Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Lahat > Artikel
Ketentuan terkait Penipuan Menggunakan Nama Instansi
Ferry Pangaribuan
Jum'at, 02 Februari 2024   |   15521 kali

Dalam era digital yang semakin berkembang, media sosial telah menjadi sarana komunikasi utama bagi masyarakat. Namun, sayangnya, fenomena penipuan menggunakan nama instansi pemerintah melalui platform-platform tersebut juga semakin meningkat. Praktik penipuan ini melibatkan upaya untuk memanipulasi dan memperdaya masyarakat dengan menggunakan identitas palsu yang terkait dengan lembaga pemerintah. Penipuan semacam ini tidak hanya merugikan individu secara finansial, tetapi juga dapat merusak reputasi instansi pemerintah yang sebenarnya. Oleh karena itu, pemahaman dan kewaspadaan terhadap modus operandi penipuan melalui media sosial perlu ditingkatkan guna melindungi masyarakat dari ancaman yang dapat merugikan kepercayaan pada lembaga-lembaga pemerintah.

Penipuan yang mengatasnamakan lelang yang dilaksanakan oleh kantor pelayanan kekayaan negara dan lelang menjadi salah satu bentuk modus penipuan yang cukup meresahkan. Penipu seringkali menggunakan identitas palsu dan mengelabui masyarakat dengan mengklaim bahwa mereka merupakan perwakilan dari kantor pelayanan kekayaan negara yang sedang menyelenggarakan lelang resmi. Mereka memanfaatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintah untuk mengelabui calon pembeli atau peserta lelang. Modus operandi ini bisa mencakup penawaran palsu, pembayaran uang muka yang tidak wajar, atau bahkan penipuan terhadap identitas lelang yang sebenarnya. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk senantiasa memverifikasi informasi terkait lelang dengan instansi pemerintah yang bersangkutan sebelum terlibat dalam transaksi atau pembayaran apa pun. Langkah pencegahan ini merupakan upaya untuk melindungi diri dari potensi penipuan yang dapat merugikan secara finansial dan merusak kepercayaan pada lembaga pemerintah yang sah.

Penipuan yang dilakukan dengan mengatasnamakan kantor pelayanan kekayaan negara dan lelang dapat dijerat dengan hukum sesuai ketentuan yang berlaku. Di Indonesia, penipuan termasuk dalam ranah pidana berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 378 KUHP (Pasal 492 UU 1/2023) mengatur tentang penipuan, yang menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja menggunakan tipu muslihat untuk mengelabui orang lain dengan maksud untuk memperoleh sesuatu barang atau uang, dapat dihukum dengan pidana penjara. Selain itu, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) juga dapat diterapkan dalam kasus penipuan yang melibatkan media sosial atau platform digital. Pasal 28 ayat 1 UU ITE menyatakan bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi elektronik dan dokumen-dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan atau fitnah, dapat dikenakan pidana penjara. Dengan demikian, penerapan hukum ini diharapkan dapat memberikan efek jera kepada para pelaku penipuan yang menggunakan media sosial dengan maksud mengelabui masyarakat dan merugikan pihak lain.

Selanjutnya, penipuan tersebut merupakan tindakan yang dapat merusak reputasi instansi pemerintah. Kerugian yang timbul dari rusaknya reputasi instansi pemerintah merupakan kerugian immateriil yang dapat mengganggu kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut. Namun, kerugian yang dirasakan tidak hanya bersifat immateriil, melainkan juga dapat berupa kerugian materiil karena pembangunan reputasi instansi pemerintah menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pelaku yang melakukan perusakan reputasi instansi pemerintah ini dapat dijerat dengan pasal 310 dan 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sebagai langkah hukum dalam menegakkan keadilan dan melindungi kehormatan serta integritas institusi pemerintah.

Penjelasan pasal 492 UU 1/2023 (Pasal 378 KUHP)

Pasal 492 UU 1/2023 dijelaskan bahwa penipuan adalah tindak pidana terhadap harta benda, sedangkan tempat tindak pidana adalah tempat pelaku melakukan penipuan, walaupun penyerahan dilakukan di tempat lain.


KUHPUU 1/2023

Pasal 378

Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.

Pasal 492

Setiap Orang yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau kedudukan palsu, menggunakan tipu muslihat atau rangkaian kata bohong, menggerakkan orang supaya menyerahkan suatu barang, memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapus piutang, dipidana karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.


Lebih lanjut, disarikan dari Jika Orang yang Direkomendasikan Terlibat Pasal Penipuan, terkait pasal penipuan, R. Soesilo dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal.261) menjelaskan sejumlah unsur-unsur tindak pidana penipuan yang perlu diperhatikan, antara lain:

1.    membujuk orang supaya memberikan barang, membuat utang atau menghapuskan piutang;

2.    maksud pembujukan itu ialah: hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak;

-       membujuknya itu dengan memakai:

-       nama palsu atau keadaan palsu;

-       akal cerdik atau tipu muslihat; dan

-       karangan perkataan bohong.

Menurut Moh. Anwar (1989) dalam bukunya yang berjudul Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku IIJilid I menyatakan bahwa dalam Pasal 378 KUHP terdapat unsur-unsur sebagai berikut:

1.    Unsur Subyektif: dengan maksud

a.    Menguntungkan diri sendiri atau orang lain;

b.    Dengan melawan hukum.

2.    Unsur Objektif: membujuk atau menggerakkan orang lain dengan alat pembujuk atau penggerak

a.    Memakai nama palsu;

b.    Memakai keadaan palsu;

c.     Rangkaian kata bohong;

d.    Tipu Muslihat agar:

·   Menyerahkan suatu barang;

·   Membuat hutang;

·   Menghapuskan hutang.

Menurut R. Sugandhi, unsur-unsur tindak pidana penipuan yang terkandung dalam Pasal 378 KUHP adalah tindakan seseorang dengan tipu muslihat, rangkaian kebohongan, nama palsu dan keadaan palsu dengan maksud menguntungkan diri sendiri dengan tiada hak.

Lebih lanjut menurut R. Soesilo, kejahatan pada Pasal 378 KUHP dinamakan “penipuan”, yang mana penipu itu pekerjaannya:

1.    membujuk orang supaya memberikan barang, membuat utang atau menghapuskan piutang;

2.    maksud pembujukan itu ialah hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak;

membujuknya itu dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu, akal cerdik (tipu muslihat), atau karangan perkataan bohong.

Selanjutnya, dalam Penjelasan Pasal 492 UU 1/2023 dijelaskan bahwa penipuan adalah tindak pidana terhadap harta benda, sedangkan tempat tindak pidana adalah tempat pelaku melakukan penipuan, walaupun penyerahan dilakukan di tempat lain. Dengan kata lain, saat dilakukannya tindak pidana adalah saat pelaku melakukan penipuan.

Penipuan merupakan delik material sehingga selain pada tindakan yang dilarang telah dilakukan, masih harus ada akibat yang timbul karena tindakan itu, sehingga baru bisa dikatakan telah terjadi tindak pidana tersebut sepenuhnya (voltooid). Selanjutnya, perbuatan materiil dari penipuan adalah membujuk seseorang dengan berbagai cara yang disebut dalam ketentuan ini, untuk memberikan sesuatu barang, membuat utang atau menghapus piutang.

Penipuan adalah delik biasa dan bukan delik aduan. Sebagai delik biasa maka pelapor penipuan tidak harus dilakukan oleh korban saja. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) Pasal 1 angka 24 menyebutkan bahwa, “Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.”

Terkait siapa yang berhak melapor atau mengadu ke polisi pada kasus pencatutan nama di atas dapat dilihat pada ketentuan Pasal 108 KUHAP yaitu : 1) Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tertulis;  (2) Setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap ketenteraman dan keamanan umum atau terhadap jiwa atau terhadap hak milik wajib seketika itu juga melaporkan hal tersebut kepada penyelidik atau penyidik; (3) Setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib segera melaporkan hal itu kepada penyelidik atau penyidik.


Penjelasan pasal 28 ayat (1) UU ITE

Pasal penipuan yang diatur dalam UU ITE terdapat dalam Pasal 28 ayat (1) yang berbunyi: “Setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.”

Kemudian, orang yang melanggar ketentuan tersebut berpotensi dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar, sebagaimana diatur dalam Pasal 45A ayat (1) UU 19/2016.

Hal yang membedakan tindak pidana penipuan dalam KUHP dengan UU ITE adalah untuk dapat dijerat berdasarkan UU ITE, penipuan harus menyebabkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik yaitu perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya.

Lampiran SKB UU ITE (Keputusan Bersama Menteri Komunikasi Dan Informatika, Jaksa Agung, Dan Kapolri Nomor 229, 154, KB/2/VI/2021 Tahun 2021) merinci mengenai pengenaan Pasal 28 ayat (1) UU ITE (hal. 16-17) sebagai berikut:

1.    Delik pidana Pasal 28 ayat (1) UU ITE bukan merupakan delik pemidanaan terhadap perbuatan menyebarkan berita hoaks secara umum, melainkan menyebarkan berita hoaks dalam konteks transaksi elektronik seperti transaksi perdagangan daring.

2.    Berita hoaks ini dikirimkan atau diunggah melalui layanan aplikasi pesan, penyiaran daring, situs/media sosial, lokapasar (marketplace), iklan, dan/atau layanan transaksi lainnya melalui sistem elektronik.

3.    Bentuk transaksi elektronik bisa berupa perikatan antara pelaku usaha/penjual dengan konsumen/pembeli.

4.    Pasal 28 ayat (1) UU ITE tidak bisa dikenakan pada pihak yang melakukan wanprestasi dan/atau force majeure.

5.    Karena merupakan delik materiil, sehingga kerugian konsumen sebagai akibat berita bohong harus dihitung dan ditentukan nilainya.

6.    Definisi “konsumen” mengacu pada UU Perlindungan Konsumen.

Berdasarkan SKB UU ITE, dapat kita ketahui bahwa media sosial disebutkan secara tegas, sehingga menurut hemat kami, jika perbuatan pelaku penipuan termasuk dalam unsur pasal UU ITE.

 

Kesimpulan

Penegak hukum dapat mengenakan pasal berlapis terhadap suatu tindak pidana yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana penipuan dalam pasal 492 UU 1/2023 (pasal 378 KUHP), pasal 310 & 311 KUHP, dan Pasal 28 ayat (1) UU ITE. Artinya, jika memang unsur-unsur tindak pidananya terpenuhi, penegak hukum dapat menggunakan pasal penipuan dalam KUHP dan UU ITE serta perubahannya.
Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini