Dalam era digital yang semakin berkembang, media sosial telah
menjadi sarana komunikasi utama bagi masyarakat. Namun, sayangnya, fenomena
penipuan menggunakan nama instansi pemerintah melalui platform-platform
tersebut juga semakin meningkat. Praktik penipuan ini melibatkan upaya untuk
memanipulasi dan memperdaya masyarakat dengan menggunakan identitas palsu yang
terkait dengan lembaga pemerintah. Penipuan semacam ini tidak hanya merugikan
individu secara finansial, tetapi juga dapat merusak reputasi instansi
pemerintah yang sebenarnya. Oleh karena itu, pemahaman dan kewaspadaan terhadap
modus operandi penipuan melalui media sosial perlu ditingkatkan guna melindungi
masyarakat dari ancaman yang dapat merugikan kepercayaan pada lembaga-lembaga
pemerintah.
Penipuan yang mengatasnamakan lelang yang dilaksanakan oleh
kantor pelayanan kekayaan negara dan lelang menjadi salah satu bentuk modus
penipuan yang cukup meresahkan. Penipu seringkali menggunakan identitas palsu
dan mengelabui masyarakat dengan mengklaim bahwa mereka merupakan perwakilan
dari kantor pelayanan kekayaan negara yang sedang menyelenggarakan lelang
resmi. Mereka memanfaatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintah
untuk mengelabui calon pembeli atau peserta lelang. Modus operandi ini bisa
mencakup penawaran palsu, pembayaran uang muka yang tidak wajar, atau bahkan
penipuan terhadap identitas lelang yang sebenarnya. Oleh karena itu, penting
bagi masyarakat untuk senantiasa memverifikasi informasi terkait lelang dengan
instansi pemerintah yang bersangkutan sebelum terlibat dalam transaksi atau
pembayaran apa pun. Langkah pencegahan ini merupakan upaya untuk melindungi
diri dari potensi penipuan yang dapat merugikan secara finansial dan merusak
kepercayaan pada lembaga pemerintah yang sah.
Penipuan yang dilakukan dengan mengatasnamakan kantor pelayanan
kekayaan negara dan lelang dapat dijerat dengan hukum sesuai ketentuan yang
berlaku. Di Indonesia, penipuan termasuk dalam ranah pidana berdasarkan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 378 KUHP (Pasal 492 UU 1/2023) mengatur tentang
penipuan, yang menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja menggunakan
tipu muslihat untuk mengelabui orang lain dengan maksud untuk memperoleh
sesuatu barang atau uang, dapat dihukum dengan pidana penjara. Selain itu,
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) juga dapat diterapkan
dalam kasus penipuan yang melibatkan media sosial atau platform digital. Pasal
28 ayat 1 UU ITE menyatakan bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak
menyebarkan informasi elektronik dan dokumen-dokumen elektronik yang memiliki
muatan penghinaan atau fitnah, dapat dikenakan pidana penjara. Dengan demikian,
penerapan hukum ini diharapkan dapat memberikan efek jera kepada para pelaku
penipuan yang menggunakan media sosial dengan maksud mengelabui masyarakat dan
merugikan pihak lain.
Selanjutnya, penipuan tersebut merupakan tindakan yang dapat merusak reputasi instansi pemerintah. Kerugian yang timbul dari rusaknya reputasi instansi pemerintah merupakan kerugian immateriil yang dapat mengganggu kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut. Namun, kerugian yang dirasakan tidak hanya bersifat immateriil, melainkan juga dapat berupa kerugian materiil karena pembangunan reputasi instansi pemerintah menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pelaku yang melakukan perusakan reputasi instansi pemerintah ini dapat dijerat dengan pasal 310 dan 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sebagai langkah hukum dalam menegakkan keadilan dan melindungi kehormatan serta integritas institusi pemerintah.
Penjelasan pasal 492 UU 1/2023 (Pasal 378 KUHP)
KUHP | UU 1/2023 |
Pasal 378 Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun. | Pasal 492 Setiap Orang yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau kedudukan palsu, menggunakan tipu muslihat atau rangkaian kata bohong, menggerakkan orang supaya menyerahkan suatu barang, memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapus piutang, dipidana karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V. |
Lebih lanjut, disarikan dari Jika Orang yang Direkomendasikan
Terlibat Pasal Penipuan, terkait pasal penipuan, R. Soesilo dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi
Pasal (hal.261) menjelaskan sejumlah unsur-unsur tindak pidana penipuan yang
perlu diperhatikan, antara lain:
1. membujuk orang supaya memberikan barang, membuat utang atau
menghapuskan piutang;
2. maksud pembujukan itu ialah: hendak menguntungkan diri sendiri
atau orang lain dengan melawan hak;
- membujuknya itu dengan memakai:
- nama palsu atau keadaan palsu;
- akal cerdik atau tipu muslihat; dan
- karangan perkataan bohong.
