Minggu ini tanpa terasa sudah menginjak minggu ketiga pasca pergantian tahun. Percaya atau tidak, jika kita menengok kembali ke penghujung tahun yang lalu, atau di awal tahun ini, banyak orang atau minimal segelintir orang berlomba-lomba menyusun-merencanakan-membuat daftar panjang mengenai keinginan yang ingin mereka capai di tahun ini, agar lebih keren khalayak ramai menyebutnya dengan istilah “resolusi”.
Sebenarnya apa sih resolusi itu? Berdasarkan definisi yang ditulis dalam Kamus Cambridge, resolusi tahun baru didefinisikan sebagai janji yang dibuat pada diri sendiri untuk memulai sesuatu yang baik dan menghentikan kebiasaan yang buruk mulai dari hari pertama di tahun baru. Terdapat satu diksi yang menarik dari definisi tersebut, yaitu janji. Penulis sangat ingat akan petuah guru-guru di masa sekolah dasar, bahwa yang namanya janji, bila diingkari sama saja dengan mengkhianati.
Kembali
ke topik resolusi, jika kita review kembali beberapa tahun belakangan, apalagi
di era medsos yang sudah menjadi bagian dari hidup kita, pergantian tahun sangat identik dengan yang
namanya resolusi. Jika diibaratkan, resolusi merupakan garam bagi sebagian
orang untuk membumbui sayur di daftar resep awal tahunnya.
Tidak
dipungkiri bahwasanya sebagian orang menganggap kurang lengkap apabila
menyambut awal tahun tanpa menyusun resolusi. Mereka percaya bahwa resolusi melecut
seseorang mencapai sesuatu yang diinginkan, minimal dalam setahun. Namun ironisnya,
resolusi yang dibuat dari tahun ke tahun tersebut nyaris selalu sama dan bahkan
banyak resolusi (yang tidak tercapai) telah dilupakan. Jadi, masih pentingkah
resolusi itu?
Kebanyakan
orang beranggapan bahwa resolusi awal tahun sangatlah penting. Banyak dari
mereka yang berlomba-lomba menyusun resolusi sebagus mungkin untuk nantinya
diposting di sosial media masing-masing. Penulis masih ingat, bagaimana
menu status di whatsapp beberapa contact person yang terekam di gadget penulis,
diwarnai dengan etalase daftar resolusi mereka. Mungkin bagi mereka, resolusi akan
mendorong semangat juang dan memperkuat tekad dalam mencapai target yang
diinginkan. Selain itu, (bisa jadi) resolusi juga merupakan sumber kebahagiaan
sederhana apabila dari longlist yang telah disusun, terdapat satu saja dari
daftar impian-impiannya yang terwujud. Prinsipnya, pergantian kalender mendorong mereka untuk menjadi pribadi yang lebih baik dari tahun
sebelumnya.
Apakah
hal tersebut salah? Tentu tidak, karena yang mereka susun merupakan cita-cita
yang mulia. Karena pada dasarnya, mereka atau hampir seluruh umat manusia,
ingin hari esok lebih baik daripada hari ini. Namun, kita semua pasti sadar bahwa hidup tidak semudah
merangkai resolusi. Beberapa hal bisa saja terjadi diluar ekspektasi.
Kebanyakan dari mereka yang memiliki resolusi tahun baru terjebak pada euforia
sesaat, tanpai memikirkan aksi untuk mencapai resolusi yang dibuat.
Sekali lagi, suatu rencana membutuhkan aksi. Tanpa adanya aksi, rencana yang
telah disusun hanyalah sekedar rangkaian longslist yang indah dan puitis di atas
selembar kertas yang dibingkai dalam figura bertahtakan emas 24 karat.
