Aset Bekas Milik
Asing/Tiongkok (ABMA/T) atau yang sebelumnya biasa disebut Aset Bekas Milik
Asing/Cina (ABMA/C) merupakan aset-aset yang pernah diduduki oleh orang
Asing/Tionghoa dan bekas aset milik perkumpulan atau organisasi yang bersifat
eksklusif rasial yang dilarang, baik berupa gedung maupun tanah, termasuk
didalamnya adalah aset-aset bekas milik perkumpulan etnis Tionghoa yang menjadi
sasaran aksi massa atau kesatuan-kesatuan aksi di tahun 1965/1966 dalam
Pemberontakan G-30S/PKI. Aset tersebut dikuasai Negara berdasarkan Peraturan
Penguasa Perang Pusat Nomor Prt/Peperpu/ 032/ 1958 jo. Keputusan Penguasa
Perang Pusat Nomor Kpts/Peperpu/0439/ 1958 jo. Undang-Undang Nomor 50 Prp.
Tahun 1960, Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1962, Penetapan Presiden Nomor 4
Tahun 1962 JO. Kepu tusan Presiden/Panglima Tertinggi, ABRI/Pemimpin Besar
Revolusi Nomor 52/KOTI/ 1964 dan Instruksi Radiogram Kaskogam Nomor T-0403/G-5/5/66.
Penyelesaian ABMA/T
dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan cq Direktorat Jenderal Kekayaan Negara
berdasarkan Peraturan Keuangan Nomor 62/PMK.06/2020 tentang Penyelesaian Aset
Bekas Milik Asing/Tionghoa sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Keuangan
Nomor 182/PMK.06/2021. Penyelesaian ABMA/T sesuai Peraturan Menteri Keuangan
tersebut dilakukan dengan cara dimantapkan status hukumnya menjadi Barang Milik
Negara/Daerah/Desa, dilepaskan penguasaannya dari Negara kepada Pihak Ketiga
dengan cara pembayaran kompensasi kepada Pemerintah, dikembalikan kepada Pihak
Ketiga yang sah dan dinyatakan selesai karena keadaan tertentu.
Penyelesaian ABMA/ T
dilakukan dengan cara dilepaskan penguasaannya dari Negara kepada Pihak Ketiga
dengan cara pembayaran kompensasi kepada Pemerintah terhadap aset yang telah ditempati/dihuni/digunakan
oleh Pihak Ketiga secara terus menerus paling singkat selama 5 (lima) tahun
dengan syarat pihak ketiga tersebut merupakan badan hukum yang tidak memiliki
kaitan kepemilikan dengan badan hukum atau orgamsasi asing dan bukan merupakan
reinkarnasi/penerus/onderbouw dari organisasi/perkumpulan/yayasan
terlarang/eksklusif rasial atau perseorangan tersebut tidak pernah menjadi
anggota dari organisasi /perkumpulan/yayasan terlarang/eksklusif rasial. Pembayaran
kompensasi kepada Pemerintah ditetapkan sebesar 100% (seratus persen) dari
Nilai Wajar ABMA/T, dapat diberikan keringanan dalam hal ABMA/T digunakan untuk
tempat kegiatan pendidikan formal yang berizin tetapi belum terakreditasi,
kegiatan organisasi sosial dan/atau organisasi keagamaan, rumah tinggal Pegawai
Negeri Sipil/Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia
atau Pensiunan/Purnawirawan/Janda/Duda Pegawai Negeri Sipil/Tentara Nasional
Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia yang didasarkan pada suatu
keputusan yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang, kegiatan pendidikan
formal berupa sekolah dan/atau perguruan tinggi dengan status akreditasi C, sebesar
sekolah dan/atau perguruan tinggi dengan status akreditasi B, sekolah dan/atau
perguruan tinggi dengan status akreditasi A, sekolah luar biasa dan tempat
ibadah agama yang diakui Pemerintah. Jika status kepemilikan ABMA/T dalam
sertipikat masih tercatat atas nama orang Asing/Tionghoa/perkumpulan/organisasi
yang bersifat eksklusif rasial yang dilarang, tentunya penyelesaian dengan cara
tersebut akan mudah dilakukan, namun bagaimana jika kepemilikan aset telah
berpindah tangan beberapa kali.
Di Indonesia, peraturan
yang mengatur hal-hal terkait pertanahan adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), beserta turunannya
serta Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah secara
spesifik mengatur tentang sertifikat tanah. Dalam Pasal 1 Ayat 20 Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, sertifikat merupakan surat tanda bukti hak atas
tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan
yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah. Jadi penerbitan sertipikat
telah melalui proses penelitian fisik dan yuridis yang dilaksanakan oleh Kantor
Pertanahan sehingga memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi pemegang
hak serta sebagai alat pembuktian yang kuat sebagaimana dalam Pasal 4 Ayat 1
dan Pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.
Dengan demikian Penyelesaian Aset
Bekas Milik Asing/Tiongkok yang dilepaskan penguasaannya dari Negara dengan
cara pembayaran kompensasi kepada Pemerintah, tidak selaras dengan peraturan
perundang-undangan di bidang pertanahan, apabila diberlakukan kepada pihak
ketiga yang telah memiliki sertipikat dan tidak terkait dengan
perkumpulan/organisasi yang dilarang. Hal ini menyebabkan terjadinya
permasalahan hukum dan rawan gugatan di pengadilan karena tidak adanya
kepastian hukum bagi pemegang sertipikat. Solusi jangka pendek dalam mengatasi
permasalahan tersebut yaitu Kementerian Keuangan cq Direktorat Jenderal
Kekayaan Negara selalu berkordinasi dengan Kementerian ATR/BPN dalam rangaka
menginventarisasi ABMA/T, Kantor Pertanahan memberikan catatan pada buku tanah
terhadap ABMA/T sehingga tidak bisa dipindahtangankan ke pihak lain lagi dan mempublish
daftar ABMA/T sehingga masyarakat akan lebih berhati-hati membeli tanah.
(Penulis Agung Istianto)