Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Paradigma Peci
Hakim Setyo Budi Mulyono
Jum'at, 15 September 2017   |   569 kali

Seorang nelayan menemukan sebuah botol berisi sebuah surat. Dan karena dia buta huruf, maka nelayan itu menemui Pak Mursyid agar bisa membacakan isi surat tersebut untuknya. Karena penasaran, Pak Mursyid mengambil surat itu untuk dibacakan. Namun ternyata surat tersebut sudah basah terkena air sehingga huruf-hurufnya sulit dikenali.

"Waduh, maaf, lek… aku ndak bisa mbaca surat ini."

Nelayan itu terheran-heran. Mana mungkin Pak Mursyid tidak bisa membaca? Seseorang yang selalu memakai peci seharusnya adalah orang yang pandai, tahu segalanya, kenapa tidak bisa baca? Bukankah banyak tokoh-tokoh besar di Indonesia ini tampil memakai peci? Sungguh tak masuk akal, Pak Mursyid tidak bisa membaca isi surat tersebut, demikian pikir sang nelayan.

"Heran aku Pak...” kata sang nelayan kepada Pak Mursyid. “Sampeyan harusnya malu dengan peci yang Sampeyan pakai itu! Masak sudah pakai peci ndak bisa baca juga?"

Pak Mursyid melepas peci dari kepalanya sendiri dan meletakkannya di kepala nelayan buta huruf itu, dan mengatakan:

"Sekarang sampeyan yang memakai peci,” kata Pak Mursyid. “Jika memang peci itu memberikan sampeyan pengetahuan, sekarang sampeyan pasti akan bisa baca surat itu!"

***

Terkadang peci, terkadang kacamata. Terkadang setelan jas, terkadang dasi. Berbagai benda sering mendapatkan asumsi khas ketika mereka melekat pada diri manusia. Berdasarkan asumsi khas ini, seseorang yang memakai kacamata diharuskan tidak boleh bodoh. Seseorang yang memakai setelan jas pasti sangat sulit untuk dipikirkan sebagai orang yang punya hutang di bank. Atau, orang berjenggot pastilah bijaksana, tidak mungkin bicaranya ngawur, dan jika datang waktu sholat berjamaah, dialah yang paling pantas untuk dijadikan imam. Daftarnya bisa panjang; sorban, jaket kulit, gadget mutakhir, dan lain-lain. Dan itu belum semua. Itu baru benda-benda yang terlihat mata. Belum yang tak kasat mata, samar, dan melekat pada nama; misalnya gelar haji di depan nama, gelar akademik di belakang nama, atau gelar jabatan, dan gelar-gelar yang lain.

Selain memakai peci itu tidak salah, dan bahwa benar-benar ada orang berpeci yang benar-benar cendekiawan seperti bayangan sang nelayan, semua permasalahan ini bukan terletak pada sang peci itu sendiri. Masalahnya terletak pada kesalahan paradigma dalam memandang peci. Sebab jika paradigma sudah salah, maka semua akan salah dipahami, termasuk peci.

Menurut sudut pandang sang nelayan, seseorang yang memakai peci pasti bisa membaca, tak peduli hurufnya latin ataupun huruf kanji. Sesungguhnya peci, dan benda-benda semacam itu, dikarenakan salahnya paradigma, telah mampu menipu dan menyesatkan asumsi sebagian orang, salah satunya sang nelayan tokoh kita ini.

***

Kethul, demikianlah sang nelayan tokoh kita ini sering dipanggil (entah sejak kapan dia dipanggil demikian, namun yang pasti itu bukan nama sebenarnya), memang sangat mengidolakan orang-orang berpeci. Dulu dia pernah membeli sebuah peci dan kemana-mana selalu memakainya, seakan-akan semua orang pasti berpikiran sama dengan dia: bahwa orang berpeci itu pastilah cendekiawan, pandai, bijaksana. Jika Kethul tidak pandai, peci itu akan membuatnya tampak pandai.

Kethul tidak bisa disalahkan atas sesat paradigmanya soal peci. Paradigma Kethul soal peci sudah tertanam kuat di bawah sadarnya dan berakar muakar sejak masa kanak-kanaknya.

Ketika masih kecil, Kethul pernah dipanggil oleh gurunya. Kata pak guru nilai ujian Kethul jelek semua, itu karena Kethul tak bisa menjawab soal-soal ujian. Ada salah paham di sini, sebenarnya Kethul bukan tak bisa menjawab soal-soal ujian, tapi Kethul tidak bisa membaca soal-soal itu. Kethul tidak bisa membaca sama sekali.

Kethul kecil tidak paham dengan maksud pak guru yang mengatakan bahwa dia harus belajar yang rajin dan seharusnya bisa mengerjakan ujian sekolah sebaik teman-temannya. Kethul lupa semua apa yang dikatakan Pak Guru kepadanya. Hanya satu kalimat yang dia ingat: “Kalau mikir itu jangan pakai dengkul… Pakai ini!”

Kalimat itu dikatakan pak guru sambil menunjuk-nunjuk batok kepalanya. Saking semangatnya menunjuk-nunjuk, peci pak guru sampai miring. Dan itu juga dilakukan oleh bapaknya waktu Kethul memberikan rapor kepadanya. Bapaknya marah melihat nilai rapor Kethul yang berantakan. Saking marahnya, peci sang bapak juga sampai miring. Bapaknya menunjuk-nunjuk batok kepalanya sendiri sambil berkata: “Kalau mikir itu jangan pakai dengkul… Pakai ini!”

Sejak itulah Kethul tergila-gila dengan peci. Dalam benaknya yang paling dalam, telah tertanam paradigma: “Kalau mikir itu harus pakai peci!”

***

Jika menyangkut Kethul, kisah peci itu terdengar lucu. Jika menyangkut cerita orang lain, kisah cacatnya paradigma di pikiran manusia akan selalu terdengar lucu. Namun kita juga manusia. Dan jika setelah membaca kisah di atas, lantas ada di antara kita tiba-tiba menjadi tidak mau memakai peci karena takut disamakan dengan Kethul, maka sesungguhnya dengan alasan tersebut, paradigma kita telah sama cacatnya dengan paradigma Kethul soal peci, berikut segala kekuatan semu yang seakan-akan melekat pada peci.

***

(Hakim SB Mulyono)

 

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini