. Pembuktian dalam hukum perdata adalah proses untuk membuktikan adanya fakta atau kejadian yang
menjadi dasar dalam suatu perkara perdata. Pembuktian ini bertujuan untuk menguatkan atau
melemahkan klaim atau dalil yang diajukan oleh salah satu pihak dalam perkara
perdata. Berdasarkan pasal 1866 KUH
Perdata/pasal 164 HIR, alat bukti yang diakui dalam perkara perdata terdiri
dari bukti tulisan, bukti saksi,
persangkaan, pengakuan dan sumpah.
Biasanya Penggugat diberikan kesempatan terlebih dahulu untuk mengajukan
pembuktian berupa surat, setelah itu pihak Tergugat. Dalam hal alat bukti saksi
ada dua, yaitu saksi biasa dan saksi ahli. saksi biasa adalah memberikan
kesaksian berdasarkan apa yang ia lihat, dengar, dan alami sendiri, sedangkan
saksi ahli memberikan kesaksian berdasarkan keahlian yang ia miliki. Adapun pihak yang tidak boleh menjadi
saksi, yaitu:
a. Keluarga sedarah atau semenda menurut garis
keturunan lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari salah satu
pihak yang bersengketa.
b. Istri atau suami dari pemohon Banding atau
Penggugat meskipun sudah bercerai.
c.
Anak yang belum berusia 17
tahun.
7.
Tahap
Ketujuh, Kesimpulan
Setelah persidangan
menyelesaikan pembuktian para
pihak, maka persidangan akan
memsuki tahap Kesimpulan. Kesimpulan
atau konklusi perkara perdata, di dalam kasus perdata, setelah adanya surat
gugatan, eksepsi, replik dan duplik di persidangan terakhir menjelang putusan
dijatuhkan, masing-masing pihak baik Tergugat ataupun Penggugat membuat surat
kesimpulan dalam kasus perdata tersebut yang berisi tentang kesimpulan dari
proses persidangan yang dijalankan. Kesimpulan perkara perdata dibuat oleh
kedua belah pihak yang masing-masing akan menjelaskan kesimpulan dengan bahasa
dan versi mereka baik Penggugat ataupun Tergugat yang isinya menganalisis dalil-dalil gugatannya atau dalil-dalil
jawabannya melalui pembuktian yang didapatkan selama persidangan. Kesimpulan
ini akan menjadi bahan pertimbangan Majelis Hakim dalam putusan bilamana
analisis tersebut cukup rasional dan beralasan hukum.
8.
Tahap Kedelapan, Musyawarah Majelis
Musyawarah Majelis Hakim adalah rapat perundingan yang berisi tukar pendapat
hukum antar Hakim pada suatu Majelis dalam mendapatkan kesimpulan putusan
terhadap perkara yang sedang diperiksa. Dalam membuat putusan, seorang hakim sepatutnya
dalam menimbang dan memutus suatu perkara dengan memperhatikan asas
keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan agar putusan yang
dikeluarkan menjadi putusan yang ideal.
9.
Tahap
Kesembilan, Pembacaan Putusan
Setelah selesai musyawarah Majelis Hakim, tahap selanjutnya dibacakan
putusan oleh Majelis Hakim. Setelah dibacakan putusan tersebut, Penggugat dan Tergugat
berhak mengajukan upaya hukum banding dalam tenggang waktu 14 hari setelah
putusan dibacakan. Apabila Penggugat/ Tergugat tidak hadir saat dibacakan
putusan, maka akan disampaikan isi/amar putusan itu kepada pihak yang tidak
hadir, dan putusan baru berkekuatan hukum tetap setelah 14 hari amar putusan
diterima oleh pihak yang tidak hadir itu.
Pelaksanaan persidangan di pengadilan pada
saat ini telah menggunakan aplikasi e-Court Mahkamah Agung. Semua produk yang
dihasilkan dalam persidangan wajib untuk diunggah di e-Court sehingga pelaksanaan
persidangan secara tatap muka sudah dikurangi intensitasnya. Dalam hal Jawaban
oleh Tergugat, Replik oleh Penggugat, Duplik oleh Tergugat, Bukti surat oleh
Penggugat dan Tergugat, dan Kesimpulan semuanya diunggah pada e-Court.
(Dikutip : Hukum Acara Perdata: Yahya Harahap, Mahkamah Syar’iyah Tapaktuan, Kompas.com, HeyLaw)