Menurut Moh. Anwar (1989) dalam bukunya yang berjudul Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II) Jilid I menyatakan
bahwa dalam Pasal 378 KUHP terdapat unsur-unsur sebagai berikut:
1. Unsur Subyektif: dengan maksud
a. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain;
b. Dengan melawan hukum.
2. Unsur Objektif: membujuk atau menggerakkan orang lain dengan
alat pembujuk atau penggerak
a. Memakai nama palsu;
b. Memakai keadaan palsu;
c. Rangkaian kata bohong;
d. Tipu Muslihat agar:
· Menyerahkan suatu barang;
· Membuat hutang;
· Menghapuskan hutang.
Menurut R. Sugandhi, unsur-unsur tindak pidana penipuan yang
terkandung dalam Pasal 378 KUHP adalah tindakan seseorang dengan tipu muslihat,
rangkaian kebohongan, nama palsu dan keadaan palsu dengan maksud menguntungkan
diri sendiri dengan tiada hak.
Lebih lanjut menurut R. Soesilo, kejahatan pada Pasal 378 KUHP
dinamakan “penipuan”, yang mana penipu itu pekerjaannya:
1. membujuk orang supaya memberikan barang, membuat utang atau
menghapuskan piutang;
2. maksud pembujukan itu ialah hendak menguntungkan diri sendiri
atau orang lain dengan melawan hak;
membujuknya itu dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu, akal cerdik (tipu muslihat), atau karangan perkataan bohong.
Selanjutnya, dalam Penjelasan Pasal 492 UU 1/2023 dijelaskan bahwa penipuan
adalah tindak pidana terhadap harta benda, sedangkan tempat tindak pidana
adalah tempat pelaku melakukan penipuan, walaupun penyerahan dilakukan di
tempat lain. Dengan kata lain, saat dilakukannya tindak pidana adalah saat
pelaku melakukan penipuan.
Penipuan merupakan delik material sehingga selain pada tindakan
yang dilarang telah dilakukan, masih harus ada akibat yang timbul karena
tindakan itu, sehingga baru bisa dikatakan telah terjadi tindak pidana tersebut
sepenuhnya (voltooid). Selanjutnya, perbuatan materiil dari penipuan adalah
membujuk seseorang dengan berbagai cara yang disebut dalam ketentuan ini, untuk
memberikan sesuatu barang, membuat utang atau menghapus piutang.
Penipuan adalah delik biasa dan bukan delik aduan. Sebagai delik
biasa maka pelapor penipuan tidak harus dilakukan oleh korban saja. Sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(selanjutnya disebut KUHAP) Pasal 1 angka 24 menyebutkan bahwa, “Laporan adalah pemberitahuan yang
disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang
kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan
terjadinya peristiwa pidana.”
Penjelasan pasal 28 ayat (1) UU ITE
Pasal penipuan yang diatur dalam UU ITE terdapat dalam Pasal 28
ayat (1) yang berbunyi: “Setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan
berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam
Transaksi Elektronik.”
Kemudian, orang yang melanggar ketentuan tersebut berpotensi
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak
Rp1 miliar, sebagaimana diatur dalam Pasal 45A ayat (1) UU 19/2016.
Hal yang membedakan tindak pidana penipuan dalam KUHP dengan UU
ITE adalah untuk dapat dijerat berdasarkan UU ITE, penipuan harus menyebabkan
kerugian konsumen dalam transaksi elektronik yaitu perbuatan hukum yang
dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media
elektronik lainnya.
Lampiran SKB UU ITE (Keputusan Bersama Menteri Komunikasi Dan
Informatika, Jaksa Agung, Dan Kapolri Nomor 229, 154, KB/2/VI/2021 Tahun 2021)
merinci mengenai pengenaan Pasal 28 ayat (1) UU ITE (hal. 16-17) sebagai
berikut:
1. Delik pidana Pasal 28 ayat (1) UU ITE bukan merupakan delik
pemidanaan terhadap perbuatan menyebarkan berita hoaks secara umum, melainkan
menyebarkan berita hoaks dalam konteks transaksi elektronik seperti transaksi
perdagangan daring.
2. Berita hoaks ini dikirimkan atau diunggah melalui layanan
aplikasi pesan, penyiaran daring, situs/media sosial, lokapasar (marketplace),
iklan, dan/atau layanan transaksi lainnya melalui sistem elektronik.
3. Bentuk transaksi elektronik bisa berupa perikatan antara pelaku
usaha/penjual dengan konsumen/pembeli.
4. Pasal 28 ayat (1) UU ITE tidak bisa dikenakan pada pihak yang
melakukan wanprestasi dan/atau force majeure.
5. Karena merupakan delik materiil, sehingga kerugian konsumen
sebagai akibat berita bohong harus dihitung dan ditentukan nilainya.
6. Definisi “konsumen” mengacu pada UU Perlindungan Konsumen.
Berdasarkan SKB UU ITE, dapat kita ketahui bahwa media sosial
disebutkan secara tegas, sehingga menurut hemat kami, jika perbuatan pelaku
penipuan termasuk dalam unsur pasal UU ITE.
Kesimpulan