Seorang nelayan menemukan
sebuah botol berisi sebuah surat. Dan karena dia buta huruf, maka nelayan itu
menemui Pak Mursyid agar bisa membacakan isi surat tersebut
untuknya. Karena penasaran, Pak Mursyid mengambil surat itu untuk dibacakan.
Namun ternyata surat tersebut sudah basah terkena air sehingga huruf-hurufnya
sulit dikenali.
"Waduh,
maaf, lek… aku ndak bisa mbaca surat ini."
Nelayan
itu terheran-heran. Mana mungkin Pak Mursyid tidak bisa membaca? Seseorang yang
selalu memakai peci seharusnya adalah orang yang pandai, tahu segalanya, kenapa
tidak bisa baca? Bukankah banyak tokoh-tokoh besar di Indonesia ini tampil
memakai peci? Sungguh tak masuk akal, Pak Mursyid tidak bisa membaca isi surat
tersebut, demikian pikir sang nelayan.
"Heran
aku Pak...” kata sang nelayan kepada Pak Mursyid. “Sampeyan harusnya malu
dengan peci yang Sampeyan pakai itu! Masak sudah pakai peci ndak bisa baca
juga?"
Pak
Mursyid melepas peci dari kepalanya sendiri dan meletakkannya di kepala nelayan
buta huruf itu, dan mengatakan:
"Sekarang
sampeyan yang memakai peci,” kata Pak Mursyid. “Jika memang peci itu memberikan
sampeyan pengetahuan, sekarang sampeyan pasti akan bisa baca surat itu!"
***
Terkadang
peci, terkadang kacamata. Terkadang setelan jas, terkadang dasi. Berbagai benda
sering mendapatkan asumsi khas ketika mereka melekat pada diri manusia.
Berdasarkan asumsi khas ini, seseorang yang memakai kacamata diharuskan tidak
boleh bodoh. Seseorang yang memakai setelan jas pasti sangat sulit untuk
dipikirkan sebagai orang yang punya hutang di bank. Atau, orang berjenggot
pastilah bijaksana, tidak mungkin bicaranya ngawur, dan jika datang waktu
sholat berjamaah, dialah yang paling pantas untuk dijadikan imam. Daftarnya
bisa panjang; sorban, jaket kulit, gadget mutakhir, dan lain-lain. Dan itu
belum semua. Itu baru benda-benda yang terlihat mata. Belum yang tak kasat
mata, samar, dan melekat pada nama; misalnya gelar haji di depan nama, gelar
akademik di belakang nama, atau gelar jabatan, dan gelar-gelar yang lain.
Selain
memakai peci itu tidak salah, dan bahwa benar-benar ada orang berpeci yang
benar-benar cendekiawan seperti bayangan sang nelayan, semua permasalahan ini
bukan terletak pada sang peci itu sendiri. Masalahnya terletak pada kesalahan
paradigma dalam memandang peci. Sebab jika paradigma sudah salah, maka semua
akan salah dipahami, termasuk peci.
Menurut
sudut pandang sang nelayan, seseorang yang memakai peci pasti bisa membaca, tak
peduli hurufnya latin ataupun huruf kanji. Sesungguhnya peci, dan benda-benda
semacam itu, dikarenakan salahnya paradigma, telah mampu menipu dan menyesatkan
asumsi sebagian orang, salah satunya sang nelayan tokoh kita ini.
***
Kethul,
demikianlah sang nelayan tokoh kita ini sering dipanggil (entah sejak kapan dia
dipanggil demikian, namun yang pasti itu bukan nama sebenarnya), memang sangat
mengidolakan orang-orang berpeci. Dulu dia pernah membeli sebuah peci dan
kemana-mana selalu memakainya, seakan-akan semua orang pasti berpikiran sama
dengan dia: bahwa orang berpeci itu pastilah cendekiawan, pandai, bijaksana.
Jika Kethul tidak pandai, peci itu akan membuatnya tampak pandai.
Kethul
tidak bisa disalahkan atas sesat paradigmanya soal peci. Paradigma Kethul soal
peci sudah tertanam kuat di bawah sadarnya dan berakar muakar sejak masa
kanak-kanaknya.
Ketika
masih kecil, Kethul pernah dipanggil oleh gurunya. Kata pak guru nilai ujian
Kethul jelek semua, itu karena Kethul tak bisa menjawab soal-soal ujian. Ada
salah paham di sini, sebenarnya Kethul bukan tak bisa menjawab soal-soal ujian,
tapi Kethul tidak bisa membaca soal-soal itu. Kethul tidak bisa membaca sama
sekali.
Kethul
kecil tidak paham dengan maksud pak guru yang mengatakan bahwa dia harus
belajar yang rajin dan seharusnya bisa mengerjakan ujian sekolah sebaik
teman-temannya. Kethul lupa semua apa yang dikatakan Pak Guru kepadanya. Hanya
satu kalimat yang dia ingat: “Kalau mikir itu jangan pakai dengkul… Pakai ini!”
Kalimat
itu dikatakan pak guru sambil menunjuk-nunjuk batok kepalanya. Saking
semangatnya menunjuk-nunjuk, peci pak guru sampai miring. Dan itu juga
dilakukan oleh bapaknya waktu Kethul memberikan rapor kepadanya. Bapaknya marah
melihat nilai rapor Kethul yang berantakan. Saking marahnya, peci sang bapak
juga sampai miring. Bapaknya menunjuk-nunjuk batok kepalanya sendiri sambil
berkata: “Kalau mikir itu jangan pakai dengkul… Pakai ini!”
Sejak
itulah Kethul tergila-gila dengan peci. Dalam benaknya yang paling dalam, telah
tertanam paradigma: “Kalau mikir itu harus pakai peci!”
***
Jika
menyangkut Kethul, kisah peci itu terdengar lucu. Jika menyangkut cerita orang
lain, kisah cacatnya paradigma di pikiran manusia akan selalu terdengar lucu.
Namun kita juga manusia. Dan jika setelah membaca kisah di atas, lantas ada di
antara kita tiba-tiba menjadi tidak mau memakai peci karena takut disamakan
dengan Kethul, maka sesungguhnya dengan alasan tersebut, paradigma kita telah
sama cacatnya dengan paradigma Kethul soal peci, berikut segala kekuatan semu
yang seakan-akan melekat pada peci.
***
(Hakim
SB Mulyono)