Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Makassar > Artikel
Teknik Beracara Perdata di Pengadilan
Indriani Aryanti Syahruddin
Selasa, 27 Februari 2024   |   1255 kali

Besar dan kecilnya penyelesaian perkara di depan pengadilan, bukan dilihat pada hasil akhir putusan yang dijatuhkan. Tetapi harus dinilai sejak awal proses pemeriksaan perkara dimulai. Apakah sejak tahap awal ditangani, pengadilan memberi pelayanan sesuai dengan ketentuan hukum atau tidak. Dengan kata lain, apakah proses pemeriksaan perkara sejak awal sampai akhir, benar-benar due process of law atau undue process. Apabila sejak awal sampai putusan dijatuhkan, proses pemeriksaan dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum acara berarti pengadilan telah melaksanakan dan menegakkan ideologi fair trial  yang dicita-citakan negara hukum dan masyarakat demokratis.

Dalam rangka tegaknya ideologi fair trial yaitu cita-cita proses peradilan yang jujur sejak awal sampai akhir, serta terwujudnya prinsip due process rights yang memberi hak kepada setiap orang untuk diperlakukan secara adil dalam proses pemeriksaan, dalam hal ini peradilan perdata, diperlukan pemahaman dan pengertian yang luas secara aktual dan konstektual mengenai ruang lingkup hukum acara baik dari segi teori dan praktik.

Tahapan persidangan perkara perdata

1.    Tahap Pertama, UPAYA DAMAI (MEDIASI)

Secara umum, mediasi adalah salah satu alternatif penyelesaian sengketa. Mediasi yang berada di dalam pengadilan diatur oleh Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2008 yang mewajibkan ditempuhnya proses mediasi sebelum pemeriksaan pokok perkara perdata dengan mediator terdiri dari hakim-hakim Pengadilan Negeri tersebut yang tidak menangani perkaranya. Penggunaan mediator hakim dan penyelenggaraan mediasi di salah satu ruang pengadilan tingkat pertama tidak dikenakan biaya. Proses mediasi pada dasarnya tidak terbuka untuk umum, kecuali para pihak menghendaki lain. Majelis Hakim akan berusaha menasehati para pihak untuk berdamai.

2.    Tahap Kedua, Pembacaan Gugatan/Permohonan

Bila upaya damai tidak berhasil, Majelis Hakim akan memulai pemeriksaan perkara dengan membacakan gugatan/permohonan Penggugat/Pemohon. Gugatan harus diajukan dengan surat gugat yang ditandatangani oleh Penggugat atau kuasanya yang sah dan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Gugatan disampaikan kepada Pengadilan Negeri, kemudian akan diberi nomor dan didaftarkan dalam buku Register setelah penggugat membayar panjar biaya perkara, yang besarnya ditentukan oleh Pengadilan Negeri (pasal 121 HIR). Bagi Penggugat yang benar-benar tidak mampu membayar biaya perkara, harus di buktikan dengan surat keterangan dari Kepala Desa yang bersangkutan dan dapat mengajukan gugatannya secara prodeo. Penggugat yang tidak bisa menulis dapat mengajukan gugatannya secara lisan dihadapan Ketua Pengadilan Negeri, yang akan menyuruh mencatat gugatan tersebut (pasal 120 HIR).

3.    Tahap Ketiga, Jawaban Tergugat/Termohon

Kesempatan Tergugat/Termohon untuk menjawab gugatan/permohonan Penggugat/Pemohon, baik secara lisan maupun tertulis. Jawaban   atas   gugatan   adalah   satu   tahapan   dalam   proses   pemeriksaan perkara perdata dan dilakukan setelah gugatan dibacakan Penggugat dalam  persidangan. Jawaban atas gugatan Penggugat merupakan upaya bagi Tergugat untuk  mempertahankan  hak- haknya  terhadap  dalih  dan  dalil  Penggugat.  Tidak  jauh  berbeda  dengan  membuat  gugatan, bagaimana  bentuk  dan  susunan  dari  jawaban  gugatan  dan  eksepsi  dalam  perkara perdata tidak diatur oleh peraturan perundang-undangan, kecuali hanya disebutkan bahwa gugatan harus memenuhi syarat formal dan materil. Pada dasarnya, jawaban bukanlah suatu kewajiban Tergugat di persidanganmelainkan adalah hak Tergugat untuk membantah dalil-dalil yang Penggugat sampaikan dalam gugatannya. Hakikatnya pemberian hak bagi Tergugat mengajukan jawaban ini sesuai dengan asas audi alteram partem atau auditur et altera pars, yaitu pemberian hak yang sama kepada Tergugat untuk mengajukan pembelaan kepentingannya.

4.    Tahap Keempat, Replik

Replik yaitu jawaban Penggugat baik tertulis maupun lisan terhadap jawaban Tergugat atas gugatannya. Replik diajukan Penggugat untuk meneguhkan gugatannya, dengan mematahkan alasan-alasan penolakan yang dikemukakan Tergugat dalam jawabannya. Replik merupakan pemberian hak kepada pihak Penggugat untuk menanggapi jawaban yang diajukan oleh Tergugat.

5.    Tahap Kelima, Duplik

Duplik merupakan jawaban Tergugat terhadap replik yang diajukan oleh pihak Penggugat. Sama dengan replik, duplik ini pun dapat diajukan tertulis maupun lisan. Duplik diajukan Tergugat untuk mempertahankan jawaban gugatan atau eksepsi yang telah diajukan sebelumnya, yang secara umum berisi bantahan terhadap gugatan yang diajukan oleh Penggugat. Tergugat dalam duplik dapat saja membenarkan dalil atau tuntutan yang diajukan oleh Penggugat dalam replik, namun tidak pula menutup kemungkinan Tergugat menyampaikan dalil-dalil baru yang dapat menguatkan bantahan atas replik. Duplik biasanya memuat bantahan atau pembelaan atas dalil-dalil atau pernyataan yang diajukan oleh penggugat dalam replik, yang tentunya disertai dengan uraian bukti-bukti yang dapat menguatkan bantahan atau pembelaan tersebut dan tidak bertentangan dengan dalil-dalil yang telah dibuat dalam jawaban gugatan atau eksepsi.

6.    Tahap Keenam, Pembuktian

Pada tahap ini baik Penggugat/Pemohon akan dimintakan bukti untuk menguatkan dalil-dalil gugatan/permohonannya dan Tergugat/Termohon akan dimintakan bukti untuk menguatkan bantahannya. Pembuktian dalam hukum perdata adalah proses untuk membuktikan adanya fakta atau kejadian yang menjadi dasar dalam suatu perkara perdata. Pembuktian ini bertujuan untuk menguatkan atau melemahkan klaim atau dalil yang diajukan oleh salah satu pihak dalam perkara perdata. Berdasarkan pasal 1866 KUH Perdata/pasal 164 HIR, alat bukti yang diakui dalam perkara perdata terdiri dari bukti tulisan, bukti saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. Biasanya Penggugat diberikan kesempatan terlebih dahulu untuk mengajukan pembuktian berupa surat, setelah itu pihak Tergugat. Dalam hal alat bukti saksi ada dua, yaitu saksi biasa dan saksi ahli. saksi biasa adalah memberikan kesaksian berdasarkan apa yang ia lihat, dengar, dan alami sendiri, sedangkan saksi ahli memberikan kesaksian berdasarkan keahlian yang ia miliki. Adapun pihak yang tidak boleh menjadi saksi, yaitu:

a.       Keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari salah satu pihak yang bersengketa.

b.     Istri atau suami dari pemohon Banding atau Penggugat meskipun sudah bercerai.

c.     Anak yang belum berusia 17 tahun.

7.    Tahap Ketujuh, Kesimpulan

Setelah  persidangan  menyelesaikan pembuktian para  pihak, maka  persidangan akan memsuki tahap  Kesimpulan. Kesimpulan atau konklusi perkara perdata, di dalam kasus perdata, setelah adanya surat gugatan, eksepsi, replik dan duplik di persidangan terakhir menjelang putusan dijatuhkan, masing-masing pihak baik Tergugat ataupun Penggugat membuat surat kesimpulan dalam kasus perdata tersebut yang berisi tentang kesimpulan dari proses persidangan yang dijalankan. Kesimpulan perkara perdata dibuat oleh kedua belah pihak yang masing-masing akan menjelaskan kesimpulan dengan bahasa dan versi mereka baik Penggugat ataupun Tergugat yang isinya menganalisis dalil-dalil gugatannya atau dalil-dalil jawabannya melalui pembuktian yang didapatkan selama persidangan. Kesimpulan ini akan menjadi bahan pertimbangan Majelis Hakim dalam putusan bilamana analisis tersebut cukup rasional dan beralasan hukum.

 

 

8.    Tahap Kedelapan, Musyawarah Majelis

Musyawarah Majelis Hakim adalah rapat perundingan yang berisi tukar pendapat hukum antar Hakim pada suatu Majelis dalam mendapatkan kesimpulan putusan terhadap perkara yang sedang diperiksa. Dalam membuat putusan, seorang hakim sepatutnya dalam menimbang dan memutus suatu perkara dengan memperhatikan asas keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan agar putusan yang dikeluarkan menjadi putusan yang ideal.

9.    Tahap Kesembilan, Pembacaan Putusan

Setelah selesai musyawarah Majelis Hakim, tahap selanjutnya dibacakan putusan oleh Majelis Hakim. Setelah dibacakan putusan tersebut, Penggugat dan Tergugat berhak mengajukan upaya hukum banding dalam tenggang waktu 14 hari setelah putusan dibacakan. Apabila Penggugat/ Tergugat tidak hadir saat dibacakan putusan, maka akan disampaikan isi/amar putusan itu kepada pihak yang tidak hadir, dan putusan baru berkekuatan hukum tetap setelah 14 hari amar putusan diterima oleh pihak yang tidak hadir itu.

Pelaksanaan persidangan di pengadilan pada saat ini telah menggunakan aplikasi e-Court Mahkamah Agung. Semua produk yang dihasilkan dalam persidangan wajib untuk diunggah di e-Court sehingga pelaksanaan persidangan secara tatap muka sudah dikurangi intensitasnya. Dalam hal Jawaban oleh Tergugat, Replik oleh Penggugat, Duplik oleh Tergugat, Bukti surat oleh Penggugat dan Tergugat, dan Kesimpulan semuanya diunggah pada e-Court.

 

 

 

 (Dikutip : Hukum Acara Perdata: Yahya Harahap, Mahkamah Syar’iyah Tapaktuan, Kompas.com, HeyLaw)

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini