Pembuktian
merupakan salah satu tahapan yang cukup penting dalam persidangan. Meskipun
suatu perkara ditangani secara e-court, tahap pembuktian ini tetap memerlukan kehadiran
secara fisik dari para pihak. Definisi pembuktian merupakan proses bagaimana
alat-alat bukti dipergunakan, diajukan ataupun dipertahankan dalam hukum acara
yang berlaku. Adapun tujuan dari pembuktian adalah untuk mengambil putusan yang
bersifat definitif, pasti, tidak meragukan, dan memiliki akibat hukum.
Membuktikan adalah memberi dasar-dasar yang cukup
kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian
tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Dalam hal membuktikan suatu
peristiwa, cara yang dapat digunakan adalah dengan menggunakan alat bukti. Alat
bukti adalah sesuatu yang digunakan untuk meyakinkan akan kebenaran suatu dalil
atau pendirian. Dalam hukum acara perdata, alat bukti diatur dalam Pasal 164,
153, 154 Herzien Inlandsch
Reglement (HIR) dan Pasal 284, 180,
181 Rechtreglement voor de
Buitengewesten (RBG).
Sebagaimana diatur dalam pasal 164 HIR/284 RBG, alat-alat bukti yang sah
menurut hukum acara perdata terdiri dari:
1)
Surat;
Menurut
Sudikno Mertokusumo, yang dimaksud dengan surat adalah sesuatu yang memuat
tanda yang dapat dibaca dan menyatakan suatu buah pikiran dimana buah pikiran
tersebut bisa dipakai sebagai pembuktian. Alat bukti surat terdiri dari 2 (dua)
jenis, yakni:
a) Akta;
dan
Akta adalah surat yang
sengaja sejak awal dibuat untuk pembuktian. Akta terdiri dari:
1. Akta
autentik;
Menurut Pasal 1868 BW, akta
autentik adalah suatu akta yang bentuknya ditentukan oleh undang-undang, dibuat
oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa di tempat dimana akta di
buat. Adapun yang dimaksud dengan pegawa-pegawai umum tersebut adalah notaris,
polisi, dan hakim.
2. Akta
di bawah tangan
Akta di bawah tangan adalah
akta yang dibuat dan disetujui oleh para pihak yang membuatnya serta mengikat
bagi para pihak yang membuatnya. Akta di bawah tangan tidak dibuat dihadapan
pejabat yang berwenang seperti notaris, namun hanya dibuat oleh para pihak yang
membuat perjanjian tersebut.
b) Surat
biasa
Surat biasa merupakan bukti
surat yang awalnya tidak diperuntukkan untuk dijadikan bukti, namun jika di
suatu hari alat bukti surat tersebut bisa membuktikan suatu perkara di
pengadilan, maka alat bukti surat tersebut bisa dipergunakan sebagai
pembuktian.
2)
Saksi-saksi;
Saksi
adalah orang yang memberikan kererangan/kesaksian di depan pengadilan mengenai
apa yang mereka ketahui, lihat sendiri, dengar sendiri atau alami sendiri, yang
dengan kesaksian itu akan menjadi jelas suatu perkara. Keterangan seorang saksi
harus disampaikan secara lisan dan pribadi artinya tidak boleh diwakilkan
kepada oeang lain dan harus dikemukakan secara lisan di sidang pengadilan.
Pada
prinsipnya setiap orang boleh menjadi saksi kecuali orang tertentu yang tidak
dapat didengar sebagai saksi, antara lain:
a) Keluarga
sedarah dan semenda;
b) Istri
atau suami, meskipun telah bercerai;
c) Anak-anak
yang umurnya di bawah 15 tahun;
d) Orang
gila,
3)
Persangkaan;
Persangkaan
diatur dalam Pasal 173 HIR, namun dalam pasal tersebut tidak dijelaskan secara
rinci apa yang dimaksud dengan persangkaan, melainkan hanya menentukan bahwa
persangkaan itu dapat digunakan sebagai alat bukti apabila persangkaan itu
penting, seksama, tertentu dan ada persesuaian satu sama lainnya. Dalam Pasal
1915 KUHPerdata, dikenal adanya 2 (dua) persangkaan, yaitu:
a) Persangkaan
yang didasarkan atas undang-undang (praesumptiones juris); dan
b) Persangkaan
berdasarkan kenyataan (praesumptiones factie).
Sedangkan
dalam 1916 KUHPerdata yang ditentukan sebagai persangkaan adalah sebagai
berikut:
a) Perbuatan-perbuatan
yang oleh undang-undang dinyatakan batal, karena dari sidat dan keadaannya saja
dapat diduga dilakukan untuk menghindari ketentuan-ketentuan undang-undang;
b) Persitiwa-peristiwa
yang menurut undangundang dapat dijadikan kesimpulan guna menerapkan hak
pemilikan atau pembebeasan dari utang;
c) Kekuatan
yang diberikan oleh undang-undang kepada putusan hakim;
d) Kekuatan
yang diberikan oleh undang-undang kepada pengakuan atau sumpah oleh salah satu
pihak.
4)
Pengakuan; dan
Pengakuan dalam HIR diatur
dalam Pasal 174,175 dan Pasal 176. Apabila melihat ketentuan Pasal 164 HIR,
maka jelas pengakuan menurut undang-undang merupakan salah satu alat bukti
dalam proses penyelesaian perkara perdata. Berdasarkan Pasal 1926 KUHPerdata,
pengakuan dapat dilakukan baik langsung oleh orang yang bersagkutan maupun oleh
orang lain yang diberi kuasa khusus untuk itu, baik secara lisan maupun
tulisan. Dalam mengakui sesuatu hal di depan hakim haruslah berhati-hati karena
pengakuan yang dilakukan di depan sidang tidak dapat ditarik kembali kecuali
apabila ia dapat membuktikan bahwa pengakuannya adalah akibat dari kekhilafan
tentang fakta-fakta.
Menurut Pasal 174 HIR,
pengakuan yang dilakukan di depan sidang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna
dan mengikat. Sedangkan pengakuan di luar sidang, menurut Pasal 175 HIR,
kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada kebijaksanaan hakim atau dengan kata
lain pengakuan di luar sidang berarti bahwa hakim leluasa untuk memberi kekuatan
pembuktian atau hanya menganggapnya sebagai bukti permulaan.
5)
Sumpah.
Alat bukti sumpah diatur
dalam Pasal 155, 156, 157, 158, dan 177 HIR. Alat bukti sumpah dapat digunakan
sebagai upaya terakhir dalam membuktikan kebenaran dari suatu proses perkara
perdata. Menurut Sudikno Mertokusumo, sumpah merupakan suatu pernyataan yang
khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi keterangan dengan
mengingat sifat Maha Kuasa dari Tuhan Yang Maha Esa dan percaya bahwa siapa
yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya.
Dalam Hukum Acara Perdata
dikenal 3 (tiga) macam sumpah sebagai alat bukti, yakni:
a) Sumpah
Pelengkap (Suppletoir)
Merupakan sumpah yang
diperintahkan oleh hakim karena jabatannya untuk melengkapi pembuktian
peristiwa yang menjadi sengketa sebagai dasar putusannya. Sumpah pelengkap
diatur dalam Pasal 155 HIR/Pasal 182 RBG.
b) Sumpah
Penaksiran (Aestimatoir, Schattingseed)
Merupakan sumpah yang
diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada penggugat untuk menentukan
jumlah uang ganti kerugian. Syarat pembebanan sumpah penaksiran adalah
kesalahan pihak tergugat telah terbukti, namun jumlah kerugian sulit
ditentukan. Sumpah penaksiran diatur dalam Pasal 155 HIR/Pasal 182 RBG/Pasal
1940 KUHPerdata.
c) Sumpah
Pemutus (Decisoir)
Merupakan sumpah yang oleh
pihak yang satu melalui perantaraan hakim diperintahkan kepada pihak lainnya
untuk menggantungkan pemutusan perkara tersebut. Sumpah decisoir merupakan
upaya terakhir untuk menyelesaikan suatu perkara yang keberadaannya diatur
dalam Pasal 156, 157, 177 HIR.
-Seksi
Hukum dan Informasi-