Sebuah artikel yang ditulis oleh Hershfield (2011) berjudul
Future self-continuity: how conceptions of the
future self transform intertemporal choice menyimpulkan bawah orang
yang melihat atau merencanakan sesuatu tentang dirinya di masa depan bisa
dibayangkan seperti sedang melihat orang asing dan berjalan makin jauh. Positifkah hal itu? Atau cenderung negatif? Semua
kembali kepada perspektif masing-masing. Jika sekiranya sebuah cita-cita telah
dirumuskan sendiri, maka semuanya kembali ke pribadi masing-masing untuk
menentukan rencana aksi dan langkah kongkret untuk menyetir dirinya melalui
lika-liku rute jalan hidup dalam setahun agar mencapai garis finish dan memenangkan
trophy yang bernama tujuan “resolusi”.
Namun demikian, sebagian orang percaya bahwa menjalani
rentang perjalanan satu tahun adalah satu waktu yang tidak singkat, walaupun
sebagian yang lain meyakini bahwa satu tahun adalah waktu yang sebentar.
Kembali lagi, itu menjadi hak setiap orang dalam mempertahankan persepsinya. Singkat
atau tidaknya penghitungan durasi waktu setahun, terdapat satu poin yang menarik, yaitu
adanya potensi kegagalan dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Sebuah artikel dalam
BBC.com yang ditulis oleh Dizik (Why your New Year’s resolutions often fail,
2016) mendeskripsikan bahwa studi yang dilakukan oleh University of Scranton
yang kemudian dikumpulkan oleh Statistic Brain menunjukkan hanya 8% orang yang
bisa memenuhi resolusi Tahun Baru yang mereka buat. Selebihnya? Gagal memenuhi
ekspektasinya sendiri.
Lantas, kenapa resolusi yang sudah disusun sedemikian
rapi, indah, dan puitis itu bisa gagal? Tim Pychyl, seorang psikolog di Carleton
University Kanada, dalam artikelnya yang berjudul An initial study on its role in the prediction of academic
procrastination menjelaskan bahwa sebagian besar resolusi yang disusun itu
akan menghasilkan kegagalan karena kita sering menunda-menunda pekerjaan yang
seharusnya menjadi bagian dari roadmap untuk menggapai resolusi itu sendiri. Jika
diibaratkan, ada seseorang yang berprofesi menjadi penulis, sudah menyusun daftar resolusi. Dalam resolusinya, penulis itu ingin menghasilkan 12 tulisan dalam setahun. Penulis itu menyadari
bahwa untuk memulai satu artikel diperlukan pengamatan atau observasi terhadap
satu objek atau isu tertentu. Namun sampai menjelang berakhirnya paruh semester kedua, observasi itu
tidak kunjung dilaksanakannya. Dampaknya? Jangankan setengah dari artikelnya,
seperduabelas dari targetnya pun tidak akan tercapai karena delay dalam salah
satu tahapan. Dan naasnya, hal tersebut sering terjadi pada sebagian besar
orang yang telah bersusah payah menyusun longlist resolusinya. Namun, longlist
tersebut hanyalah sebuah daftar panjang belaka jika tidak disertai dengan aksi yang
kongkret.
Lantas bagaimana dengan penulis artikel ini sendiri? Alhamdulillah, penulis tidak pernah membuat resolusi tahunan. Namun bagi anda yang telah menyusun resolusi, penulis sarankan untuk mereview kembali resolusi anda, dan sekiranya mungkin merevisinya dengan resolusi yang mudah untuk direalisasikan. Setelah berhasil mencapai resolusi tersebut, mulai tambahkan target resolusi anda. Tentunya harus tetap berpedoman pada target yang realistis dan executable. Dan tentunya, jangan pernah menunda untuk mengeksekusinya. Bagaimana menurut anda?
Penulis: Mahmud Ashari (Kepala Seksi Hukum & Informasi KPKNL Kisaran)
Referensi:
Hershfield, Hal E. (2011). Future self-continuity: How conceptions of the future self transform intertemporal choice. Annals of the New York Academy of Sciences. New York University, Department of Marketing.
Pychyl, T.A. (2016). Committed Action: An initial study on its role in the prediction of academic procrastination. Journal of Contextual Behavioral Science, 5, 97-102.
Dizik, Alina. (2016). Why your New Year’s resolutions often fail. www.bbc.com/worklife/article/20161220-why-your-new-years-resolutions-often-fail.